Keterangan foto CNNIndonesia.com

“Para tokoh bangsa dan rakyat pada umumnya, sangat prihatin dan khawatir Indonesia jatuh lebih dalam lagi ke dalam pelukan komunis, sekaligus kapitalis yang dipertemukan melalui UU Ciptaker.”

Oleh: Choirul Anam*

BANYAK pihak baik sipil maupun militer, guru besar, intelektual kampus maupun para pakar, agamawan maupun tokoh masyarakat, budayawan maupun jurnalis, yang meyakini bahwa berbagai produk regulasi, terutama yang diproduksi secara terburu-buru dan “ugal-ugalan” oleh pemerintah dan DPR menjelang dan di musim pandemi Covid-19 ini, merupakan “kejahatan sistemik” yang diduga kuat dipengaruhi taipan komunis RRC dan oligarki kapitalis.

Keyakinan itu dapat dipahami jika dikaitkan dengan berbagai produk legislasi yang, sama sekali, tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan bahkan menabrak konstitusi. Sehingga, mulai dari UU pelemahan KPK, Perpres, Perppu, UU Minerba, UU Corona sampai dengan UU HIP yang mengancam Pancasila sebagai dasar negara, menuai penolakan dan protes rakyat yang tiada henti.

Begitu pula Omnibuslaw UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang, baru saja ditandatangani Presiden Jokowi pada Senin, 2 November 2020, beberapa jam setelah aksi ribuan buruh yang terkonsentrasi di Patung Kuda, Monas, Senin siang. Dan UU tersebut diundangkan pada hari dan tanggal yang sama dalam Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor 245, juga belum bisa menjamin tidak akan ada lagi demo besar menolak UU Ciptaker.

Pasalnya, tentu bukan hanya karena pembuatan UU yang terburu-buru, hingga secara prosedur tidak sejalan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, dan secara materi bertentangan dengan norma-norma yang terkandung dalam UUD 1945 saja. Juga bukan hanya karena pengesahan UU Ciptaker oleh DPR pada tengah malam tanpa naskah final, dan baru sepekan setelah pengesahan muncul berbagai versi draft final dengan ketebalan yang berbeda-beda.

Dan setelah UU Ciptaker ditandatangani presiden serta diundangkan dalam Lembaran Negara pun, ternyata masih juga terjadi penambahan halaman dan salah ketik. Tentu bukan semua hal yang disebut terakhir itu saja, yang membuat aksi unjuk rasa menolak berbagai produk regulasi sulit dihentikan.

Tetapi, sebab utamanya adalah, lebih pada adanya perbedaan prinsip pandangan antara rakyat sebagai pemegang kedaulatan, dan pemerintah bersama DPR sebagai penentu kebijakan. Perbedaan dimaksud, bertumpu pada pandangan dan pemahaman terhadap pentingnya berbagai regulasi, terutama UU Ciptaker, dari perspektif konstitusi negara.

Para tokoh bangsa dan rakyat pada umumnya, sangat prihatin dan khawatir Indonesia jatuh lebih dalam lagi ke dalam pelukan komunis, sekaligus kapitalis yang dipertemukan melalui UU Ciptaker. Karena pada saat ini pun, sesungguhnya, Indonesia sudah “dirampok” komunis dan kapitalis secara bersamaan.  Hanya saja, belum banyak rakyat yang menyadari, karena infiltrasi  mereka bersifat halus dan menggiurkan terutama bagi para pejabat yang berpotensi khianat terhadap negara, bangsa dan umatnya.

Sedangkan pemerintah (penguasa merangkap pengusaha) dan DPR, berdalih mempercepat pembangunan agar Indonesia segera menjadi negara maju. Dengan cara mengubah struktur ekonomi dan sektor terkait, sehingga investasi dan produktivitas meningkat, lapangan kerja tersedia, ekonomi tumbuh meroket dan rakyat makin sejahtera. Karena itu, pemerintah seolah meminta rakyat untuk percaya saja dan tidak melakukan protes. Karena, di dunia ini, tidak pernah ada pemerintah manapun “yang membuat aturan untuk  menyengsarakan rakyatnya”. Wow mana ada pengelolaan negara didasarkan pada asas saling percaya bro!

Jasmerah! Bukankah situasi dan kondisi saat ini mirip menjelang pemberontakan G 30 S/PKI 1965 bro? Komunis yang atheis itu, sangat murka jika melihat kehidupan umat beragama (terutama Islam) berjalan damai, rukun dan bersatu. Sehingga perlu infiltrasi agar mereka (umat beragama) saling curiga dan mudah diadu-domba. Lalu pada gilirannya, bisa dilenyapkan secara cepat sesuai ajaran Marx dan Lenin. Begitulah kira-kira pesan Ahmad Daryoko, Koordinator Invest, dalam tulisannya yang diunggah di https://m.facebook.com(3 Nopember 2020)  berjudul “Komunis dan Kapitalis Sama Sadisnya”. Agar rakyat (terutama umat Islam) waspada.

Fenomena adu domba itu, sudah bisa disaksikan dan dirasakan sekarang ini. Lihat saja, umat Islam sudah mulai saling curiga. Ormas Islam seperti NU misalnya, ‘dipaksa’ gigih memusuhi Islam garis keras, Islam radikal, sampai tega membuat film “My Flag Merah Putih Vs Radikalisme” yang menggambarkan betapa kasarnya orang NU terhadap wanita yang mengenakan cadar. Hampir mirip dengan video pendek perlakuan polisi Perancis yang memaksa muslimah lepas jlbab, lalu membantingnya terkapar di lantai.

Begitu pula, ketika dunia Islam memboikot produk Perancis gegara presiden Emmanuel Macron mendukung kebebasan berekspresi dengan pembuatan dan penyebaran karikatur Nabi Muhammad SAW, lalu dibumbui pernyataan; dunia Islam sedang dalam keadaan krisis,  eh…tiba-tiba beberapa pengurus PBNU yang sok bijak mengatakan: “Macron tidak membenci Islam, tapi memerangi radikalisme dan terorisme yang mengancam negaranya.” Wow sama juga dengan film pendek NU “My Flag Merah Putih Vs Radikalisme”.

Masih belum sadar juga bahwa itu semua proyek komunis, kapitalis dan liberalis, untuk adu-domba umat Islam. Sehingga, orang NU seperti Muwafiq misalnya, dengan mudahnya mengatakan :“masa kecil Nabi Muhammad rembes, umbelen, tidak terawat”. Sampa-sampai dia gambarkan jika saja (kala itu) ada musim buah jambu, kira-kira “Nabi kecil juga ikut kebiasaan anak-anak nyolong jambu.” Astaghfirullah…!

Ingat pesan Bung Karno: Jasmerah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Watak komunis, setelah merasa posisi politik dan kekuasaannya mantap, seperti ditulis Ahmad Daryoko dan banyak penulis lain, dia  (komunis) akan membunuh lawan politiknya secara cepat, meski berdarah-darah, sehingga kelihatan sadisnya. Contohnya seperti “Peristiwa Madiun atau Pemberontakan PKI (September) tahun 1948, dan Peristiwa G 30 S/PKI atau peristiwa Lobang Buaya pada 30 September 1965”.

Bedanya dengan kapitalis bro? “Kapitalis membunuh rakyat secara pelan-pelan. Kapitalis pandai menciptakan situasi, sehingga rakyat yang akan dibunuh pelan-pelan dan secara massal pun, sama sekali tidak merasa. Bahkan ada sebagian rakyat yang bersuka cita menyambut era Kapitalis ini, karena mereka diberi upah untuk merusak konstitusi dan Dasar Negara-nya. Atau minimal, mereka diberi gaji lebih besar atau proyek kecil-kecilan bagi yang sudah purna. Karena, program Kapitalis tidak akan bisa berjalan tanpa merusak Dasar Negara dan Konstitusi,” tulis Daryoko.

Contohnya, seperti yang terjadi sekarang ini di sektor ketenagalistrikan. “Saat ini tinggal menungga saja kapan pemerintah akan melepas kelistrikan sepenuhnya kepada swasta. Karena sesungguhnya, saat ini 90% kelistrikan kita sudah dikuasai Asing dan Aseng. Sehingga kita akan mengalami nasib seperti Philipina yang tarif listriknya melonjak 4-5x lipat saat NAPOCOR (PLN-nya Philpina) dijual ke AS, Jerman, Jepang, Korea dll pada 2006/2007,”kata Daryoko memberikan contoh sadisnya Kapitalis.

Artinya, sekarang ini sebenarnya Kapitalis telah berhasil “merampok” negara kita dengan contoh PLN ini, tapi rakyat tidak tahu. “Karena, pemerintah dan PLN berusaha menutup-nutupi kejadian sebenarnya dengan  strategi subsidi dengan hutang PLN,” tambahnya.

Masih kata Ahmad Daryoko, “perlu diketahui pada 2020 ini subsidi listrik sesuai perhitungan Melissa Brown dari Institute for Economic Energy and Financial Analysis (IE2FA) akan mencapai Rp 170, 2 triliun. Sementara hitungan INVEST dari catatan RDP PLN-DPR RI, Seminar Menkeu, PP PMN dll memprediksi subsidi akan mencapai Rp 150 triliun. Artinya, subsidi listrik akan mengalami kenaikan tiga kali lipat dari biasanya saat masih dikelola PLN sepenuhnya.” Wow sadis benar Kapitalis ini bro!

Kenapa bisa terjadi seperti itu?  “Karena 90% pembangkit listrik Jawa-Bali sudah dikuasai swasta. Ritail PLN semuanya sudah dijual kepada para taipan sembilan naga baik dalam bentuk “bulk” (curah) atau “whole sale market”, serta dalam bentuk Token maupun konvensional, melalui “System OC Cater” oleh oknum Dirut PLN bekerjasama dengan Asing dan Aseng”.

Sehingga, diam-diam sesungguhnya, “sudah terjadi MBMS (Multi Buyer and Multi Seller System) atau mekanisme pasar bebas kelistrikan di Jawa dan Bali,” kata Daryoko sembari menambahkan bahwa tindakan oknum-oknum pejabat yang dipercaya merawat dan menjaga kelistrikan agar tidak jatuh ke pihak swasta itu, sesungguhnya, telah melanggar Putusan MK No.111/PUU-XII/2015 dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (2).

Para pendiri bangsa sudah wanti-wanti agar sektor kelistrikan yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang bersifat exclussive right—tidak dimiliki komuditas lain, harus tetap dikuasai negara (PLN) untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tetapi, kenyataan sekarang, sudah 90% kelistrikan kita dikuasai swasta.

“Artinya, sektor kelistrikan kita sudah diliberalkan, dan PLN diberikan banyak pesaing. Akibatnya, subsidi pemerintah naik tiga kali lipat dibanding saat masih dikelola PLN,”tulis Daryoko sambil menyebut nama-nama oligarki yang bekerjasama dengan Asing dan Aseng “merampok listrik” sepreti beberapa menteri merangkap pengusaha di kabinet Jokowi, dan mantan dirut PLN  yang sangat senang dengan UU Ciptaker serta beberapa oknum anggota DPR.

Ahmad Daryoko yang juga Presiden MKLI (Masyarakat Konsumen Listrik Indonesia), pada 20 September 2020, sebelum pengesahan UU Ciptaker, telah pula membuat surat terbuka ditujukan kepada Presiden Jokowi. Tentu Daryoko berharap agar UU Ciptaker tetap mengacu pada Konstitusi Negara dan Putusan MK yang telah membatalkan liberalisasi sektor kelistrikan.

Tapi rupanya, kata Daryoko, dalam draft UU Ciptaker  (versi…?) Pasal 41 halaman 208, tetap saja menyerahkan sektor kelistrikan pada mekanisme pasar bebas. UU Ciptaker versi 1187 halaman juga menyebutkan (Pasal 5 ayat (1) “Kewenangan pemerintah pusat di bidang ketenagalistrikan meliputi: huruf a s/d r yang pada huruf “m” membuka perizinan terkait usaha jasa penunjang listrik yang dilakukan BUMN atau penenaman modal asing/myoritas sahamnya dimilki asing”. Itu artinya, selain dicengkeram komunisme, negara kita saat ini juga “dirampok” kapitalisme yang sama-sama sadisnya.

Padahal kedua ideologi itu: komunisme dan kapitalisme, ditolak mentah para founding father’s saat mendirikan negara Indonesia berdasar Pancasila dan UUD 1945. Dan kini, penguasa (pemerintah dan DPR) bersama para pengusaha, tampaknya, justru ingin mempertemukan komunis dan kapitalis di bumi pertiwi ini. Dua ideologi musuh bebuyutan itu (rupanya) akan disinergikan melalui berbagai regulasi, terutama UU Ciptaker. Karenanya, para tokoh bangsa  dan rakyat pada umumnya, yang sadar akan bahaya yang akan terjadi terhadap bangsa dan negara, agaknya, akan tetap berusaha agar Indonesia tegak berdiri di atas Pancasila dan UUD 1945.

Entah karena apa, pemerintah (rupanya) memaksakan kehendaknya tanpa mau mendengar suara rakyat. Padahal suara rakyat adalah suara tuhan. Bahkan,  pemerintah seolah lupa akan tugasnya: “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Contoh, Habib Riziq Shihab  itu ‘kan WNI kok tidak dilindungi, malah “dimusuhi”, piye toh  Pak Jokowi. (bersambung).

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry