“Setelah saya jelaskan tentang kampus almamater, UINSA, wanita berjilbab itu berdecak kagum.”

Oleh  Moh. Ali Aziz

KETIKA rebahan melepas lelah di lantai 32 Hotel I-Club, telpon saya berdering, “Pak, sesuai jadwal, hari ini kita ke Chinese University of Hongkong,” kata Bunda Fatimah, Ketua PCI Muslimat NU Hongkong.

Di atas kereta api bawah tanah, wanita yang juga sukarelawan merawat jenazah muslimah Hongkong ini bercerita, “Saya tersinggung dan marah, jika kata Indonesia selalu dikonotasikan buruh migran. Sekarang, saya mengajak bapak ke kampus terkenal di negeri ini, agar mereka tahu kami punya profesor dan segudang ilmuwan kelas dunia.”

“Kelak saya datangkan juga ratusan profesor dalam berbagai bidang ke tempat ini pak,” tambah wanita mualaf yang energik sebagai pegiat agama dan sosial, sekalipun tanpa honor sama sekali itu.

“Mana paspor Anda,?” tanya security di gerbang kampus.

“Silakan naik shuttle bus nomor 1-8 sesuai tujuan,” tambahnya sambil menunjuk bus pengangkut mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan.

Setelah menempuh perjalanan 10 menit ke atas gunung melalui jalan berkelok-kelok, sampailah saya ke Centre for the Study of Islamic Culture, sebuh pusat studi yang dibiayaisecara patungan oleh kawan-kawan dosen seminat.

“Very pleased to meet you, brother,” kata Dr. Aida Wong, Research Assistant, Centre for the Study of Islamic Culture, Research Institute for the Humanities menyambut saya dengan senyum lembutnya.

Setelah saya jelaskan tentang kampus almamater, UINSA, wanita berjilbab itu berdecak kagum. “Great,” katanya sambil menuangkan teh panas di cangkir khas Cina depan saya.

Ia menambahkan, selama ini yang membantu pusat kajian Islam tersebut adalah sejumlah profesor dan doktor dari Malaysia, Turki, Rusia dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya.

Bahkan, ia amat terbantu dengan profesor dari Malaysia, alumni Syiria yang sebentar lagi merampungkan tafsir Al Qur’an dengan bahasa Cina.

Sambil menuju tempat berfoto dengan begron teks Arab dan Cina, “Markaz Dirasat Ats Tsaqafah Al Islamiyah” dia mengajukan pertanyaan yang rasanya menampar muka saya.

“Where is your campus, and what can you do to help this centre of Islamic culture?” tanyanya dengan wajah yang amat senang dengan kedatangan saya.

Kita sepakat kemudian untuk langkah awal mengadakan seminar internasional on Islamic Culture by zoom oleh UINSA dan CUHK (Chinese University of Hongkong).

“Oh ya, saya selalu kedatangan tim nasyid shalawat dari India. Tapi saya dengar nasyid Indonesia lebih menggugah hati (stronger),” katanya. “Of Course,” jawab saya tegas dan percaya diri.

Saya lalu diminta membacakan nasyid shalawat ala Indonesia untuk direkam dan dijadikan satu suplemen laporan untuk disampaikan ke rektor.

Setelah berkeringat, saya diajak memasuki restoran kampus untuk menikmati sajian lunch for vegetarians. Saya agak kaget, dalam cafe itu ada iklan, “Lets Have Dosa Together.” Saya bengong, sebab semula saya artikan, “Marilah melakukan dosa bersama-sama.” Ternyata DOSA adalah jenis menu vegetarian yang terbaru.

Ketika selelai makan siang, saya langsung keluar. Saya tunggu di luar, tuan rumah belum juga keluar. Ternyata, ada aturan, setiap pengunjung harus membersihkan mejanya sampai tuntas, dan membawa semua piring, sendok dan sebagainya ke tempat cucian alat dapur. Dalam hati, saya langsung menyanyikan lagu dangdut, “maluuuu aku.” (Hongkong, 8-8-2023). (Bersambung)