Prof Dr dr Eighty Mardiyan Kurniawati, SpOG (K) –  Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Penelitian memperkirakan lebih dari 50% wanita yang melahirkan mengalami gangguan dasar panggul, terutama prolaps organ panggul (misalnya rahim turun) dan inkontinensia urin (beser) dengan berbagai derajatnya. Gangguan dasar panggul disebabkan kelemahan atau kerusakan dasar panggul.

Gangguan dapat berupa inkontinensia urin (beser), prolaps organ panggul, disfungsi seksual, dan inkontinensia fekal dan flatal (ketidakmampuan menahan buang air besar dan buang angin). Kondisi ini dapat mempengaruhi kualitas hidup wanita.

Kejadian meningkat seiring bertambahnya usia, terutama pada wanita paruh baya dan lanjut usia. Prevalensi prolaps organ panggul secara keseluruhan di kalangan wanita paruh baya adalah sekitar 30% di Tiongkok dan 19% di Australia, sedangkan di antara populasi wanita berusia diatas 60 tahun di Amerika Serikat, didapatkan prevalensi lebih dari 50%.

Wu et al (2020) menyebutkan 2050 jumlah perempuan yang menderita prolaps organ panggul bergejala akan meningkat minimal 46% di Amerika Serikat.

Gangguan dasar panggul bukan penyakit yang mengancam nyawa, tetapi mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian G. Stadnicka (2012) menyebutkan bahwa prolaps organ panggul dan gejala inkontinensia urin memiliki indikator kualitas hidup fungsi seksual yang lebih rendah jika dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita inkontinensia urin.

Perbedaan antar kelompok signifikan secara statistik. Lebih dari separuh wanita dengan prolaps organ panggul memiliki kualitas hidup yang buruk. Menurut Zewdu Tefera et al (2023) prolaps organ panggul derajat III/IV, durasi prolaps yang lebih lama, wanita menopause, dan wanita belum menikah merupakan faktor yang signifikan secara statistik terhadap kualitas hidup wanita dengan prolaps organ panggul.

Saat ini, pengobatan untuk kondisi tersebut dapat dilakukan secara konservatif dan operatif. Pemilihan jenis tindakan disesuaikan dengan diagnosis prolaps organ panggul. Misalnya sistokel (prolaps kandung kemih karena kelemahan dasar panggul kompartemen anterior), prolaps uteri/rahim (prolaps karena kelemahan kompartemen tengah) atau rektokel (prolaps rektum karena kelemahan kompartemen posterior).

Perbaikan bedah prolaps dinding vagina masih menjadi salah satu tantangan tersulit dalam rekonstruksi dasar panggul wanita. Tingkat kekambuhan setelah perbaikan kompartemen anterior standar berkisar antara 40-60%. Tingkat kekambuhan yang tinggi ini menciptakan kebutuhan untuk mengembangkan teknik bedah baru dan solusi jangka panjang yang lebih baik.

Implan mesh untuk perbaikan prolaps organ panggul telah digunakan untuk mengurangi risiko kekambuhan. Food and drug administration (FDA) memperkirakan bahwa satu dari tiga operasi prolaps organ panggul menggunakan mesh dan lebih dari 80% operasi Inkontinensia Urin tipe stres menggunakan transvaginal mesh (TVM). Ini diharapkan dapat mengurangi risiko kekambuhan.

Tapi ada komplikasi paling umum setelah perbaikan berbasis TVM, yakni   rasa tidak nyaman pada vagina akibat dari mesh yang menonjol keluar, nyeri terus-menerus, dan erosi uretra dan/atau kandung kemih. Sekitar 10% wanita penderita prolaps organ panggul yang diobati dengan TVM mengalami erosi mesh dalam waktu 12 bulan, dengan 38,6% mengalami nyeri vagina dan/atau dispareunia dan 3,6% karena ekstrusi vagina. Komplikasi lain termasuk infeksi dan retensi urin.

Salah satu yang diharapkan dapat menjawab permasalahan ini adalah mengembangkan inovasi terapi regeneratif dengan memanfaatkan membran amnion. Membran amnion memiliki sifat biologis yang sangat baik, termasuk antibakteri, anti-jaringan parut, imunomodulator, fungsi angiogenik yang bergantung pada lokasi, dan imunogenisitas yang rendah.

Membran amnion dapat dipilih sumber sel punca, scaffold <span;> <span;>(perancah) maupun sumber faktor pertumbuhan yang menjanjikan untuk pengobatan regeneratif. Banyak keuntungan yang menjadi alasan pemilihan membran amnion, termasuk ketersediaan, biaya rendah dan kesederhanaan isolasi. Ini menjadikannya sebagai biomaterial yang cocok dalam terapi regeneratif dan rekayasa jaringan.

Membran Amnion dan Pengolahannya

Pengenalan membran amnion pertama kali ke dunia medis oleh Davies ketika menggunakan membran amnion pada tahun 1910 sebagai transplantasi kulit. Setelah itu pada 1913, Stern dan Sabella memanfaatkan membran amnion  untuk pengobatan luka bakar pada kulit dan luka dangkal. Mengolah membran amnion dapat secara kimia atau dengan substrat antibiotik, mengawetkan, mensterilkan, mengemas dan menyimpannya.

Meskipun sel turunan membran amnion tidak mengekspresikan molekul imunogenik, membran amnion segar dapat menyebabkan beberapa respons inflamasi. Karenanya, deselularisasi (menghilangkan sel epitel) menjadi pilihan. Tujuan menghilangkan lapisan epitel adalah untuk melakukan sterilisasi dan mengawetkannya. Harapannya dapat mengurangi penolakan cangkok, meminimalkan risiko penularan penyakit, dan menyimpannya lebih cepat untuk jangka waktu yang lebih lama.

Ada beberapa agen berbeda untuk deselularisasi membran amnion, seperti natrium dodesil sulfat (SDS), urea, EDTA dan trypsin Membran amnion  disimpan dalam bentuk segar, kriopreservasi, atau kering.

Dapat dikriopreservasi dengan gliserol dan dikeringkan dengan pengeringan beku, udara, atau pengeringan oven. Namun, penelitian menunjukkan bahwa sifat biologis, morfologi, dan fisik tetap lebih utuh dengan pengeringan beku dan penyimpanan dalam gliserol.

Dalam beberapa kasus membran amnion telah ditambahkan ke bahan lain untuk meningkatkan karakteristik. Namun, sifat mekanik dan biologisnya terkadang tidak mencukupi. Untuk itu, membran amnion dikombinasikan dengan material lain. Modifikasi ini dikategorikan menjadi tiga kelompok utama yaitu komposit berbasis membran amnion, ekstrak membran amnion/amnion membran extract (AME), dan hidrogel berbasis membran amnion.

Membran Amnion sebagai Terapi Regeneratif di Bidang Uroginekologi Rekonstruksi

Penelitian Lau et al yang dipublikasikan pada 2020 menggunakan membran amnion sebagai bahan yang dicangkokkan untuk menutupi cacat vagina setelah eksisi parsial erosi mesh. Tidak ada komplikasi intraoperatif dan tidak ada pasien yang melaporkan gejala lebih lanjut hingga 27 bulan pasca operasi. Hanya satu pasien yang mengalami erosi berulang, namun ukuran erosinya lebih kecil dan berhasil diperbaiki..

Penggunaan cangkok amnion dapat menjadi metode yang ekonomis dan alternatif dalam penanganan erosi jaring vagina yang kompleks. Seifeldin (2015) juga memanfaatkan cangkok membran amnion dan berhasil digunakan untuk mengobati cacat dinding vagina tanpa komplikasi serius.

Kasus tidak berkembangnya vagina pada pasien dengan MRKH (sindrom mayer rokitansky-rokitansky-kuster-hauser) juga memungkinkan untuk pemanfaatan membran amnion. Menurut Fotopoulou et al (2010) pembuatan liang vagina pada ruang vesikorektal dan penggunaan membran amnion pada vaginal mold untuk membuat neovagina terbukti menghasilkan hasil anatomi dan fungsional yang memuaskan dengan morbiditas perioperatif yang rendah pada pasien MRKH.

Membran amnion merupakan biomaterial yang terbukti mampu membantu proses penyembuhan luka. Systematic review dan meta analisis yang dilakukan oleh Riska dan Kurniawati (2021) mengevaluasi efek membran amnion pada penyembuhan fistula rektovaginal. Peneliti mengidentifikasi 2 penelitian yang melaporkan efek membran amnion terhadap penyembuhan fistula rektovaginal pada hewan percobaan, salah satunya menggunakan 8 anjing dan lainnya menggunakan 8 kelinci. Peneliti mengevaluasi 2 kelompok, membran amnion dan fistulektomi (kelompok eksperimen) dan kelompok hanya fistulektomi (kelompok kontrol).

Studi-studi ini dievaluasi setelah observasi 4-6 minggu. Pada pemeriksaan, tidak terdapat pembentukan abses, infeksi atau keluarnya cairan dari vagina pada kedua kelompok. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam skor penyembuhan antara dua kelompok (kelompok eksperimen dan kontrol), dimana skor penyembuhan lebih tinggi pada kelompok eksperimen. Membran amnion merupakan biomaterial yang menjanjikan dalam penyembuhan luka fistula rektovaginal.

Penelitian yang dilakukan Kurniawati dkk (2023) menggunakan biomaterial amnion kering dan sel punca dari amnion manusia dan dimanfaatkan untuk proses penyembuhan luka fistula vesikovagina yang dilakukan repair. Sel punca dari amnion memiliki karakteristik seperti mesenchymall stem cells (MSCs) yang bersifat multipoten.

Membran amnion mengandung banyak faktor pertumbuhan dan memiliki sifat self renewal, diferensiasi dan imunomodulasi, secara langsung bila diaplikasikan di daerah luka sehingga dapat mempercepat dan memperbaiki penyembuhan luka. Selain itu, membran amnion merupakan sumber biomaterial sel induk yang melimpah di bidang obstetri dan ginekologi. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry