Prof Dr Bambang Widodo Umar SH MH (IST)

DPW PKS: Pesantren Ditanya Afiliasi Politik

SURABAYA | duta.co – Kalangan Partai Politik di Jawa Timur memprotes keras pendataan kiai dan pesantren yang dilakukan oleh Polri. Model sensus ulama dan pesantren seperti ini, bisa menimbulkan keresahan di dalam masyarakat, khususnya kaum santri.

Ketua DPW PKS Jatim Arif HS menilai langkah polisi tersebut bentuk teror. Arif mengaku telah menerima laporan dari DPD PKS Kabupaten Jombang dan Malang bahwa pendataan polisi bahkan menyangkut aspek sejarah Ponpes dan afiliasi politik.

“Data semacam itu untuk apa? Jangan sampai malah melakukan teror kepada masyarakat. Ingat, polisi dan aparat pemerintah lain itu digaji dari uang rakyat yang telah membayar pajak untuk negara. Jangan sampai rakyat tertindas,” ujarnya, Senin (6/2).

Karena itu, Arif meminta Pemprov memberikan rasa aman kepada warganya, termasuk rasa aman kepada kiai dan Ponpes yang merupakan panutan warga Jatim yang religius agar situasi Jatim tetap aman dan kondusif.

“Rasa aman dari bencana, rasa aman berkendara, dan rasa aman melakukan aktivitas keagamaan dan pendidikan, seperti yang dilakukan para kiai di ponpes. Jangan lupa Ponpes adalah basis perjuangan rakyat sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga masa pembangunan ini,” tutur dia.

Sebelumnya Anwar Sadat, sekretaris DPD Partai Gerindra Jatim yang juga alumni PP Sidogiri, Pasuruan, mempertanyakan relevansi Polri melakukan sensus tersebut. Sebab, sepanjang sejarah belum pernah ada, kalaupun ada, konon menjelang meletusnya peristiwa G-30S/PKI.

“Ini masalah serius! Apa relevansinya? Saya mendapatkan laporan dari beberapa pengasuh pesantren bahwa mereka (kiai, red) akan didatangi polisi, didata sampai detail mengenai nama santri dan alamat rumahnya,” jelas Anwar Sadat yang juga anggota DPRD Jatim itu kepada Duta, Minggu (5/2).

Harus Dicabut

Terpisah, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar meminta pendataan ulama yang dilakukan oleh Kapolda Jawa Timur harus dicabut. Menurut dia, hal itu tidak dibenarkan undang-undang (UU) dan mengada-ngada jika hanya untuk mendapatkan data lengkap para ulama tersebut.

“Pendataan ulama oleh Polda Jawa Timur tidak perlu dilanjutkan, dicabut,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (6/1).

Bambang menilai bahwa pendataan ulama tidak sesuai dengan ketentuan UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002. Misalnya pada pasal 15 ayat (1) disebutkan bahwa polisi yang berkaitan dengan masyarakat (eksternal), kewenangannya adalah mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

“Wewenang ‘mengawasi’ tersebut dilakukan secara tidak langsung, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh intelijen kepolisian secara tertutup, tidak langsung ke sasaran,” kata Bambang.

Belum lagi, menurut Bambang, pada dasarnya tugas pokok Kepala Biro SDM Polda adalah membantu Kapolda dalam membina polisi (internal), bukan justru berurusan dengan membina masyarakat. “Oleh karena itu jika polisi beralasan pendataan ulama dilakukan untuk memudahkan polisi mengundang ulama pada hari-hari besar Islam, hal itu tampak mengada-ada,” ujar dia.

Jika hanya untuk undangan, tutur dia, bisa dilakukan dengan menggunakan surat undangan biasa. Kemudian bila menggunakan intel maka sifatnya hanya mendeteksi, tapi tidak mendata. “Karena itu pendataan ulama tidak perlu dilanjutkan. Polisi harus bekerja sesuai dengan wewenang yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002,” katanya.

Jangan Kekang Ulama

Sementara tentang wacana sertifikasi ulama yang digulirkan Kementerian Agama (Kemenag) dinilai baik, asalkan tidak mengekang kebebasan berpendapat, terutama saat menyampaikan khotbah. Anggota Komisi VIII DPR Maman Inanul Haq menyatakan, kebijakan tersebut sebenarnya baik, asalkan tidak mengekang para ulama dalam menyampaikan khutbahnya.

Seharusnya, menurut dia, bukan pemerintah yang mengeluarkan sertifikat. Menurut dia, memang ada penceramah menyampaikan kebencian dalam ceramahnya, baik itu saat khotbah Jumat ataupun di pengajian-pengajian masyarakat. “Pernyataan hate speech itu kan membahayakan bagi keutuhan Indonesia. Apalagi menyangkut soal sara,” kata Maman di Jakarta.

Politikus PKB itu mengatakan, seorang ulama atau berperan sebagai khatib harus mampu menguasai masalah agama dan mempertahankan soal ukhuwah dalam ceramahnya. Karena itu, tidak boleh menjadi ajang gibah dan fitnah.

“Sertifikasi itu harusnya tidak dikeluarkan pemerintah. Kemenag bisa meminta bantuan Ormas keagamaan untuk membina dan memberikan sertifikasi itu,” ungkapnya.

Jika yang mengeluarkan sertifikat pemerintah, maka dinilai telah mengintervensi agama dan ulama. “Kalau pemerintah yang mengeluarkan sertifikat kepada ulama atau khatib, itu sudah intervensi. Jangan sampai era demokrasi yang sudah berjalan ini malah mundur karena banyak dai yang ditangkap karena tidak sesuai dengan pemerintah,” ujarnya.

Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong mengatakan, pemerintah seharusnya hanya memberikan fasilitas kepada Ormas untuk memperkuat wawasan ke-Islam-an para dai dan penceramah.

“Itu juga memberikan pesan kepada masyarakat bahwa Islam itu betul-betul mengajarkan kedamaian dan toleran. Setelah pelatihan itu diadakan, biarkan ormas itu yang mengeluarkan sertifikasi kepada dai dan penceramah,” ujarnya.

Menurut dia, wacana sertifikasi bagus untuk meningkatkan kualitas para pencera-mah namun kebijakan tersebut lahir pada waktu yang tidak tepat. “Untuk peningkatan kompetensi dan kualitas, saya rasa bagus. Tapi momentumnya saya kira kurang pas,” katanya.

Anggota Komisi VIII DPR lainnya, Mohammad Iqbal Romzy, mengecam rencana itu. Menurut dia, rencana sertifikasi itu cenderung provokatif, diskriminatif, dan sensitif di tengah isu keagamaan yang sedang ramai saat ini.

Dia juga mempertanyakan alasan Kemenag hanya mengatur para khatib. Padahal masih banyak pemuka agama seperti pendeta yang juga memberikan ceramah kepada jemaatnya. “Ini kan diskriminatif. Lagi pula, dalam pelaksanaan Jumatan sudah ada ketentuan syar’i yang mengatur,” ujarnya. ud, ful, dit, lip

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry