Foto kenangan Maria Ulfah Santoso, pejuang perempuan Menteri Sosial Kabinet Sjahrir III tahun 1946 dalam sebuah acara. (berdikarionl)

ADA kisah menarik yang ditulis Eddi Elison dalam buku ‘Ketawa Bareng Bung Karno’. Adalah kisah Maria Ulfah Santoso, pejuang perempuan yang pernah menduduki jabatan Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir III tahun 1946.

Namanya diabadikan dalam sejarah. Ketika Republik ini baru berdiri, dialah satu-satunya perempuan yang duduk di posisi kunci kekuasaan.

Maria Ulfah lahir di Serang, Banten, tanggal 18 Agustus 1911. Dia terlahir dari keluarga priayi. Ayahnya, Raden Mochammad Achmad, adalah satu dari segelintir pribumi yang bisa mengenyam pendidikan hingga tamat HBS (SMU) saat itu.

Terlahir dan dibesarkan di tengah keluarga priayi, ia menyaksikan betapa kaum perempuan diperlakukan rendah di bawah ketiak laki-laki feodal.

Ia melihat sendiri seorang perempuan yang sudah menikah dipulangkan ke rumah orang tuanya karena sakit. Lalu, dengan seenaknya, si suami menjatuhkan talak.

Kenyataan itulah yang menggerakkan Itje, sapaan akrab Maria Ulfah sewaktu kecil, memilih belajar Ilmu Hukum ketimbang Kedokteran.

“Saya mau memperjuangkan hak-hak wanita. Banyak wanita diperlakukan tidak adil, dicerai tidak boleh protes atau ke pengadilan. Hal ini amat menyakitkan hati saya,” katanya.

Itje pun berangkat ke Negeri Belanda untuk menimbah ilmu hukum. Tepatnya di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Di sana, selain bergelut dengan urusan akademik, Ia juga terlibat dalam perhimpunan mahasiswa Leiden (Vereeniging van Vrouwelijke Studenten Leiden/VVSL).

Di Leiden, Maria banyak bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia, seperti Haji Agus Salim, Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Namun, dari ketiga tokoh itu, Sjahrir-lah yang paling banyak menancapkan pengaruh ideologisnya.

Di Belanda, Maria juga kerap melahap banyak bacaan kiri. Salah satunya adalah buku karya revolusioner Tiongkok, Mao Zedong, yang dipinjam dari seorang kawannya. Dia juga membaca pidato pembelaan Bung Karno di hadapan pengadilan kolonial di Bandung, “Indonesië Klaagt-Aan/Indonesia Menggugat”, tahun 1930.

Tahun 1933, setelah empat tahun belajar di Negeri Belanda, Maria berhasil menamatkan studinya. Dia menjadi perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) dari Universitas Leiden, Belanda.

Setahun kemudian, ia pulang ke Indonesia. Saat itu, ia sempat mengajar di sekolah menengah pertama (AMS) milik Muhammadiyah. Kemudian pindah mengajar di ‘sekolah liar’ milik Perguruan Rakyat. “Yamin dan Amir Sjarifoeddin, yang kemudian menjadi tokoh pemimpin nasionalis, juga mengajar di sana,” kata Maria.

Di tahun 1930-an hingga 1940-an, ia banyak berkecimpung di gerakan perempuan. Ia beberapa kali memimpin organisasi maupun federasi gerakan perempuan. Tak hanya itu, ia juga berperan dalam beberapa kali penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia.

Di tahun 1945, ketika BPUPKI dibentuk, Maria Ulfah menjadi salah satu anggotanya. Konon, di badan yang menyiapkan kemerdekaan Indonesia itu, yang jumlah anggotanya 60-an orang, hanya ada dua orang perempuan. Di BPUPKI, Maria ditempatkan di Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar.

Pasca kemerdekaan, Ia juga sempat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Tahun 1946, ia ditunjuk sebagai Menteri Sosial oleh Sjahrir. Nama Santoso yang melekat di belakang namanya adalah nama suami pertamanya. Sayang, pada saat Agresi Militer Belanda kedua, suaminya itu gugur. Kemudian, setelah 15 tahun sebagai janda, ia menikah dengan tokoh partai sosialis, Soebadio Sastrosatomo.

Nah, yang terakhir ini (bersama Soebadio) ada kisah menarik antara Maria Ulfah dan Bang Karno. Tepatnya setelah terjadi pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI/Permesta) tahun 1957, pemerintah membubarkan Masyumi karena dinilai terlibat gerakan PRRI/Permesta yang disokong asing. Sejumlah tokoh PSI ditahan seperti Soebadio Sastrosatomo.

Padahal, saat itu, Maria Ulfah sedang jatuh cinta dengan Soebadio Sastrosatomo. Untuk itu, Maria mendatangi Bung Karno minta dispensasi menikah terlebih dulu dengan Soebadio sebelum tokoh PSI itu dipenjarakan.

Apa alasan Maria? “Kalau belum nikah, maka, tidak pantas menjenguk calon suami di tahanan. Bagaimana pandangan orang nantinya,” demikian Maria.

Bung Karno pun manggut-manggut. Dia memberikan waktu dua minggu lamanya untuk Maria dan Soebadio agar menjalankan akad nikah. Setelah itu, Soebadio dijebloskan dalam tahanan. Maria pun bebas membesuknya.

Lalu apa komentar Bung Karno? “Bagaimana Jeng, senang bertemu dengan Mas Badio? Apa saja yang dibicarakan ketika bertemu?”

Maria menjawab lugas, “Ya senang, kami pun selalu berbicara soal kenegaraan ketika bertemu.”

“Lho masak cuma ngomong-ngomong saja,” tanya Bung Karno dengan nada sedikit heran.

“Kan izinnya bukan hanya untuk sekedar omong-omong saja. Bisa yang lainnya…,” jelasnya. Mari Ulfah tidak menjawab, dia memilih diam. Apalagi setelah itu Bung Karno menpuk-nepuk bahunya…(*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry