Oleh: Yustinus Ade S

HARI BUMI yang diperingati setiap tanggal 22 April, baru saja kita rayakan. Tahun ini peringatannya serasa tenggelam dengan pemberitaan media tentang covid-19. Padahal tragedi kemanusian akibat pandemi global ini merupakan moment  tepat untuk merefleksi kembali kondisi rahim bumi yang semakin ‘sekarat’ akibat eksploitasi manusia atas bumi. Dan, covid-19 dapat dimaknai sebagai cara alam mengembalikan fungsinya yang alam ilmu ekologi dikenal dengan Daya Lenting Lingkungan. Dengan kata lain, melalui pandemi global covid-19, saat ini tengah terjadi pemulihan ekologi—dalam tulisan ini saya sebut pemulihan lingkungan.

 

Kondisi rahim bumi saat ini begitu mengkhawatirkan. Laju kerusakan dan pencemaran terjadi begitu masif hampir di berbagai belahan bumi. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan terjadi mana-mana menyebabkan kondisi bumi semakin rentan dan rapuh. Pola pergantian musim yang tidak beraturan, intensitas bencana lingkungan semakin tinggi akibat banjir, longsor, kebakaran hutan, pencemaran air, udara, tanah akibat limbah industri atau kendaraan bermotor yang terjadi akhir-akhir ini adalah bukti nyata sebagai akibat dampak dari perubahan iklim. Termasuk munculnya penyakit baru, seperti wabah corona yang telah menyebar ke-209 negara, termasuk Indonesia, dan menyebabkan 100 ribu jiwa meninggal.

Pemulihan Lingkungan

Bisa jadi, covid-19 ini terjadi akibat keseimbangan lingkungan terganggu. Melalui wabah corona, alam kembali memulihkan dirinya yang dalam ilmu lingkungan dikenal dengan Daya Lenting, yaitu kemampuan suatu sistem untuk menjaga fungsi-fungsinya dan proses kunci dalam menghadapi tekenan dengan cara bertahan maupun beradaptasi terhadap perubahan. Lingkungan punya cara tersendiri untuk ‘menyembuhkan’ diri dari kerusakan atau pencemaran lingkungan akibat ulah manusia yang tidak memperhatikan keseimbangan atau hak lingkungan.

Dan lihat apa yang terjadi dari dampak positip dari covid-19 terhadap lingkungan. Semenjak berbagai negara memberlakukan lock down—salah satu cara yang efektif dalam memutus mata rantai penyebaran wabah yang mematikan ini, pemulihan lingkungan pun terjadi. Langit tampak bersih dan cerah.

Covid-19 memulihkan kualitas udara kota-kota besar di dunia. Dilansir dari Liputan6.com (3/4), dilaporkan polusi udara di tujuh kota besar di dunia menurun saat lockdown diberlakukan di kota tersebut selama Maret, 2020.  Di Wuhan, China (Maret, 2020) dilaporkan kadar emisi gas buang dari mobil, pembangkit listrik, dan pabrik turun 40 % di kota-kota China. Di Kota Roma, Italia, konsentrasi Nitrogen Dioksida (NO2) turun 25—35%. Angka itu lebih rendah dibanding periode yang sama satu tahun lalu.

Di Kota Madrid, Spanyol (Maret, 2020) Level NO2 turun 41—56% dibanding tahun 2019. Penurunan tingkat polusi juga terjadi di Kota Lisbon, Portugal. Dilaporkan level NO2 turun 40—51% dibanding tahun 2019, sejak penerapan Darurat Corona diterapkan di kota tersebut.

Sementara itu, di New York, AS, kadar Karbon Monoksida (CO) terutama dari mobil berkurang 50% di banding tahun sebelumnya. Di Kota New Delhi, India, kondisi parameter PM 2.5 (partikel debu halus) turun 71% dalam sepekan.  Untuk pertama kali  Gunung Himalaya—salah satu gunung tertinggi di India tampak jelas dari jarak pandang 20 km—sesuatu yang tidak terjadi sejak 30 tahun terakhir. Terakhir, di Indonesia, konsentrasi parameter PM 2.5 turun selama  penerapan Work From Home (bekerja dari rumah) Indeks Kualitas Udara (IKU) rata-rata diangka 60. Kota Jakarta pun tampak indah, langit jernih tak lagi ditutup asap polusi kendaraan.

Itu baru dari sisi pencemaran udara, belum lagi dampak positip lingkungan lainnya, seperti menurunnya beban pencemaran air akibat limbah industri atau aktivitas lainnya yang menyebabkan banyak sungai menanggung beban pencemaran yang tinggi. Menarik untuk diteliti bagaimana kondisi sungai besar di Indonesia, seperti Sungai Citarum, Bengawan Solo, sungai Ciliwung yang selama ini tingkat pencemarannya tinggi pasca-lockdown.

Pada titik ini, manusia disadarkan bagaimana wabah covid-19 ini dapat ‘menghentikan’ kesombongan dan keserakahan manusia atas lingkungan dengan cara berpikirnya yang antroposentis—manusia pusat dari segalanya. Adapun lingkungan ‘tunduk’ pada keinginan manusia. Lingkungan hanya dilihat sebagai alat atau sarana untuk memenuhi kebutuan manusia.

Dan, inilah akar krisis lingkungan yang terjadi saat ini, yaitu merosotnya moral atau etika lingkungan. ‘Sesat pikir’ tentang lingkungan inilah yang menyebabkan krisis lingkungan secara global sehingga alam berbalik menuntut haknya dengan mengirim bencana lingkungan berupa wabah corona sebagai reaksi alam atas keserakaan manusia. Covid-19 mengoreksi cara pandang manusia, bahwa manusia bukan pusat dari segalanya akan tepi manusia bagian dari lingkungan. Bukan subyek penguasa tunggal atas lingkungan.

Perlu Moral Baru lingkungan

Mengatasi krisis ekologi yang terjadi saat mau tidak mau maka cara pandang manusia perlu diubah. Menurut Arne Naes, krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radaikal. Untuk itu, dibutuhkan sebuah pola hidup atau gaya hidup yang baru yang tidak hanya hanya menyangkut orang per orang tetapi budaya masyarakat secara keseluruan.

Mantan Menteri Lingkungan—Dr. A. Sonny Keraf, dalam bukunya Etika Lingkungan (Penerbit Buku Kompas, 2020), menulis, perlu ada perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan yang tidak lagi bersifat mekanistis—reduksionistis  tetapi bersifat holistis dan ekologis. Untuk itu, tulis Sonny, perlu  suatu etika baru yang tidak hanya berlaku untuk interaksi manusia tetapi juga interaksi manusia dengan seluruh kehidupan di bumi.

Mereasliasikan etika baru ini memang bukan perkarah mudah. Dibutuhkan komitmen bersama dan menjadi gerakan bersama secara global dengan melibatkan semua kelompok masyarakat untuk membangun budaya baru, etika baru, dan gaya hidup baru  yang disebut Arne Naess sebagai ecosopy—gerakan kearifan merawat bumi sebagai sebuah rumah tangga untuk menjadikannya menjadi tempat yang nyaman bagi semua kehidupan.

Budaya baru itu bisa dimulai, dipertahankan, diajarkan dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain, dari satu kelompok ke kelompok yang lain, dari satu generasi ke generasi yang lain. Untuk itu, penting budaya baru ini ditanamkan secara dini pada anak melalui pendidikan lingkungan secara formal maupun nonformal. Dengan begitu, lahir satu generasi baru dengan cara pandang yang baru tentang alam.

Covid-19 mengajarkan kita banyak hal, tidak hanya soal iman, perilaku hidup sehat, solidaritas, tapi juga bagaimana manusia menghargai lingkungan. Melalu covid-19, lingkungan mengirim pesan agar manusia lebih peka, cerdas, dan bijak membaca tanda-tanda lingkungan. Mengutip A. Sonny Keraf, bahwa krisis lingkungan adalah krisis kehidupan sehingga menyelamatkan krisis lingkungan berarti menyelamatkan kehidupan di bumi ini. Mari kita rawat rahim bumi untuk kehidupan yang lebih bermartabat.

*)Penulis adalah Jurnalis dan Penggiat Lingkungan, tinggal di Yogyakarta

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry