Oleh: Khoirul Muttaqin SS MHum*

PEMBENTURAN antara pilihan berkomitmen pada pendidikan tinggi dan komitmen berwirausaha tanpa pendidikan tinggi menjadi polemik klasik yang sampai saat ini tetap terjadi. Hal itu seakan menjadi olok-olok bagi seseorang yang berkomitmen pada pendidikan tinggi. Hal klise yang dilontarkan adalah mengenai beberapa sarjana yang menganggur, sarjana yang bekerja pada seorang lulusan sekolah dasar atau bahkan tidak sekolah, dan juga sarjana yang berpenghasilan rendah.

Rata-rata pengerdilan terhadap pendidikan tinggi memang berkaitan dengan pekerjaan, baik kaitan dengan jenis pekerjaan maupun gaji yang diterima seorang yang berpendidikan tinggi tersebut. Sebenarnya jika ditilik dari tujuan utama pendidikan, persepsi tersebut sangatlah keliru. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan adalah pembudayaan buah budi manusia yang beradab. Atau dilihat dari makna harfiah pendidikan itu sendiri dalam KBBI, pendidikan memiliki arti sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Inti utama atau tujuan utama pendidikan adalah pengubahan sikap atau budi para peserta didik. Hal ini tentu tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Akan tetapi, pada saat ini memang pendidikan hampir selalu dikaitkan dengan pemersiapan sumber daya manusia untuk terjun ke dunia kerja. Oleh karena itu, akan menjadi olok-olok bagi seorang yang berpendidikan tinggi tetapi tidak mendapat pekerjaan atau pengangguran. Sebenarnya fenomena itu hanyalah fenomena generalisasi saja. Jika menilik data yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) ternyata jumlah pengangguran yang paling banyak adalah berpendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang notabene disiapkan untuk menjadi tenaga kerja.

Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa jumlah pengangguran paling besar bukan dari perguruan tinggi. Hal itu dapat diartikan bahwa sebagian besar orang berpendidikan tinggi sudah mendapat pekerjaan, sedangkan mungkin sebagian kecil tidak mendapat pekerjaan atau pengangguran. Akan tetapi, tentu hal tersebut belum selesai. Kita harus mencari alasan mengapa orang berpendidikan tinggi tersebut tidak mendapat pekerjaan sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan tinggi tidaklah penting dalam kaitan pemerolehan pekerjaan.

Terindikasi setelah pengerdilan terhadap pendidikan tinggi melalui pembenturan dengan pekerjaan tidak dapat dibuktikan, beberapa pihak yang melakukan pengerdilan terhadap pendidikan tinggi tersebut membenturkan dengan hal lain. Beberapa di antaranya melakukan pengerdilan dari segi sikap dan budi. Contoh terbaru yakni melalui peredaran gambar di media sosial. Gambar itu menampilkan perbandingan kolase tentang gambar dua kelompok pesepada. Kelompok yang pertama, yakni pesepeda yang menguasai jalanan. Gambar tersebut diberi tulisan lulusan S1,S2, bahkan S3. Sementara itu, di bawahnya terdapat gambar kelompok pesepeda yang sangat teratur, yakni bersepeda di sebelah kiri jalan dan hanya satu baris saja. Pada gambar kelompok pesepeda ini diberi tulisan lulusan SD bahkan tidak sekolah.

Kembali fenomena ini memang belum dapat dibuktikan. Kebenaran tentang kelompok pesepeda di atas memang lulusan S1, S2, dan S3 belum dibuktikan. Sebenarnya, jika itu benar pun, lagi-lagi generalisasi dilakukan oleh pihak tersebut. Dalam proses pendidikan tentu ada yang berhasil dan ada yang tidak. Indikatornya pun kadang ada yang keliru. Beberapa pihak mengira indikator keberhasilan pendidikan adalah pemerolehan nilai yang baik. Dalam hal ini, memang sebenarnya pola pikir mengenai keberhasilan pendidikan tersebut harus diubah.

Sejauh yang dapat diamati, secara nyata, pendidikan tinggi membuat para peserta didiknya berpola pikir maju dan terbuka. Secara umum orang berpendidikan tinggi akan lebih mudah menerima kemungkinan-kemungkinan baru. Mereka juga akan lebih berkompeten dalam hal pencarian solusi. Meskipun tidak semua orang berpendidikan tinggi dapat melakukan hal tersebut, tetapi dapat dikatakan sebagian besar orang berpendidikan tinggi dapat melakukan itu. Bagaimana dengan orang berpendidikan rendah? Di antara mereka mungkin juga ada yang terbuka dalam hal-hal yang baru serta pandai mencari solusi. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan penulis, kemampuan itu hanya dimiliki oleh sebagian kecil dari orang-orang yang berpendidikan rendah. Hal terpenting adalah kita tidak boleh saling mengerdilkan sebuah pilihan sesorang, yakni untuk berkomitmen pada pendidikan tinggi atau berwirausaha tanpa pendidikan tinggi.

*Penulis merupakan dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Islam Malang (Unisma) dan pernah menjadi wartawan.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry