Oleh: Abdul Wahid*

KONSTRUKSI negara ini, salah satunya dapat dibaca atau ditelisik dari sikap dan sepak terjang (gaya hidup) komunitas elitisnya. Mereka ini yang memberikan dampak ”terkuat” atau terbesar dalam perjalanan hidup negara.

Masa depan negara pun ikut dalam konstruksi tersebut. Menaruh ekspektasi, bahwa kita akan sesegera mungkin bisa keluar dari ”cengkeraman”  wabah Covid-19 juga ditentukan oleh kualitas peran atau aktifitas yang dimainkan oleh komunitas elitisnya.

Rakyat memang punya kedaulatan secara konstitusionalitas dalam konstruksi negara itu, tetapi secara general dan fundamental, rakyat sudah mengamanatkan pada komunitas elitis untuk memimpin atau mengelola negeri ini, yang dampaknya bisa berlaku sekarang atau masa mendatang.

Selama ini, khususnya sebelum wabah Covid-19 menjadi ”primadona” yang menghegemoni negeri ini, kita bisa saksikan dengan mudah tentang tidak sedikitnya mereka (elitis) itu, yang  agungkan trhadap apa yang disebut oleh Idi Subandi Ibrahim sebagai “ekstasi” gaya hidup.

”Ekstasi” itu mendeskripsikan  suatu praktik pember­halaan kesenangan dan perburuan kepuasan sesaat, tanpa mengindahkan kalau hal ini dapat mendestruksi dan merugikan diri sendiri, sesama dan jati diri bangsa dan negara, yang kesemuanya ditempuh dengan ”mengalihkan”, merampas, atau menggerogoti kekayaan publik yang dialihkannya ke kantong diri, anak, istri, atau koleganya.

Dalam ranah ”ekstasi” itu, aktifitas yang dijalankan lebih fokus membuat diri dan pihak-pihak yang terkait dengannya secara eksklusif bisa senang dan puas (tercukupi), sehingga praktik penyelenggaraan dalam pemerintahan dibuat nampak seolah-olah sudah bernegara.

Kondisi serangan wabah Covid-19 seharusnya membangunkan atau membangkitkan (baca: menya­darkan) para pemimpin Indonesia, khususnya para pemimpin bangsa yang sebelumnya sekian lama terlelap di jalan “ekstrasi” kekuasaaan menuju gerakan, pembentukan kehidupan kenegaraan yang berkepedulian totalitas pada rakyat, khuusnya di ranah yang asasi seperti pemajuan kesehatan dan keselamatannya.

Kalau sebelumnya banyak diantara elitis kekuasaan yang terlena dalam ”ekstasi” yang bermakna memuja keterbelakangan, mengabsahkan penyakit-penyakit yang merawankan bangsa, menikmati ragam relasi bermuatan anomali dan menghalalkan aksi-aksi ”menyelingkuhi” norma yuridis, maka era ini menjadi tahapan penyadaran dan pencerdan sikap dan perilakunya.

Para pemimpin Indonesia secara tidak langsung pernah diajak Umar bin Khattab untuk berlomba meniti jalan pembaharuan, men­inggalkan dan menegasikan perilaku serba tercela menuju perilaku serba mulia, membangun dan mewujudkan suatu “kebun”   yang bernama masyarakat dan  negara yang sarat dipenuhi keharuman perbuatan yang dapat mengantarkan dan memediasi atas tercip­tanya bangunan kemasyarakatan dan kenegaraan yang sarat sikap dan perilaku kemuliannya.

Umar itu mengajak pemimpin Indonesia untuk menyucikan (memperbarui) sikap dan perilakunya yang potensial menghancurkan masyarakat ke dalam tataran kekalahan, ketidaksejahteraan,  dan keterbelakangannya.

Isyarat itu sejalan dengan firman Allah SWT, “Se­sungguhnya Allah tak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri berusaha merubahnya.” (QS, 13:11). Mufassir M. Qurais Shihab berpendapat, bahwa ayat itu berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku, pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah SWT, dan kedua, perubahan keadaan diri manusia yang pelaku­nya adalah manusia sendiri.

Pendapat itu menunjukkan, bahwa pembaruan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan merupakan amanat  sakral untuk para pemimpin. Potret kehidupan rakyat dan negara tak akan mampu mencapai (menghasilkan) keunggulannya, manakala mereka tidak punya etos juang tinggi untuk mereformasinya.

Pemimpin adalah pemegang katub pengaman atas terbitnya  fajar peradaban yang bernuansakan menghidupkan kesadaran kolektif di kalangan subyek bangsa. Jika pemimpinnya tidak terseret pada ”ekstasi” kehidupnnya, maka atmosfir di kalangan subyek bangsa ini akan menumbuhkembangkan atmosfir kesejukan, saling me­nyayangi, melindungi hak privasi maupun publiknya atau memanusiakan sesama manusia, terutama saat menghadapi kondisi berat seperti eksaminasi wabah Covid-19 ini.

Itu artinya, pemimpin negeri ini tidak boleh membiarkan dirinya terkerangkeng dalam stagnasi dan eksklusifitas yang didoktrinkan keluarga, kelompok, dan barangkali artainya. Standar pola kepemimpinan dan kesuksesan tidaknya ditentukan oleh besar kecilnya keberanian  yang bisa ditunjukkanya.

Keterbelakangan, kemiskinan, dan kemunduran hidup sebagian masyarakat negeri ini adalah berelasi dari dan di tangan “takdir” (kemauan) umat itu sendiri, yang berarti bisa akibat dari kesalahan manajemen pemimpin, sehingga bisa menjadikan akumulasi ketidakberdayaan masyarakat tak terelakkan dan ”mengabadi”.

Kalau mentalitas pemimpin tak ada upaya untuk bercerai dengan virus ”ekstasi” gaya hidup atau ragam penyakit  sosial, ekonomi dan politik yang menodainya dan bahkan hal ini dibiarkan sebagai obyek pengultusannya, maka mustahil rakyat Indonesia berhasil menuai keberdayaan dan pencerahan.

Kalau mereka itu belum juga berkeinginan memberi teladan untuk membasuh dan mensucikan “najis-najis” yang membingkainya dengan sungguh-sungguh, maka jangan berharap banyak akan lahir iklim yang menyemaikan nuansa kedamaian, tanggungjawab sosial  yang menyatukan keragaman, dan gerakan-gerakan pembebasan yang bertajukkan keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan.

Suatu umat yang merindukan terbentuknya sebuah masya­rakat baru, komunitas yang memancarkan etos kecahayaan seperti identitas bangunan masyarakat negeri yang men­gunggulkan nilai-nilai peradaban seperti kesetaraan, keadi­lan, permusyawaratan dan kemanusiaan),  para pemimpinnya harus gigih mendi­dik dirinya sebagai pilar-pilar progresif dalam menyemaikan pembaruan.

Di era wabah Covid-19 ini idealnya merupakan wujud reformasi perilaku atau gerakan membangkitkan kesadaran diri di kalangan pemimpin untuk melepaskan (membebaskan) dari ketergantungan pola serba permisif, hedonistik dan otoritatif-represif  menuju terbentuknya peri­laku yang menjunjung tinggi etika berkuasa dan ”rajin” memprogresifitaskan kinerja yang berbasis menghormati, menyayangi dan mengad­vokasi hak-hak rakyat demi terbentuknya negeri yang yang berwajah beradab, memartabatkan, dan memanusiakan masyarakat.

Itu semua, kartu trufnya terletak pada kesadaran dan kemauan sang pemimpin. Kalau pemimpin tidak bersungguh-sungguh atau secara totalitas melakukan perubahan, maka sulit mengidealisasikan terwujudnya atmosfir yang membahagiakann (membebaskan)  rakyat dari penderitaan (akibat wabah Covid-19).

Selama pemimpinnya masih menjatuhkan opsi lebih mementingkan gaya hidupnya atau perburuan ambisi-ambisi (keserakahan-keserakahannya) bercorak ”ekstasi”, maka momentum ini terbatas sebagai pergantian antar waktu yang mengidap ”kematian” kebermaknaan.

*Penulis adalah Pengajar Pascasarjana Universitas Islam Malang, Pengurus AP-HTN/HAN, dan Penulis buku Hukum dan Agama

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry