Elly Chusmala Dani Ketua Forum Silaturahmi Bu Nyai Kampung Jawa Timur. (FT/BAROMETERJATIM)

SURABAYA | duta.co – Meski Ketua Umum PP Muslimat Khofifah Indar Parawansa (KIP) belum resmi deklarasi sebagai Cagub Jatim, tetapi, sejumlah ‘politisi kampung’ sudah tak sabar untuk ‘menyerangnya’. Terbaru adalah munculnya Forum Silaturahmi Bu Nyai Kampung Jawa Timur yang diketuai Elly Chusmala Dani.

Mengambil tempat di sebuah restoran di Surabaya, Selasa (7/11/2017), forum ini mengundang wartawan, isinya ‘menyerang’ KIP dan mengajak memilih Gus Ipul-Anas dalam Pilgub 2018. Elly menyarankan KIP segera mundur dari Menteri Sosial dan Ketua Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama, alasannya seiring pernyataannya maju di Pilkada Jatim.

“Beliau ke sejumlah daerah sudah mengakui kalau maju sebagai calon Gubernur Jatim sehingga harus dibedakan tujuannya,” ujar Elly kepada wartawan.

Alasan Elly, tidak etis jika seorang Ketua Umum PP Muslimat yang seharusnya fokus pada gerak dakwah, justru ke politik. “Dalam AD/ART NU, juga disebutkan jika ketua yang dihasilkan dari kongres maka jika terlibat politik praktis harus mengundurkan diri. Berbeda dengan pengurus lainnya yang dipilih tim formatur,” ucapnya didampingi Ketua Forum Peduli Muslimat Jawa Timur (FPMJT) Robiatul Adawiyah yang notabene istri dari Gus Fahrur Rozi.

Lucunya, hadir pula Ketua Forum Komunikasi Kiai Kampung Jawa Timur (FK3JT) Gus Fahrur Rozi di tempat tersebut. Wartawan yang kritis terhadap pernyataan ini, langsung mencecarnya. Apa bedanya ketua hasil kongres dengan ketua hasil formatur dalam tugas menjaga muruah organisasi? Mengapa hanya Khofifah (yang belum deklarasi) justru didesak mundur, sementara Gus Ipul Ketua PBNU malah didukung maju?

“.. Tapi Gus Ipul di sini, emm.. kedudukannya sebagai wakil, bukan ketua. Tapi kalau ehh.. Ibu Khofifah adalah sebagai ketua umum Muslimat,” elaknya sambil terbata-bata sebagaimana kutip barometerjatim.com.

Kondisi Elly yang tampak kurang menguasai materi, membuat wartawan kian penasaran. Meski terus ditempel Robiatul Adawaiyah, Elly belum fasih menjawab pertanyaan wartawan, mengapa Gus Ipul yang menjabat Wagub Jatim dan Ketua PBNU tidak diminta mundur?

“Tapi kalau, ehh.. kalau selama masih ada ketua, wak.. wakilnya kan tidak seberapa diperlukan,” katanya sambil melihat ke bawah ‘mencontek’ tulisan di selembar kertas. Sementara Robiatul yang berdiri di sampingnya, terlihat sibuk berbisik membantu Elly yang kedodoran menjawab pertanyaan.

Elly melanjutkan, “Kalau.. ya memang benar wakil dan ketua harus sejalan. Cuma kalau masih ada ketua mungkin masih bisa memimpin eh.. memimpin partai itu, atau memimpin organisasi tersebut. Tapi kalau sudah menjadi ketua, menjadi kepala dari ehh, apa.. organisasi tersebut.”

Bukankah di AD/ART Muslimat NU tidak ada pasal yang memerintahkan ketua umum mundur saat maju di Pilkada? “Ehh.. Di sini makanya (kembali sambil melihat kertas contekan) kami selaku forum silaturahim bu nyai kampung menyampaikan aspirasinya atas musyawarah kami bersama gitu,” katanya. Artinya ini cuma aspirasi semata? “Iya..,” ucapnya.

“Oh, cuma aspirasi..,” seloroh sejumlah wartawan.

Di tempat yang sama, Koordinator Forum Komunikasi Kiai Kampung Jawa Timur (FK3JT) KH Fahrurrozi mengkritik pernyataan Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah Mojokerto KH Asep Saifuddin Chalim.

Kiai Asep sebelumnya menyatakan hukum mendukung Khofifah Indar Parawansa adalah “fardhu ain” atau wajib yang disampaikannya di hadapan sejumlah kiai dan ribuan anggota jamaah Muslimat NU saat Istighosah Kubro di Ponpes Amanatul Ummah di Pacet, Kabupaten Mojokerto.

“Menurut saya, Pilkada Jatim itu adalah urusan dunia dan tidak perlu mengaitkan dengan hukum agama, yakni hukum ‘fardhu ‘ain’. Itu sangat keliru bagi saya dan wajib ditarik pernyataannya karena sudah meresahkan umat,” katanya.

Lho? Apakah urusan dunia tidak dipertanggungjawabkan kelak di akhirat? Waallahu’alam. (bmj)