RIZAL RAMLI
RIZAL RAMLI

JAKARTA | Duta.co – Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rizal Ramli, menyebut kemungkinan ada kebijakan yang salah pada masa krisis moneter di mana Bank Indonesia membantu bank-bank yang tengah kolaps pada periode 1997-1998 saat itu. “Ada kebijakan yang salah, dalam kasus Century, kebijakan yang salah sengaja, di dalam kasus BLBI, soal Inpres, tanya sama KPK aja,” ujar Rizal seusai diperiksa KPK Jakarta, Selasa 2 Mei 2017.

Rizal menyebut kebijakan surat keterangan lunas (SKL) untuk para obligor BLBI digulirkan pada 2004. Sementara dirinya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Indonesia pada 2000-2001 dalam pemerintahan KH Abdurrahman Wahid. “SKL itu dikeluarkan 2004, jadi bukan pada masa kami,” katanya.

Rizal mengaku diperiksa KPK karena dinilai mengetahui prosedur, proses pengambilan keputusan, masalah-masalah yang ada di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kala itu. Menurut dia, untuk kebijakan bersifat strategis dilaporkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), sejumlah menteri, maupun BPPN ke Menteri Koordinator Perekonomian.

“Ada level kebijakan, implementasi, tapi esensinya, Pak Kwiek Kian Gie juga perintahkan tagih, kami minta tagih sama obligor, kecuali ternyata bangkrut, tapi selama punya kemampuan, tagih,” katanya.  Namun, pada dasarnya, menurut Rizal, kalau memang obligor yang sudah memenuhi kewajiban, maka wajar diberikan SKL. Faktanya, kata Rizal, sejumlah obligor belum melunasi kewajibannya tetapi sudah diberikan SKL oleh pemerintah.

Sebelumnya KPK menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dalam perkara BLBI ini. Menurut hasil penyelidikan KPK, Syafruddin menyetujui KKSK atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi dari kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Obligor Makin Makmur

Rizal menyebut ada lebih dari satu obligor yang diberi surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). SKL tersebut diberikan meski para obligor belum melunasi utangnya. “Ini memang ada keanehan, kok bisa ada obligor, dan enggak hanya satu, ada beberapa obligor yang belum melunasi kok diberi keterangan lunas. Inilah yang sedang diselidiki,” kata Rizal setelah diperiksa KPK terkait dengan korupsi BLBI.

Menurut Rizal, SKL BLBI itu dikeluarkan pada 2004, setelah ia tak lagi menjabat sebagai menteri. Sebelum itu, Bank Indonesia telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Rizal mengatakan banyak obligor yang masih punya utang itu kini malah hidup lebih sejahtera. Untuk itu, ia meminta kepada para obligor yang memiliki utang agar segera memenuhi kewajibannya.

“Banyak dari mereka yang justru setelah krisis 19 tahun makin hebat, makin makmur. Penuhi dong kewajiban kepada pemerintah Republik Indonesia,” kata Rizal. Selain itu, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman itu juga meminta pemerintah negara tetangga untuk membantu pelunasan utang-utang BLBI. “Kami juga minta kepada pemerintah negara tetangga terutama Singapura untuk membantu proses agar obligor memenuhi kewajibannya,” katanya.

Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan saat ini lembaganya masih fokus dalam penanganan satu obligor, yakni Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Ia diduga memiliki kewajiban kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp 3,7 triliun.

Dugaan itu terungkap saat KPK menetapkan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional 2002 Syafruddin Tumenggung sebagai tersangka. Ia diduga menerbitkan SKL ke BDNI. Padahal hasil restrukturisasi menyebut baru Rp 1,1 triliun yang ditagihkan kepada Sjamsul. Sehingga ada kewajiban obligor sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan. “Untuk penanganan di penyidikan masih satu obligor. Butuh banyak sumber daya untuk menelisik semua. Saat ini kami fokus di sini dulu,” kata Febri di kantornya.

Febri mengatakan lembaga antirasuah saat ini akan membuktikan lebih dulu sejauh mana tersangka dan pihak lain mengetahui ada utang sebelum SKL diterbitkan. Selanjutnya KPK akan mendalami apakah SKL itu patut diterbitkan atau tidak. “Kalau kita bicara soal penerbitan SKL, apa SKL ini patut diterbitkan atau tidak, ini tidak bisa dipisahkan. Karena kalau dipisahkan bisa jadi SKL-nya tidak masalah,” ujar Febri. * hud

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry