Oleh Adam Muhshi*

 

 Benarlah apa yang telah dilakukan oleh Bawaslu, yaitu menyimpangi ketentuan-ketentuan PKPU di atas dan membatalkan pencoretan bakal caleg mantan terpidana kasus korupsi yang telah dilakukan oleh KPU sebelumnya.

 

KETENTUAN Pasal 4 ayat (3) Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (PKPU 20/2018) dan Pasal 60 ayat (1) huruf j Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Pemilu Anggota DPD (PKPU 26/2018) menjadi sumber polemik yang hebat sejak kelahirannya. Lebih dari itu, aturan terkait larangan mantan terpidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tersebut telah di-judicial review ke Mahkamah Agung. Selanjutnya Mahkamah Agung menerima permohonan para pemohon dengan membatalkan ketentuan-ketentuan tersebut melalui putusannya.

Pembatalan tersebut sudah tepat setidaknya karena dua hal, yaitu pertama secara materiil ia bertentangan dengan hak politik yang telah diatur dan dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kedua, secara formal ia termasuk materi muatan yang hanya boleh diatur melalui undang-undang.  Dua sebab tersebut secara bersama-sama telah menciptakan sebuah ketidakadilan.

Produk Tanpa Kewenangan

 Hak berpolitik merupakan bagian dari HAM yang telah dijamin dan dilindungi baik melalui instrumen hukum internasional maupun instrumen hukum nasional. Sebagai sebuah HAM, maka pemenuhan atas hak untuk mencalonkan diri dan dipilih sebagai anggota legislatif wajib dijamin oleh negara. Kewajiban yang diberikan kepada negara tersebut bermakna bahwa hak tersebut tidak boleh dibatasi secara serampangan oleh siapa pun. Termasuk dalam konteks ini oleh KPU sebagai salah satu institusi penyelenggara pemilihan umum.

HAM memang dapat dibatasi, akan tetapi tentu saja dengan syarat yang ketat dan prosedur yang ketat pula. Terkait hal ini, John Rawls menyatakan kebebasan hanya boleh dibatasi oleh kebebasan itu sendiri, yaitu hanya jika: pertama, hal itu akan memperkuat seluruh sistem kebebasan yang dinikmati oleh semua orang; dan kedua, untuk memastikan kebebasan yang sama atau kebebasan dasar yang berbeda dilindungi dengan baik. Berdasarkan pendapat Rawls tersebut, maka secara a contrario, tidak boleh ada pembatasan terhadap kebebasan dengan alasan apapun di luar dua alasan tersebut.

Selain dengan syarat yang ketat, pembatasan terhadap HAM juga harus dilakukan dengan mekanisme yang ketat pula. Dalam hal ini pembatasan HAM hanya dapat dilakukan melalui undang-undang. Pembatasan melalui undang-undang ini wajib adanya karena ia merupakan instrumen hukum yang dibentuk oleh DPR sebagai persnonifikasi rakyat.

Hanya rakyatlah yang dapat membatasi jaminan terhadap pemenuhan HAM. Selain rakyat, siapun termasuk KPU dalam hal ini tidak memiliki kewenangan untuk membatasi HAM. Oleh sebab itu, pembatasan terhadap hak mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif yang dilakukan oleh KPU melalui PKPU 20/2018 dan PKPU 26/2018 merupakan tindakan di luar kewenangannya. Atau dengan kata lain aturan-aturan mengenai pembatasan mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tersebut telah dibuat KPU tanpa didasari oleh adanya kewenangan.

Akhiri Ketidakadilan

Pembatasan terhadap HAM yang dilakukan di luar kewenangan tentu saja termasuk sebuah ketidakadilan. Dikatakan demikian karena pada prinsipnya hanya rakyat sebagai pemilik kedaulatanlah yang dapat membatasi jaminan terhadap HAM. Pelanggaran terhadap prinsip hukum tersebut akan meruntuhkan kepastian hukum yang pada gilirannya juga akan mengacaukan keadilan. Dikatakan demikian karena jika pelanggaran terhadap prinsip ini dibiarkan terus berjalan, maka ia akan menjadi preseden buruk yang bukan tidak mungkin ke depan akan ditiru oleh pihak atau institusi negara lainnya untuk melakukan pembatasan HAM melalui aturan-aturan di bawah undang-undang.

Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (3) PKPU 20/2018 dan Pasal 60 ayat (1) huruf j PKPU 26/2018 berisikan sebuah ketidakadilan. Padahal ada sebuah prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang tidak beresensikan keadilan bukanlah sebagai sebuah hukum.  Dengan demikian, aturan tentang larangan eks narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif yang tertuang dalam dua PKPU tersebut bukanlah hukum.

Berdasarkan konstruksi berpikir tersebut, benarlah apa yang telah dilakukan oleh Bawaslu, yaitu menyimpangi ketentuan-ketentuan PKPU di atas dan membatalkan pencoretan bakal caleg mantan terpidana kasus korupsi yang telah dilakukan oleh KPU sebelumnya. Putusan Bawaslu sudah tepat, karena selain ia berpijak pada aturan yang lebih tinggi yaitu ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ia juga telah mengutamakan keadilan sebagai esensi dari hukum daripada hanya sebuah aturan. Ingat, negara Indonesia bukan hanya sekedar negara perundang-undangan akan tetapi ia adalah negara hukum.

Aturan dapat saja berisikan ketidakadilan sehingga ia harus dianggap bukan sebagai hukum dan perlu diabaikan. Oleh karena itu, KPU seyogyanya segera menindaklanjuti jalan keadilan yang telah diambil oleh Bawaslu dan Mahkamah Agung.

*Dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Jember, Peserta Program Doktor ilmu hukum di Fakultas Hukum Unair dan Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation. Email: adammuhshi.fh@unej.ac.id

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry