Tampak Dr Taufik Iman Santoso, SH, Mhum saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli terkait eksekusi ASTRANAWA. (FT/enoh)

SURABAYA | duta.co – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang diketuai Martin Ginting, kembali menggelar Sidang Perlawanan yang diajukan Drs Choirul Anam (Cak Anam) atas eksekusi Tanah ASTRANAWA. Sidang berlangsung di ruang Garuda 2, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli, Dr Taufik Iman Santoso, SH, Mhum, Rabu (27/5/2020).

Dalam keterangannya, Dosen Hukum dari Universitas Surabaya (UBAYA) ini, berpendapat, bahwa, ada kejanggalan serius dalam eksekusi atas putusan perkara No:86/Pdt/2016/PN.Sby Jo No:761/Pdt.G/2016/PT Sby Jo No: 743/Pd/2018.

Pertama, putusan tersebut bersifat konstitutif telah menciptakan atau menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. “Karena putusan itu membatalkan Akte Notaris yang dibuat oleh Pelawan (Cak Anam red.) dengan Pihak YKP. Akte yang dibatalkan itu, memuat perdamaian atau solusi, karena sebelumnya obyek tersebut, bermasalah,” jelas Dr Taufik.

Maka, lanjutnya, putusan konstitutif tersebut selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain, sehingga putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi. Maka, obyek masalah, secara otomatis kembali ke status awal. Sebelum akta itu dibuat.

Kedua, selain itu, putusan tersebut bersifat putusan Condemnatoir, karena   terdapat  putusan yang berisi penghukuman, sehingga pelaksanaan eksekusi haruslah berhati hati agar putusan tidak menjadi sengketa baru, sebagai bagian dari implikasi hukum akibat putusan.

“Adanya putusan pengadilan yang menyatakan Surat Persetujuan (N0: 024/VIII/YKP/SP/2000) direksi dianggap sebagai alas hak atas tanah, lalu menjadi dasar eksekusi, adalah suatu penyimpangan hukum,” ujarnya serius.

Menurutnya, surat persetujuan tersebut hanyalah sebuah memo. Maksudnya untuk melakukan sesuatu kegiatan bagi kepentingan badan hukum tersebut, bukan sebagai alat bukti pemilikan atau alas hak atas tanah. Karena setiap perolehan tanah di republik ini, ada regulasi yang mengaturnya. Tidak ada eksekusi tanah berdasarkan memo.

“Dalam hal ini, karena dalam setiap persoalan tanah yang tidak dapat ditunjuknya bukti tertulis, harus mengacu kepada PP 24 tahun 1997. Dimana berdasarkan pada bagian penjelasan pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997, apabila alat bukti tertulis tidak dimiliki oleh pemohon, maka pemohon dapat mengunakan alat bukti tidak tertulis,” bebernya.

Masih dalam keterangan saksi ahli, perintah eksekusi atas tanah yang disengketakan menurut putusan pengadilan tersebut haruslah non exequatur order (perintah tidak dapat dieksekusi). “Karena tergugat 1 dan tergugat 2 harus menyelesaikan terlebih dahulu pengembalian dokumen dan menyelesaikan sengketa yang telah diselesaikan dengan akta perdamaian melalui notaris yang dibatalkan putusan pengadilan,” imbuh ahli.

Tak kalah menarik, ketika majelis hakim menyebut eksekusi sudah terjadi, dan gugatan perlawanan (masuk ke PN) waktunya hanya beberapa hari sebelum pelaksanaan eksekusi. Menurut Dr Taufik itu menjadi kewenangan majelis hakim. “Yang jelas, eksekusi tidak boleh merugikan orang lain. Ini prinsip,” tegasnya.

Dr Taufik: Prinsip dasar eksekusi, jelas, tidak boleh merugikan orang. (FT/enoh)

Soal waktu, ini juga yang ditanyakan kuasa hukum PKB kepada Dr Taufik. “Saya tidak tahu,” jawabnya singkat.

Alasan waktu mepet, dijelaskan Andi Mulya SH, CPCLE, Direktur LBH Astranawa — kuasa hukum Cak Anam — bahwa, itu sulit dinalar, bahkan terkesan mengada-ada. “Dalam kamus hukum, tidak dikenal istilah waktu mepet. Yang pasti, gugatan perlawanan masuk ke PN Surabaya, itu dua hari sebelum eksekusi dilakukan,” tegasnya.

“Senin (11/11/2019) gugatan perlawanan sudah diterima PN Surabaya dengan nomor perkara 1121/Pdt.Bth/2019/PN.Sby. Besoknya, Selasa (12/11/2019) ditetapkan jadwal sidang perdana. Sementara, eksekusi baru dilaksanakan Rabu (13/11/2019). Apanya yang mepet? Ini terkait hak seseorang, PN tidak boleh melegalkan ‘perampasan’ hak seseorang,” demikian disampaikan Andi Mulya SH.

Sementara, kuasa hukum Cak Anam yang lain, Taufik Hidayat SH, mengatakan, bahwa, dengan keterangan saksi ahli ini, maka, semua menjadi jelas, gamblang. Ini menegaskan, bahwa, eksekusi yang dilakukan juru sita PN Surabaya, terhadap Astranawa, harus dianulir.

Masih menurut Taufik Hidayat, bahwa, kasus ini menjadi ujian serius PN Surabaya. Karenanya, sidang perlawanan ini mendapat perhatian khusus Komisi Yudisial (KY). Pada beberapa agenda sidang sebelumnya, tampak perwakilan KY mengawal jalannya sidang.

Tak hanya hadir, tim KY juga memasang seperangkat kamera guna merekam jalannya persidangan. “Jangan sampai kasus Astranawa ini menjadi tamparan keras bagi PN Surabaya, apalagi di tengah isu maraknya ‘industri hukum’ sebagaimana disampaikan Menko Polhukam RI, Prof Mahfud MD,” tegasnya.

Klop dengan Putusan PTUN

Tak kalah menarik, adalah gugatan Cak Anam ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan dimasukkan untuk menguji status Surat Persetujuan N0: 024/VIII/YKP/SP/2000 yang menjadi dasar eksekusi.

Cak Anam ingin mendapat kepastian, apakah surat (SP) ini merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau bukan? Karena, faktanya, memo YKP berupa surat persetujuan ini, telah dijadikan dasar PN Surabaya untuk melakukan eksekusi tanah ASTRANAWA, miliknya.

Hasilnya? Mejelis hakim PTUN yang diketuai Liza Valianty SH, MH dalam amar putusannya, menegaskan, bahwa, obyek yang disengketakan berupa Surat Persetujuan N0: 024/VIII/YKP/SP/2000, bukanlah produk KTUN. Maka, kewenangan absolutnya bukan di PTUN.

“Dengan demikian, dapat dipastikan, SP N0: 024/VIII/YKP/SP/2000 bukan alas hak atas tanah. Ini sudah kita uji di PTUN. Final,” tegas Andi Mulya.

Selebihnya, masih menurut Andi, ada yang menarik lagi dalam putusan PTUN yang, ternyata juga diikuti PKB ini. Karena, faktanya, PTUN tidak menerima kehadiran DPW PKB. Alasannya legal standing partai politik itu, ada di DPP. Ini sesuai AD/ART partai dan UU Partai Politik.

“Dengan demikian, proses peradilan di PN Surabaya yang diwakili DPW PKB, menjadi ambyar,” jelasnya.

Menurut Andi, putusan PTUN ini menarik. “Targetnya satu. Tetapi, kita dapat dua. Karena yang mewakili PKB di PTUN itu, Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar. Sementara di PN Surabaya Ketua DPW PKB, kakaknya, Halim Iskandar. Jelas, legal standing partai politik itu di pusat, Jakarta,” tegasnya.

“Cuma wartawan kadang tidak paham hukum. Sehingga ada yang menulis Gugatan Cak Anam Kandas di PTUN. Padahal, menang atau kalah, itu sama. Terpenting, bagi Cak Anam, ada putusan PTUN, bahwa, obyek sengketa (SP N0: 024/VIII/YKP/SP/2000) itu bukan KTUN. Sudah begitu, PTUN menganulir legal standing,” jelas Andi sambil tertawa lepas. (eno)