Dr. Fifi Khoirul Fitriyah, S.Pd., M.Pd.D – osen S1 PG-PAUD, FKIP

KABAR bahagia dunia pendidikan Indonesia dibagikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek),  Nadiem Anwar Makarim pada awal Desember 2023 lalu.

Peringkat Indonesia pada PISA 2022 naik 5-6 posisi dibandingkan dengan 2018, hal ini merupakan pencapaian paling tinggi sepanjang sejarah Indonesia mengikuti PISA. Untuk literasi membaca, peringkat Indonesia di PISA 2022 naik 5 posisi dibandingkan sebelumnya, begitupula literasi matematika naik 5 posisi, sedangkan literasi sains naik 6 posisi.

Di sisi lain, perluasan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) terus dilakukan. Berdasarkan data Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar), Kemendikbudristek, saat ini sudah hampir 70% satuan pendidikan di seluruh Indonesia telah menerapkan IKM melalui program sekolah penggerak, SMK Pusat Keunggulan, dan IKM jalur mandiri.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa

Meskipun telah terjadi peningkatan peringkat Indonesia pada PISA dan IKM telah hampir 70% diterapkan di Indonesia, namun pada praktik di lapangan masih banyak ditemukan miskomunikasi dalam IKM.

Mindset yang Terpenjara

Pembelajaran berdeferensiasi menjadi salah satu kunci dalam IKM, yang terdiri dari diferensiasi konten, proses, dan produk. Namun kenyataannya, diferensiasi produk menjadi andalan utama yang dianggap sebagai luaran dari projek pengguatan profil pelajar Pancasila (P5).

Pada puncak projek P5, tidak jarang satuan-satuan pendidikan mengadakan pesta besar-besaran hingga menyewa tenda besar dan sound system untuk merayakananya, bahkan beberapa satuan pendidikan di kota sengaja menyewa ballroom hotel untuk pelaksanaan puncak projek.

Masih membahas tentang produk, di sini juga terjadi salah kaprah tentang produk hasil P5, yang mana sebagian besar orang, baik guru, KS, pihak dinas masih berorientasi pada produk yang tampak dan berwujud benda, kerajinan, atau bahkan makanan tradisional.

Padahal produk dari projek P5 ini seharusnya adalah karakter peserta didik, dan produk yang dihasilkan hanyalah bonus. Kalaupun itu berbentuk benda atau kerajinan atau makanan, maka produk P5 yang sesuai adalah proses yang dilalui peserta didik untuk mewujudkan itu, contohnya adanya Kerjasama antar peserta didik, pemikiran kritis peserta didik, dan sebagainya.

Saya mengingat ketika memberikan pelatihan IKM di salah satu kabupaten, ada salah satu guru yang menyatakan bahwa dirinya berkecil hati karena projek P5 nya tidak menghasilkan produk berupa benda konkret.

Melalui programnya yang Bernama “Kesatria Lingkungan”, guru tersebut telah berhasil membentuk karakter peserta didik yang cinta lingkungan, namun sayangnya hal tersebut mendapatkan apresiasi yang tidak seberapa dibandingkan dengan produk barang yang dihasilkan oleh guru-guru lain.

Padahal membentuk karakter ini yang sangat susah dibandingkan dengan menghasilkan hanya sekadar produk berupa kerajinan dan makanan, namun kenyataannya mindset lebih banyak orang berorientasinya pada produk barang bukan pembentukan karakter.

Untuk menghasilkan karakter yang berfokus pada P5 bukan hal yang mudah, dan perlu adanya pembiasaan-pembiasaan sampai karakter tersebut terbentuk dan menetap dalam diri peserta didik, tentunya karakter ini tidak dapat diajarkan di dalam kelas, melainkan melalui pemodelan yang dilakukan oleh guru kepada peserta didik. Teladan guru adalah kunci kesuksesan pembentukan pendidikan karakter.

Disiplin Tidak Positif

Sebuah film singkat berjudul “Terlambat” menggugah pikiran banyak orang bahwa disiplin tidak semua positif. Pada film “Terlambat” ini mengisahkan seorang siswi bernama Kayla yang terlambat datang ke sekolahnya dikarenakan merawat ibunya yang sakit demam berdarah, hingga pada hari ke-3 siswi tersebut tidak masuk sekolah karena ibunya meninggal. Di sisi lain, sang guru tidak mau memulai pelajaran jika masih ada siswa yang terlambat.

Pada film “Terlambat” bukan hanya mengisahkan tentang dampak negatif dari tindakan disiplin yang tidak positif, melainkan rendahnya empati dan bullying juga menjadi sorotan dalam film itu. Sang guru dan peserta didik lainnya hanya fokus pada Kayla yang terlambat dan tidak masuk sekolah, tanpa mau mendengarkan apa alasan yang menyebabkan dia terlambat. Bahkan mereka membully Kayla dengan melemparinya kepalan kertas.

Beberapa guru menerapkan cara mendidik yang keras dan tegas terhadap peserta didik. Padahal pada dasarnya, guru tidak dapat memaksa peserta didik untuk berbuat sesuatu jika peserta didik memilih tidak mau melakukannya. Meskipun guru pada akhirnya dapat mengontrol perilaku peserta didik, namun hal ini terjadi semata karena peserta didik mengijinkannya.

Penguatan positif kadang diperlukan untuk membentuk perilaku, misalnya hadiah, bujukan, pujian yang kemudian menjadi sebuah bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi peserta didik agar mengulangi perilaku-perilaku tertentu merupakan suatu bentuk kontrol.

Dalam jangka waktu tertentu kemungkinan peserta didik akan menyadarinya dan akan menolak penguatan positif yang diberikan oleh guru, atau bahkan bisa jadi peserta didik menjadi ketergantungan. Di sisi lain, perilaku memaksa hanya akan membentuk sebuah permusuhan antara guru dan peserta didik.

Penguatan lain yang menyebabkan psikologis peserta didik menjadi terganggu adalah kritik yang menyebabkan rasa bersalah. Kadang guru perlu menyampaikan kritik dengan suara lembut dan dengan nada yang menenangkan saat menyampaikan pesan negatif kepada peserta didik. Belajar menjadi guru yang bijaksana dalam memenuhi kebutuhan peserta didik adalah kunci kesuksesan dalam pembelajaran. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry