One pesantren one product (OPOP) yang digagas Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama Internatiomal Council for Small Business (ICSB) sudah mulai bergerak pasti. Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) selaku training center untuk program Gubernur Khofifah ini kini mulai disebut-sebut. OPOP mulai menjadi identitas Unusa.

Selama enam bulan, Unusa ditunjuk Pemprov Jatim untuk menjadi training center OPOP.  Selama itu, tim Unusa bergerak dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Dan kini program itu sudah mulai mendapatkan perhatian dari pesantren dan masyarakat umum.

Ketua Training Center OPOP, Mohammad Ghofirin mengatakan sampai saat ini sudah ada 197 merek dari beberapa pondok pesantren yang sudah dibina. Merek tersebut dari berbagai macam produk mulai makanan dan minuman (mamin) hingga fashion dan aksesoris.

“Target kami di 2019 ini adalah membina 150 pesantren di Jatim yang sudah diverifikasi pemprov melalui Dinas Pendidikan,” ujar pria yang juga menjabat Kepala Humas dan Marketing Unusa ini.

Ghofirin mengaku senang, OPOP ini mulai dikenal. Bahkan ketika Unusa datang ke sebuah pondok pesantren dengan program yang lain, justru yang ditanya OPOP. “Bahkan mereka minta kalau datang ke pondok disuruh bawa orang OPOP juga,” kata Ghofirin tertawa.

Memang tidak semua pondok pesantren dikunjungi tim OPOP. Karena tim OPOP harus mengutamakan 150 pondok pesantren yang sudah ditunjuk.

Pondok pesantren itu menjadi prioritas utama karena sudah ditunjuk pemprov. Dikatakan Ghofirin, ada tiga pilar utama yang harus dimiliki pesantren yang masuk kriteria OPOP.

Pertama adalah memiliki SMK Mini. SMK Mini ini mencerminkan pilar pertama Satripreneur di mana aktor utamanya adalah para santri.

Kedua, pondok pesantren tersebut harus memiliki koperasi yang berbadan hukum. Ini cerminan dari pilar kedua yakni pesantrenpreneur di mana aktornya adalah pesantren itu sendiri.

Ketiga, pesantren harus memiliki sosiopreneur di mana aktor utamanya adalah alumni yang memiliki produk unggulan sendiri.

“Jadi kita fokuskan ke 150 pondok pesantren yang sudah ditetapkan pemerintah provinsi melalui Dinas Pendidikan. Selain itu yang diutamakan juga adalah pondok pesantren yang berada di 15 daerah yang masih minus di Jatim ini,” tukasnya.

Namun dikatakan Ghofirin, OPOP juga tidak membatasi pondok yang hanya memiliki SMK Mini. Yang hanya punya SMA bisa difasilitasi, asalkan sudah memiliki produk unggulan.

“Sekarang pondok sudah mulai pro aktif. Mereka yang merasa memiliki produk unggulan, langsung menghubungi training center bahkan ada yang langsung datang ke Unusa,” tukas Ghofirin.

Unusa sebagai training center berperan untuk memberikan pendampingan. Pendampingan itu dalam banyak hal.

Misal peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM),  peningkatan kualitas produk, sertifikasi produk, akses pemasaran,  pembiayaan hingga akses digital marketing.

Ke depan, kata Ghofirin akan ada target-target tertentu. Yakni market web dengan membuat website khusus sebagai wadah semua produk OPOP ini. Ada juga OPOP Mall Virtual dan OPOP Mart.

OPOP Mart ini nantinya akan ada di pondok pesantren – pondok pesantren yang produknya sudah distandarisasi. Untuk pembuatannya, akan bekerjasama dengan toko ritel modern yang sudah ada.

Di sinilah peran koperasi. Sebagai badan usaha yang sudah berbadan hukum, semua produk OPOP itu akan dipasarkan melalui koperasi. “Untuk akses pembiayaan bisa juga melalui koperasi. Akan selalu berhubungan,” tukas Ghofirin.

Karenanya bagi 150 pesantren yang belum memiliki koperasi berbadan hukum, akan dibina oleh Dinas Koperasi dan UMKM Jatim.

“Jadi yang terlibat di OPOP ini banyak pihak, Dinas Pendidikan, Dinas Koperasi UMKM dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry