SURABAYA | duta.co – Nahdliyin tidak boleh lengah terhadap bahaya laten komunis. Apalagi benturan PKI dengan NU serta elemen masyarakat lainnya, terus dimunculkan kembali.

“Baik dalam bentuk rekonsiliasi sejarah PKI, rehabilitasi dan cuci tangan PKI, hingga tuntutan balas dengan memaksa pihak lain mengaku bersalah dan harus minta maaf atas kesalahan masa lalu,” demikian ditulis buku BENTURAN NU PKI 1948 – 1965 karya H Abdul Mun’im DZ yang diunggah kembali duta.co , Jumat (4/10/2019).

Mengingat sedemikian luasnya kesalahpahaman dalam menghadapi sejarah benturan antara PKI dengan NU dan elemen masyarakat lainnya, maka, NU menyatakan pendiriannya dengan tegas, bahwa:
  1. Jangan Melakukan Snapshot (penggalan) dalam menuliskan sejarah Benturan PKI. Ini tidak bisa dilihat hanya tahun 1965, apalagi hanya dipotret bulan September atau Oktober ketika PKI dipukul hancur. Tetapi perlu melihat dan memaparkan petualangan PKI selama beberapa dekade sebelumnya. Kalau perlu, merunut mulai tahun 1926, 1945, 1948, dan 1960 yang telah melakukan berbagai teror dan pembantaian terhadap lawannya baik yang dikategorikan sebagai “setan desa” maupun “setan kota”. Cara melihat sejarah hanya snapshot (sepenggal) itulah yang menimbulkan kekeliruan dalam menilai petualangan PKI, sehingga kelihatan PKI hanya sebagai korban, bukan sebagai pelaku pembantaian, karena kelakuan PKI selama masa sebelumnya yang memancing kemarahan umat Islam, NU, TNI, dan sebagainya itu tidak diungkapkan. Pengungkapan sejarah secara utuh sejak mulai pra-prolog, masa prolog, masa kejadian, hingga epilognya. Mestinya semua peristiwa ditulis dengan lengkap agar sejarah bisa didudukkan secara proporsional.
  1. Jangan Bersikap Anakronis, yaitu melihat peristiwa masa lalu dengan cara pandang dan sikap masa kini, sebuah masa yang mengandaikan berjalan dengan penuh kerukunan dan toleransi dan saling melindungi. Berbagai manuver yang dilakukan PKI melakukan teror, sabotase, bahkan penculikan itu, telah membuat situasi sosial dan politik nasional panas dan mencekam, penuh kekhawatiran. Teror selama berbulan-bulan menjelang September 1965, bahkan bertahun-tahun sebelumnya itu telah menimbulkan rasa tidak aman, lantas menimbulkan kegelisahan, kekhawatiran, dan ujungnya mengundang kemarahan. Saat itu, PKI telah menciptakan situasi membunuh atau dibunuh. Seluruh masyarakat marah pada nerilaku PKI, karena itu terjadi amuk, semua bersama sama menumpasnya untuk mempertahankan hidupnya. Situasi genting dan mencekam yang dibuat PKI itu harus dipahami sesuai dengan zamannya, tidak bisa dipahami dengan situasi normal seperti sekarang ini. Sekali lagi, dengan cara pemahaman yang kronik, urut, dan sesuai dengan semangat zamannya itulah kita bisa menempatkan sejarah pemberontakan PKI dan pembalasan kelompok NU itu secara proporsional.
  1. Jangan Mendramatisasi Jumlah Korban, hanya untuk menarik simpati masyarakat, apalagi dilihat dari kacamata hak asas manusia dewasa ini. Cara propaganda semacam tu dilakukan oleh para politisi, diplomat, dan sarjana Barat, sehingga melihat NU dan TNI dan umat Islam Indonesia dikategorikan sebagai penjahat karena melakukan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Manipulasi  jumlah korban yang dilakukan dunia Barat, baik sarjana maupun politisinya itu sekadar untuk membuat sensasi sementara pihak PKI sendiri, pihak TNI, dan pihak NU tidak melihat adanya korban dramatis berjumlah ratusan ribu hingga jutaan manusia sebagaimana dipropagandakan sarjana dan media Barat. Tujuan propaganda ini hanyalah divide et impera untuk adu domba dan menciptakan disintegrasi bangsa, bukan imperialisme tidak mengenal kemanusiaan dan keadilan, apalagi keadilan bagi PKI yang juga musuh dunia Barat yang kapitalis. Propaganda dan manipulasi politis dan akademis semacam itu adalah bagian dari orientalisme yang bertujuan pada imperialisme, baik politik maupun kebudayaan. Propaganda semacam itu harus dihindarkan dan ditolak demi kebenaran dan untuk mempercepat Bagi untuk keadilan. proses rekonsiliasi.
  1. Menyesali Munculnya Suasana yang Mencekam. Sebagai pihak yang terlibat dalam konflik itu, NU menyesalkan munculnya situasi seperti itu. Situasi yang tercipta akibat tindakan PKI dan juga pihak lain yang memanaskan situasi, sehingga memunculkan kondisi sosial politik yang mencekam sehingga memuncak pada sikap kill or to be killed (membunuh atau dibunuh). PKI bertanggung jawab dalam menciptakan situasi yang mencekam dan saling mengintai itu. Membunuh terpaksa harus dilakukan untuk bertahan hidup. Padahal, bangsa ini telah memiliki Pancasila sebagai falsafah hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk yang saling berbeda. Munculnya situasi mencekam seperti itu yang perlu disesalkan, karena situasi seperti itu yang mendorong terjadinya perang saudara dan pembantaian ketika masing-masing pihak saling menafikan keberadaannya. Pemusnahan satu pihak untuk eksistensi nihak yang lain. Situasi seperti itu bisa tumbuh kapan saia dan di mana saja, karena itu perlu terus diwaspadai kehadirannya.
  1. Tidak Akan Meminta Maaf dalam peristiwa G-30-S/ DVI Ini adalah sebuah konflik horizontal antara pihak PKI dengan pihak lain: NU dan elemen masyarakat umum. Pihak PKI-lah yang melakukan ofensi atau serangan, sementara NU dan pihak lain dalam posisi bertahan. Serangan itu telah dilakukan sejak beberapa tahun sebelumnya. NU melakukan tindakan pembunuhan terhadap PKI adalah untuk bertahan dan serangan balasan dari serangan PKI yang sangat ganas yang dilakukan sebelumnya. Sebab, kalau NU tidak melakukan serangan balik maka NU akan hancur ditikam oleh PKI sebagaimana dalam peristiwa Madiun 1948. Maka, dalam hal itu PKI yang salah, seharusnya merekalah yang meminta maaf atas kekejamannya. Karena itu, NU tidak akan meminta maaf pada PKI, karena NU bertindak semata untuk bertahan dan sesuai hukum terhadap kelompok agresif dan subversive.
  1. Menjaga dan Melanjutkan Rekonsiliasi, karena benturan PKI dan NU merupakan sebuah perang saudara yang dipicu oleh PKI sendiri, maka tidak perlu NU minta maaf, karena NU bertindak demi keamanan masyarakat dan keutuhan negara, maka tindakan koersif dan represif dilakukan merupakan kewenangan yang ditugaskan oleh negara. Tetapi, untuk menjaga keberlangsungan kehidupan yang rukun dalam bangsa ini maka rekonsiliasi antar- semua elemen bangsa ini perlu diwujudkan dan dijaga agar bangsa ini bersatu dan maju tanpa ada kekerasan, tanpa teror, dan lepas dari diskriminasi, tetapi sekaligus tegas dalam menjalankan norma agama dan norma sosial. Selain itu, rekonsiliasi yang telah terjadi secara alami antara pihak NU dengan PKI.
  1. Mewaspadai Provokasi Baru. Saat ini, banyak berbagai opini bahkan propaganda yang membela PKI, yang tidak hanya dilakukan oleh sisa-sisa PKI, tetapi lebih banyak dilakukan oleh pihak lain yang seolah membela PKI dan menyalahkan pihak lain, baik NU umat Islam, maupun TNI dan kelompok lainnya. Usaha itu telah dilaksanakan oleh lembaga resmi seperti Komnas HAM, Kontras, dan lainnya atas nama HAM. Provokasi ini akan menambah kekisruhan, karena memaksa kembali terjadinya benturan antara PKI dengan rivalnya. Untuk menjaga kerukunan sosial dan keutuhan bangsa maka provokasi berkedok kemanusiaan yang hanya menyalurkan agenda bangsa lain itu hendaklah dihindarkan demi keselamatan rakyat dan bangsa sendiri.
  1. Menjaga Konsolidasi Bangsa. Sebagai kelompok yang berdiri sejak zaman kebangkitan nasional, NU sejak awal sangat peduli untuk menjaga keutuhan bangsa ini sebagai bangsa yang maju dan bermartabat. Konsolidasi dan integrasi nasional merupakan modal dasar untuk menata dan membangun negeri ini, agar di dalamnya kemerdekaan dan kedaulatan bisa terwujud dan terlaksana. Karena itulah segala macam bentuk provokasi, intimidasi, dan caci maki atas nama kemanusiaan, keilmuan, dan peradaban haruslah disingkirkan untuk menjaga keutuhan dan integrasi bangsa ini.
  1. Memperjuangkan Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat. Tujuan dari semuanya ini yaitu kerukunan, persatuan, dan kemajuan adalah untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat secara politik, ekonomi, dan budaya. Sebab, menurut pendiri NU sebagaimana ditegaskan KH. Wahab Chasbullah bahwa setiap perjuangan yang dikendalikan oleh kekuatan asing akan menemui kegagalan, bahkan kehancuran, karena tidak sesuai dengan falsafah dan tradisi bangsa sendiri. Karena itu, kemerdekaan dan kedaulatan merupakan kunci untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran sebagaimana dicita- citakan oleh bangsa ini.

Sikap dasar NU tersebut ditegaskan sebagai bentuk komitmen pada agama dan sekaligus pada bangsa dan negara yang diperjuangkan dan dipertahankan selama ini sebagai wadah bagi kehidupan masyarakat yang beraneka ragam tradisi, budaya, agama, dan suku, yang semuanya bersatu padu dalam falsafah bangsa sendiri, yaitu Pancasila, sebuah falsafah kebhinnekaan yang saling menghargai dan saling menolong untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (sumber BENTURAN NU PKI 1948 – 1965) (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry