Achmad Fuad Afdlol, Penggiat Pendidikan pada Lumajang Bergerak Satu Indonesia (LBSI) Kabupaten Lumajang (dok/duta.co)

Oleh : Achmad Fuad Afdlol, Penggiat Pendidikan pada Lumajang Bergerak Satu Indonesia (LBSI) Kabupaten Lumajang

LUMAJANG | duta.co – Jargon sekolah gratis menjadi sebuah pemicu meningkatnya animo masyarakat berbondong-bondong untuk menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah negeri, pada saat pembukaan pendaftaran siswa-siswi baru.

Namun banyak polemic yang berkembang di masyarakat saat ini, baik secara kenyataan ataupun melalui sejumlah media sosial. Sewaktu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dijabat oleh Bapak Muhadjir Effendy, sudah sering kali terdengar tanggapan akan polemik yang berkembang di media sosial tersebut, terkait dengan isu kebijakan sekolah gratis yang diplesetkan oleh oknum tak bertanggung jawab.

Sempat memang ada Isu yang berkembang, seolah-olah Mendikbud akan mencabut sekolah gratis oleh pemerintah. Pada waktu itu, sudah diperjelas oleh Mendikbud bahwa program wajib belajar itu 12 tahun dan akan terus berjalan. Disini negara akan tetap terus memenuhi kewajibannya untuk menggratiskan biaya pendidikan dasar tersebut, yakni mulai tingkat SD hingga SMA.

Malahan saat ini, pemerintah tengah gencar-gencarnya mengalokasikan anggaran untuk memperkecil kesenjangan akses pendidikan kalangan kurang mampu, sehingga untuk siswa-siswi yang kurang mampu tidak hanya gratis, tetapi juga memperoleh tambahan dana melalui Program Indonesia Pintar (PIP) dengan instrumen Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Namun perolehan tersebut sering kali terdengar ada pemotongan oleh pihak sekolah. Yang di tingkat SD, mulai Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu, bahkan Rp 100 ribu. Begitu juga di tingkat SMP dan SMA. Dimana mental tenaga pendidikan kita kalau melihat kecurangan seperti ini???

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, banyak cara yang harus dilakukan oleh para pihak yang ingin menggali potensi masyarakat dapatnya berpartisipasi dalam pendidikan melalui Komite Sekolah. Memang disadari, biaya pendidikan yang disalurkan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), masih bersifat terbatas untuk memenuhi kebutuhan minimum operasional sekolah.

Diperlukan alokasi anggaran pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat agar sekolah-sekolah semakin kuat dan berkualitas. Namun demikian, biaya pendidikan tidak boleh memberatkan orang tua/ wali murid. Dalam aturannya, Mendikbud dengan tegas sempat menyapaikan adanya larangan, pihak Komite Sekolah melakukan pungutan kepada mereka.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, bukan untuk mewajibkan penarikan dana dari orang tua siswa, tetapi untuk menggali dana dari luar, seperti alumni, CSR, maupun individu dan unsur masyarakat lain yang tidak mengikat demi meningkatkan mutu pendidikan.

Kalau kita melihat, aturan ini dibuat untuk semakin memperjelas peran Komite Sekolah. Apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk mengenai penggalangan dana pendidikan. Bukan untuk mewajibkan pungutan.

Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, jelas mengatur batas-batas penggalangan dana yang boleh dilakukan Komite Sekolah. Penggalangan dana tersebut ditujukan untuk mendukung peningkatan mutu layanan pendidikan di sekolah dengan azas gotong royong. Dalam Permendikbud tersebut, Komite Sekolah diperbolehkan melakukan penggalangan dana berupa Sumbangan Pendidikan, Bantuan Pendidikan dan bukan Pungutan. Yang jelas bukan pungutan, perlu dicermati sekali lagi.

Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 pasal 10 ayat (1) dijelaskan bahwa Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Kemudian pada pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.

Yang dimaksud dengan Bantuan Pendidikan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orang tua/walinya, dengan syarat yang disepakati para pihak. Sumbangan Pendidikan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa/ oleh peserta didik, orang tua/walinya, baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan. Kemudian Pungutan Pendidikan adalah penarikan uang oleh Sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan.

Saat ini, penggalangan dana berupa sumbangan, bantuan, maupun pungutan sudah banyak terjadi di satuan pendidikan, karena belum adanya analisis kebutuhan biaya yang benar-benar riil di satuan pendidikan. Yang menjadi pertanyaannya, apakah sekarang layanan pendidikan di sekolah itu mau menggunakan biaya ideal atau faktual? Kalau mau ideal, tapi secara faktual dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum cukup membantu, lalu ada yang mau nyumbang untuk menutupi itu, dipersilakan, tetapi Rencana Kegiatan Sekolah (RKS) harus transparan dan akuntabel kepada semua orang tua/ wali murid.

Hal berbeda jika sekolah tersebut tidak menerima BOS. Sekolah penerima BOS sangat tidak boleh sewenang-wenang menentukan pungutan, karena ada sejumlah poin pembiayaan di sekolah yang bisa menggunakan dana BOS, yang hal itu merupakan kebutuhan sekolah dan siswa-siswi.

Ketentuan mengenai Pungutan Pendidikan yang dilakukan sekolah (bukan Komite Sekolah) di tingkat pendidikan dasar diatur dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar, yang tidak untuk membebani orang tua/wali yang tidak mampu.

Sumbangan memang bisa diminta dari orang tua siswa, tetapi tidak untuk seluruh orang tua, karena sifatnya suka rela. Ketika sumbangan itu diberlakukan untuk seluruh orang tua, itu jatuhnya jadi pungutan. Dalam menentukan pungutan pun, sekolah harus melihat kemampuan ekonomi orang tua siswa. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry