Rektor dan Wakil Rektor Unusa serta pembicara dalam Talkshow ITCRN 2023, menandatangani Pakta Integritas untuk memperluas dan memperkuat kawasan tanpa rokok di Kampus Unusa dan Surabaya, rabu (6/12/2023). DUTA/ist

SURABAYA | duta.co – Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) siap untuk menjadi kampus bebas asap rokok. Walau menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama (NU), namun Unusa berkomitmen menjadi kampus yang sehat.

Hal itu diungkapkan Rektor Unusa, Prof Dr Achmad Jazidie, MEng, saat membuka acara Talkshow International Tobacco Control Research Network (ITCRN) 2023 di Auditorium Unusa, Rabu (6/12/2023).

Prof Jazidie mengakui memang tidak menuliskan tanda larangan merokok di sudut-sudut kampus Unusa. Namun, Prof Jazidie menginginkan seluruh sivitas akademika memiliki kesadaran sendiri untuk tidak merokok di kawasan kampus. “Jadi tanpa disuruh, mereka sudah sadar untuk tidak merokok di sekitar kampus,” tuturnya.

Untuk mewujudkan kawasan tanpa asap rokok itu kata Prof Jazidie memang tidak mudah. Dibutuhkan kerjasama berbagai pihak, tidak bisa bekerja sendiri. Karenanya edukasi itu sangat penting. Membuat masyarakat menjadi sadar akan dampak buruk dari asap rokok. “Bukan hanya yang merokok aktif yang terkena dampaknya tapi perokok pasif juga akan terkena dampak,” katanya.

Karena itu, Prof Jazidie berkomitmen agar kampus Unusa juga bisa menjadi kampus sehat yang bebas dari asap rokok. “Memamg tidak mudah memghilangkan kebiasaan merokok. Menaikkan harga jualpun tidak membuat para perokok berhenti merokok dan berhenti membeli rokok,” ungkapnya.

Penelitian Dosen

Dosen Unusa, Dr Ubaidillah Zuhdi bersama Edza Aria Wikurendra dan dosen dari Universitas Jember melakukan penelitian mengenai Efektivitas Pajak Tembakau terhadap Perubahan Masyarakat untuk Membeli Rokok dan Mengubah Kebiasaan Merokok.

Ubaidillah yang menjadi pembicara dalam talkshow itu mengatakan penelitian itu mendapatkan hibah dari Indonesia Tobacco Control Research Network (ITCRN) 2023. “Dalam penelitian ini kami ingin mengetahui seberapa efektifnya kenaikan pajak dalam hal ini cukai produk tembakau terhadap daya beli masyarakat,” ujarnya.

Hasil penelitian itu di mana setiap persen kenaikan harga per batang menurunkan konsumsi rokok sebesar 0,0425 batang atau dengan skema kenaikan harga seratus persen maka akan menurunkan konsumsi rokok sebesar sekitar 4 batang rokok.

Kenaikan harga sebesar seratus persen maka akan terjadi penurunan konsumsi rokok sebesar 7,74 gram. Jumlah intensitas merokok berkurang sebesar 3,36 kali jika harga dinaikkan sebesar seratus persen. Umur puncak konsumsi rokok tertinggi di umur 50 tahun dan akan menurun konsumsi rokok setelah berumur 50 tahun.

“Pendidikan tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok artinya konsumsi rokok tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Jenis pekerjaan wirausaha juga tidak memiliki pengaruh ke jumlah batang rokok yang dikonsumsi ataupun jumlah satuan gram rokok yang dikonsumsi,” jelas Ubaidillah.

Dr Abdillah Ahsan, Kepala Lembaga Demografi FEB UI dan Koordinator Indonesia Tobacco Control Research Network, membuka sesi dengan memberikan wawasan mendalam tentang perkembangan kawasan tanpa rokok di Indonesia. “Kawasan tanpa rokok bukan hanya sebuah trend, tetapi sebuah kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” jelasnya.

Prof Dr dr Santi Martini, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair dan Ketua TCSC IAKMI Jawa Timur, menyusul dengan membahas perkembangan kawasan tanpa rokok di Surabaya. Dalam sebuah wawancara, Prof. Santi menyatakan, “Surabaya telah menunjukkan komitmen serius dalam menciptakan kawasan tanpa rokok dengan menggandeng berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan, apalagi usia yang paling efektif dalam menanamkan kesadaran terhadap bahaya rokok mulai dari usia 10 tahun,” tuturnya. ril/end