“Kenapa hal prinsipil seperti ini tidak dicantumkan, padahal sudah menunai polemik di internal DPR RI sendiri? Apakah lembaga perwakilan rakyat itu sudah tidak steril dari pengaruh faham komunis…”

Oleh: Mabroer MS, Aktivis Nahdliyin

SEPERTI lirik lagunya SLANK, “Tak ada matinya.” Itulah perjuangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selalu mencari celah dengan segala cara untuk menggelar “dakwah politik” guna mewujudkan negara berbentuk Khilafah.

Bahkan di tengah hiruk-pikuk Pandemi Corona dan tragedi kemanusiaan George Floyd di AS, mereka makin rajin bermanuver melalui ragam isyu-isyu sensitif. Belum lama ini, mereka juga menggelar konsolidasi virtual bertema  “Komunisme dan Oligarkhi Dibalik RUU HIP,  Meminggirkan Agama, Meng-Agama-kan Pancasila?”.

Selain dua nara sumber utama; Ust.Ismail Yusanto dan Prof Suteki SH, M.Hum, juga hadir Prof DR Dien Syamsuddin (Muhammadiyah), DR Abdul Khair R, SH, MH, Dr Masri Sitanggang (DDI), dan Sugi Nur Raharja (Gus Nur).

Prof Suteki merupakan guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang sekaligus pakar filsafat Pancasila. Bagi HTI, Suteki merupakan tokoh penolong karena bersedia menjadi saksi ahli sewaktu Ormas yang dibubarkan berdasarkan Perpu No 2 Tahun 2017 itu mengajukan gugatan ke PTUN.

Meski akhirnya gugatan HTI ditolak, namun jalinan pertemenan itu pun berlanjut, apalagi setelah Prof Suteki dibebastugaskan dari Undip. Sebetulnya, ihwal dugaan Prof Suteki sebagai pendukung sekaligus aktifis HTI masih perlu diinvestigasi karena sanksi yuridis tidak boleh dilakukan secara semena-mena.

RUU HIP ini juga pernah viral karena polemik kecil yang dimulai dari sentilan Fadli Zon kepada Menkopolhukam Mahfud MD. Anggota DPR RI dari Gerindra yang dikenal cukup dekat dengan sejumlah tokoh HTI itu awalnya menyindir Mahfud MD terkait RUU HIP.

Dalam twitternya, Fadli Zon menyindir Menkopolhukam dengan kalimat, “Ini RUU yang sama sekali nggak penting. Hari gini masih bicara Haluan Ideologi Pancasila. Apa urgensinya?”

Tentu saja cuitan Fadli Zon langsung langsung direspon Mahfud dengan jawaban cukup telak, “Hahaha, Bung Fadli. Yang usul RUU HIP itu lembaga Anda. DPR yang usul, termasuk Gerindra, bukan Pemerintah,” tulis Mahfud.

Ini hanya sekedar contoh, metode dakwah yang dikembangkan oleh komunitas lain dengan cara-cara yang tidak elegan.

Masalah Prinsip

Kontroversi berbagai RUU belakangan ini makin menjauhkan jarak kepercayaan rakyat dengan para wakilnya. Mereka seakan berjuang dan membangun tataran kenegaraan bukan untuk jutaan rakyat Indonesia yang telah memilihnya.

Kontroversi itu makin lengkap dengan tidak dicantumkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966. Tentu, kontroversi ini jadi makanan empuk bagi HTI untuk memperlebar ruang kegaduhan dengan membincangkan hal-hal mendasar yakni Pancasila. Apalagi sejak awal mereka sudah menolak Pancasila karena dianggap “thoghut”.

Sebagai sebuah gerakan, HTI yang dibawa ke Indonesia oleh aktifis HTI Australia tahun 1983 itu mengalami masa-masa  keemasannya pada era tahun 2010-an. Pada 2013, HTI menggelar Muktamar Khilafah secara serentak di  berbagai kota dan puncaknya pada 2 Juni 2013, HTI menggelar Muktamar Khilafah di Gelora Bung Karno dengan tema “Mengokohkan Kembali peran Khilafah di Tengah Arus Perubahan Dunia”.

Dua tahun berselang, tepatnya 30 Mei 2015 HTI juga menghelat hajat akbar berupa Rapat Akbar & Pawa Akbar HTI di Gelora Bung Karno dengan tema “Bersama Umat Tegakkan Khilafah.” Kendati secara vulgar telah menyatakan ideologi lain di luar Pancasila, namun negara seakan tak merasa terganggu sehingga kerikil itu akhirnya benar-benar telah menjelma jadi batu sandungan.

Memang kita patut menyesalkan para pihak, khususnya DPR RI kenapa RUU HIP itu tak mencantumkan Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI sekaligus larangan dari setiap kegiatan untuk menyebarkan dan mengembangkan faham komunis/marxisme-leninisme.

Kenapa hal prinsipil seperti ini tidak dicantumkan, padahal sudah menunai polemik di internal DPR RI sendiri? Apakah lembaga perwakilan rakyat itu sudah tidak steril dari pengaruh faham komunis atau ada skenario lain yang dengan sengaja tidak memasukkan Tap MPRS No XXV guna memberikan panggung politik kepada kelompok tertentu seperti HTI agar tetap bisa tampil ke publik  dan mengembangkan eksistensinya?

Jika asumsi tersebut benar, betapa naifnya oknum-oknum wakil rakyat itu karena telah mengkhianati amanat rakyat sekaligus bangsa Indonesia. Semoga para anggota DPR RI itu segera melakukan koreksi dan sadar diri bahwa PKI merupakan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia sehingga tetap harus mendapatkan atensi. ###

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry