Agus Wahyudi, SSos., M Pd -Dosen PGSD FKIP

Film pendek fenomenal berjudul ‘Tilik’ menjadi perbicangan akhir-akhir ini. Bahkan nama salah satu karakternya, Bu Tedjo menjadi trending topic di Twitter, Jumat (21/8/2020).

Tilik merupakan bahasa Jawa, yang artinya menjenguk orang sakit. Film karya Wahyu Agung Prasetyo itu bercerita tentang kisah rombongan ibu-ibu yang menempuh perjalanan dengan truk untuk menjenguk Ibu Lurah yang sedang sakit di rumah sakit. Sepanjang perjalanan, ibu-ibu berceloteh dan bergosip ria. Salah satunya mengenai Dian, seorang kembang desa yang belum kunjung menikah.

Kekuatan Film Tilik

Film ini adalah film pendek produksi Ravacana Films dengan durasi 32 menit. Tilik merupakan film yang unik dan menarik. Film ini menyelipkan pesan yang sangat relevan dengan kehidupan kita sekarang dengan mengangkat budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Film ini ringan, menghibur namun sarat dengan muatan pesan dan moral dimana memotret kehidupan empirik ibu-ibu terkini namun tetap menjaga merawat nilai-nilai dan kepedulian terhadap sesama. Dengan sajian alur cerita, latar, akting dan konflik yang menarik, konsepnya sederhana dan mudah dipahami oleh penonton. Wajar jika kemudian film ini mendapatkan berbagai penghargaan di festival film nasional maupun internasional.

Salah satu kekuatan film ini adalah kata-kata yang digunakan mengandung nilai-nilai moral dalam setiap kejadian. Hal tersebut dapat disimak dari unsur intrinsik dan ekstrinsik pada film ini. Secara intrinsik, Siti Fauziah sebagai pemeran tokoh utama Bu Tejo berakting dengan sangat baik. Bu Tejo sangat identik dengan penggunaan kata-kata yang sangat kuat.

Logat medok sebagai ciri khas orang Jawa disertai dengan ekspresi mimik raut wajah sangat totalitas berhasil dtunjukkan oleh Siti Fauziah. Saking fenomenalnya beberapa kata yang digunakannya menjadi viral di media sosial. Penggunaan bahasa daerah juga menjadi nilai plus tersendiri. Bahasa daerah menguatkan nilai budaya yang diusung dari tema film ini. Kemampuan sutradara dalam memainkan emosi penonton dengan penggunaan ciri khas bahasa daerah patut diapresiasi.

Pembelajaran Nyinyir

Secara ekstrinsik ada beberapa nilai yang bisa dikedepankan. Kata nyinyir mungkin menjadi salah satu kata yang ingin diangkat di film ini. Kata ini bisa dilihat dari sisi nilai kebahasaan, pendidikan, sosial, budaya dan juga nilai agamanya.

Karakter Bu Tejo memang sangat identik dengan kata nyinyir. Kata ‘Nyinyir’ sendiri terkenal banyak digunakan pengguna media sosial di negara kita. Entah siapa yang pertama kali menggunakannya.

Secara kebahasaan, di dalam KBBI ‘nyinyir’ artinya mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet. Nyinyir adalah kata sifat yang digunakan untuk menunjukkan sifat seseorang.

Jika dilihat maknanya, rasanya ‘nyinyir, yang digunakan netizen berbeda dengan nyinyir yang diartikan di atas. Jika kita perhatikan, kata nyinyir yang digunakan netizen sebenarnya lebih tepat dikatakan nyindir, berasal dari kata sindir atau cibir atau yang lebih berat lagi sinis. Jika dilihat dari semantiknya, kata-kata itu hampir memiliki makna yang sama. Yang membedakan jenis katanya. Sindir kata benda, cibir kata kerja dan sinis kata sifat. Rasanya kata nyinyir yang dipakai netizen mencakup ketiganya. Sehingga kata nyinyir yang dimaksud lebih bermakna luas dari definisinya di KBBI.

Kaum Dominan

Selain itu, film tersebut juga merepresentasikan perempuan sebagai kaum dominan. Biasanya perempuan digambarkan sebagai ‘kanca wingking’. Akan tetapi di film itu diungkap bahwa sebenarnya perempuan atau ibu-ibu lebih dominan dibanding laki-laki. Hal itu tersebut dapat disimak sebagaimana umumnya terjadi di Jawa. Sebenarnya mereka (perempuan) dominan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini nampak dari semua yang ikut dalam rombongan tersebut adalah ibu-ibu kecuali sopir truk. Bahkan polisi bisa dibentak-bentak dan akhirnya polisinya menyerah. Hal tersebut menunjukkan perempuan-perempuan menengah ke bawah itu dominan, dengan bahasa lain inilah sisi lain dimana beberapa pihak memandang sebagai potret anti feminism yang kerap memandang perempuan identik dengan kelembutan dan dalam posisi selalu kalah dalam konstruksi budaya patriarki. Hal lain juga yang perlu disimak dalam film pendek ‘tilik’ ini adalah mayoritas yang mengikuti ‘tilik’ (menjenguk bu Lurah adalah mayoritas ibu-ibu, hal ini menunjukkan bahwa perempuan leih memiliki kepedulian terhadap sesama (sense of belonging) dibandingkan dengan kaum laki-laki yang seringkali ‘cuek’ tidak begitu peduli dengan urusan orang lain.

Sebuah Refleksi

Selain permainan kata, film ‘Tilik’ juga syarat akan nilai pendidikan di dalamnya. Tujuan utamanya adalah pendidikan informasi dan komunikasi kepada masyarakat, terutama di era digital sekarang ini. Istilah kerennya pendidikan digital citizenship. Agung (Sutradara film Tilik) mengungkapkan bahwa pesan yang ingin disampaikan dalam film tersebut perihal masyarakat luas yang tetap harus skeptis di saat pemberitaan tersebar di mana-mana (Baharudin Al Farisi, 2020).

Derasnya informasi di dunia maya, membuat kita sulit membedakan mana hoaks, mana fakta. Mana tulisan yang ditulis writer, mana yang ditulis author. Di zaman media sosial ini, tulisan dan berita yang ditayangkan biasanya tanpa melalui proses kontrol dari otoritas yang berwenang. Semua mencoba menjadi writer, tanpa ada yang peduli dengan dampak yang akan terjadi dari tulisan yang ditayangkannya, ini seolah digambarkan sebagai sosok yang menjadi korban berita dari internet.

Sejatinya, sosok Bu Tejo membawa pesan utama film ini. Pesannya adalah hoaks dan fakta memang sulit dibedakan. Kita harus lebih berhati-hati dalam melihatnya, meniliknya. Itulah hubungan antara yang dimaksud di dalam cerita film, dengan tilik yang digunakan sebagai pesan tersirat dari film ini. Kekuatan kata ‘tilik’ inilah yang menjadi sumber ide pembuatan film ini.

Secara tersirat, ada juga nilai agama yang bisa diambil dari film ini. Kata-kata ghibah, fitnah mewakilkan pendidikan agama di film ini yang juga memberikan potret realitas empirik yang juga mewarnai dalam kehidupan masyarakat kita. Belum lagi alur cerita utama menjenguk orang sakit yang memang sesuatu yang dianjurkan agama, dan menjadi sebuah entitas budaya ketimuran yang harus tetap dijaga untuk tetap bersilaturahmi, saling berkunjung pada sesama dan kerabat dan tidak boleh luntur dan ‘lekang oleh perkembangan tekhnologi kekinian.

Alhasil, film ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai wahana pembelajaran bagi kita semua. Bagaimana seharusnya kita melihat keseharian kita, dari sisi baiknya atau buruknya. Sisi baiknya kita pertahankan dan tingkatkan, sisi buruknya kita perbaiki. Itulah kehidupan, banyak makna dan hikmah yang kita bisa ambil darinya. Makna-makna yang mengajak kita untuk terus mawas diri dalam bersikap di dalam hidup dan kehidupan kita. Wallahua’lam Bisshawab. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry