Oleh dr Muhammad Afiful Jauhani, MH, SpFM

DI TENGAH merebaknya wabah virus corona di Indonesia, kinerja tenaga medis dan tenaga kesehatan kerap menjadi sorotan. Selain komentar-komentar pedas terkait pelayanan kesehatan, tidak jarang tenaga medis juga menjadi sasaran luapan kekesalan atau kekecewaan beberapa oknum, utamanya melalui media sosial.

Padahal tenaga kesehatan juga merupakan komponen yang sangat terdampak dengan adanya wabah ini dan dampak tersebut sama sekali bukan merupakan dampak yang menguntungkan bagi seluruh tenaga kesehatan, namun ada beberapa pihak yang tega menyebarkan tuduhan-tuduhan tanpa dasar yang sangat menyinggung dan menyayat hati tenaga kesehatan.

Pada awalnya cacian, fitnah dan hinaan tersebut diabaikan karena para tenaga kesehatan lebih memilih untuk fokus dan bersinergi bersama komponen-komponen lain untuk menangani dampak wabah ini. Namun di beberapa daerah, upaya tenaga kesehatan dalam merawat dan melayani pasien justru dibalas dengan pengucilan, penolakan, bahkan pengusiran.

Tidak berhenti di situ, saat ini di beberapa media sosial, frekuensi ujaran yang menyakiti hati para tenaga kesehatan justru semakin masif. Tuduhan-tuduhan keji yang menganggap tenaga kesehatan secara sengaja memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari kondisi wabah ini sungguh menyakiti hati para tenaga kesehatan. Karena realitanya banyak tenaga kesehatan yang harus mengisolasi diri dari keluarganya bahkan beberapa harus dirawat dan harus gugur karena wabah ini.

Indonesia sebagai negara hukum menjamin hak dasar yang dimiliki oleh tiap individu dalam konstitusinya. Di Indonesia kebebasan untuk berpendapat diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Selanjutnya, perihal seseorang bebas untuk mengeluarkan pendapat dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara”.

Hak asasi manusia bukan tanpa batas, seseorang dalam mengeluarkan pendapatnya harus menghargai hak orang lain, serta tunduk pada hukum yang berlaku. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang isinya “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Tenaga kesehatan juga manusia yang memiliki hak asasi yang harus diperjuangkan apabila kritik dan opini di media sosial mulai melewati batas wajar yang bisa diterima akal sehat.

Mengutip pendapat Reda Manthovani, kritik bukanlah  suatu tindak pidana. Namun kritik yang dilakukan dengan rasa benci untuk kemudian dijadikan untuk fitnah dan penghinaan dapat dipidana. Kritik, dilakukan dengan menggunakan pilihan kata yang tidak menyinggung perasaan, sopan dan bijaksana dengan tetap tidak mengurangi ensensi kritiknya.

Berbeda dengan ujaran kebencian, fitnah dan penghinaan yang dilakukan dengan narasi yang menyinggung perasaan. Bahkan tidak sopan dan tidak bijaksana. Kritik yang disampaikan secara tidak sopan disertai kata atau narasi yang memuat penghinaan, fitnah, dan pencemaran nama baik yang berimplikasi pada harkat martabat seseorang maupun profesi bisa bermuara pada suatu tindak pidana.

Seperti yang disampaikan Wirjono Projodikoro bahwa bentuk objekif dari mengina adalah bila pernyataan itu menyerang nama baik orang lain, karena akan diukur sejauhmana nama baik seseorang terdampak karena penghinaan tersebut. Namun bila terkait dengan “kehormatan” orang lain, maka delik penghinaan menjadi subjektif, terkait dengan rasa yang bersifat subjektif.

Rumusan tindak pidana terkait penghinaan dan fitnah sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan apabila dilakukan melalui media sosial sudah tercantum dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tenaga kesehatan tidak anti terhadap kritik, tenaga kesehatan tidak merasa suci, tenaga kesehatan tidak gila hormat, tenaga kesehatan bukan malaikat.

Tenaga kesehatan hanya manusia biasa yang juga memiliki harkat dan martabat. Mari salurkan kritik secara tepat. Bijaklah dalam berpendapat di media sosial, karena wisdom is more valuable than knowledge.

* Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Jember dan Biro Hukum, Pembinaan, dan Pembelaan Anggota (BHP2A) IDI Cabang Jember

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry