Gus Yasien saat berada di kantor duta.co. (ft/mky)

SURABAYA | duta.co – Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN), H Tjetjep Mohammad Yasien, SH MH memberikan acungan jempol kepada Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang siap memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan rakyat. Sikap Lanyalla ini menyusul gugatan DPD RI  terkait ambang batas pencalonan atau Presidential Threshold (PT) yang ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).

“Saya melihat MK sudah menjadi palang pintu oligarki. Salut dengan Pak LaNyalla yang siap memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan rakyat. Beliau adalah ketua lembaga tinggi negara, DPD RI. Rakyat hanya berharap kepada DPD untuk memperbaiki masa depan bangsa dan negara,” demikian H Tjetjep Mohammad Yasien, SH MH di kantor redaksi duta.co, Jumat (8/7/22).

Gus Yasien, panggilan akrabnya, juga mengapresiasi sikap Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum PBB yang menyebut MK sudah menjadi ‘the guardian of oligarchy’, penjaga tegaknya oligarki. “Mestinya MK itu menjadi ‘the guardian of the constitution’. Penjaga tegaknya demokrasi. Ini sangat berbahaya,” tegas alumni PP Tebuireng, Jombang ini.

Menurut Gus Yasien, MK yang sudah memposisikan dirinya sebagai penjaga oligarki, harus segera dikoreksi total. Jika perlu dibubarkan. “Bubarkan saja! Mereka sudah tak peduli dengan nasib bangsa dan negara. Kalau pemerintah dan DPR RI diam, rakyat bisa bergerak,” tegasnya.

Sebelumnya, dari Jakarta, beredar tulisan Prof Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum PBB, pada Kamis (7/7/22). Yusril menilai putusan MK tentang Presidential Threshold adalah sebuah tragedi demokrasi.

“MK sudah berulangkali menolak permohonan pengujian terhadap Pasal 222 UU Pemilu, walaupun para Pemohon mengajukan pengujian dengan pasal UUD 45 yang berbeda dan argumentasi konstitusional yang berbeda,” tegasnya.

 Dalam permohonan (DPD RI) kali ini, tegas Yusril, MK menyatakan permohonan para anggota DPD ditolak karena tidak memiliki legal standing, maka dinyatakan “tidak dapat diterima”. Di sisi lain, “PBB  punya legal standing tetapi permohonannya ditolak seluruhnya,” tulisnya heran.

MK, jelasnya, tetap kukuh dengan putusan sebelumnya, yang mungkin dianggap sebagai yurisprudensi yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 45.

“Saya juga pernah menggabungkan norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E UUD 45 dengan menggunakan tafsir sistematik untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 45. Tapi (aneh) MK malah mempreteli ketiga pasal itu satu demi satu untuk mendukung pendapatnya sendiri  bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional,” tambahnya.

Selain itu, masih dalam catatan Yusril,  MK selalu mengemukakan argumen bahwa norma Pasal 222 itu adalah untuk memperkuat sistem Presidensial. Padahal, “executive heavy” yang ada dalam UUD 45 sebelum amandemen sudah sejak lama ditentang.

“UUD 45 pasca amandemen justru menciptakan check and balances antarlembaga negara. Tidak ada hubungan korelatif antara presidential treshold dengan “penguatan sistem Presidensial” sebagaimana selama ini didalilkan MK. Politik begitu dinamis, oposisi bisa berubah menjadi partai pemerintah hanya dalam sekejap,” terangnya.

Pasal 222, jelasnya, itu adalah “open legal policy” Presiden dan DPR yang tidak dapat dinilai oleh MK. “Saya telah membantah seluruh argumentasi hukum MK tersebut, namun sampai saat ini MK tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa Pasal 222 UU Pemilu adalah konstutusional,” katanya heran.

Dalam pandangan saya, ujarnya, MK tidak seharusnya kukuh dengan pendapatnya semula, karena zaman terus berubah dan argumen hukum juga terus berkembang. Dalam fiqih, tokoh sekaliber Imam Syafii (767-820 M) saja bisa mengubah pendapat hukumnya dengan merumuskan “qaul jadid”atau pendapat baru, dan meninggalkan “qaul qadim” atau pendapat terdahulu karena situasi atau “ratio legis” yang mendasari lahirnya sebuah norma hukum telah berubah.

“MK tidak seharusnya mempertahankan sikapnya yang kaku dan banyak dikritik para akademisi, sehingga terkesan “jumud” dengan perubahan hukum yang terjadi begitu cepatnya dalam masyarakat kita,” tandasnya.

Dengan ditolaknya permohonan PBB dan para anggota DPD ini, serta juga permohonan-permohonan yang lain yang akan diajukan, maka demokrasi kita kini semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan. Calon Presiden dan Wakil Presiden yang muncul hanya itu-itu saja dari dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20 persen kursi di DPR.

Hal yang paling aneh, jelasnya, dalam demokrasi kita akan terjadi. Calon Presiden yang maju adalah calon yang didukung oleh parpol berdasarkan  treshold hasil Pileg lima tahun sebelumnya. Padahal dalam lima tahun itu, para pemilih dalam Pemilu sudah berubah, formasi koalisi dan kekuatan politik juga sudah berubah. Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK.

“MK bukan lagi “the guardian of the constitution” dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi “the guardian of oligarchy”.  Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita…,” tutupnya.

Catatan Prof Yusril Ihza Mahendra ini, menurut Gus Yasien, sangat mudah dipahami. Kecuali bagi mereka yang sudah tertutup kepentingan pragmatisme. “Karena itu, tidak ada jalan lain, kecuali mendukung gerakan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Demi kedaulatan rakyat, gerakan itu harus dijalankan. Saya siap bergabung bersama Pak LaNyalla,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry