Imigran Timur Tengah saat terkatung-katung di perbatasan Belarusia-Polandia yang menjadi salah satu penyebab ketegangan antaranggota Uni Eropa. (FT/BBC)

“Bagi yang selamat terkadang polisi mencegat dan menahan mereka. Atau jika berhasil lepas, masih ada masalah: Pekerjaan yang diharapkan tidak kunjung tiba. Kondisi pahit inilah yang terkandung dalam lirik lagu “Ya Rayah”.”

Oleh Achmad Murtafi Haris*

RASYID Taha, penyanyi asal Aljazair menggebrak Paris, Brussel dan kota-kota besar Eropa dengan konsernya pada era 2000-an. Para imigran Arab di Eropa (saat itu) memadati veneu dan hanyut dalam lantunan lagu Arab bergenre Rei khas Afrika Utara. Lagunya “Ya Rayah” menghipnotis penonton yang dengan penuh semangat bernyanyi bersama.

“Ya Rayah” adalah bahasa Arab slank Afrika Utara yang berarti “Wahai Perantau” atau “Wahai Imigran”.  Selain karena iramanya yang rancak dan enak, syairnya benar-benar mewakili perasaan imigran Arab di Eropa yang jumlahnya begitu banyak. Kalau di Amerika banyak imigran Hispanic dari Meksiko, Puerto Ricco dan negara tetangga lainnya , maka di Eropa, terutama Paris, banyak imigran Arab.

Banyak pemuda Arab Afrika Utara (Maroko, Aljazair, Tunisia, Libia, dan Mesir) yang memimpikan hidup di Eropa, seperti kata sang kawan asal Libia yang mengaku semenjak SD memimpikannya. Segala cara mereka tempuh hingga mengorbankan nyawa. Menaiki perahu menyeberangi laut Mediterania dan terombang-ambing hingga kandas dan ada yang menaiki truk kontainer yang karena pengap ketika sampai ke tujuan tak sadarkan diri dan bahkan ada yang habis riwayat.

Bagi yang selamat terkadang polisi mencegat dan menahan mereka. Atau jika berhasil lepas, masih ada masalah: Pekerjaan yang diharapkan tidak kunjung tiba. Kondisi pahit inilah yang terkandung dalam lirik lagu “Ya Rayah” yang serta merta mendapat sambutan luar biasa karena mewakili jiwa-jiwa yang merana.

“Wahai perantau (Arab), kamu mau ke mana? Cepat atau lambat kamu akan merana. Banyak orang terperdaya dan menyesal sebelummu dan sebelumku, mengapa kamu tetap pergi!” Mereka yang nekat dan akhirnya berhasil hidup di Eropa menertawakan apa yang telah mereka lalui lewat lagunya Rasyid Taha. https://youtu.be/H38Ir7dCnns

Razia kadang dilakukan untuk mengecek izin tinggal imigran. Untuk lari dari penangkapan, ada yang sampai bersembunyi ke dalam kulkas yang sangat besar milik restoran tempat bekerja. Ada juga yang menikahi wanita setempat, meski di usia lanjut demi mendapat izin tinggal dan izin kerja.

Ini juga barangkali yang membuat Islam mengizinkan lelaki muslim menikahi wanita Nasrani karena mempertimbangkan kelak umat Islam akan menyebar ke Eropa dan saat itu interaksi dengan warga setempat tidak terelakkan. Jangankan dengan wanita Nasrani, nenek-nenek pun dinikahi untuk survive di Eropa. Sebuah kondisi abnormal yang menuntut keringanan hukum yang tidak sama dengan kondisi normal, tentunya.

Seorang kawan Tunisia ada yang menikahi warga setempat. Sesekali, anaknya yang perempuan yang masih balita diajak ke Masjid yang hanya satu-satunya di Malta di Paula Street. Suatu saat (1995), kita bertemu dengan lelaki yang ternyata mertua dari pemuda Tunisia yang menikahi putrinya. Dia mengeluhkan kepada sang kawan untuk menasehati menantunya agar jangan lagi mengkonsumsi narkoba sebab sudah berumah tangga. Di Eropa memang narkoba tidak sepenuhnya dilarang. Jenis tertentu diperbolehkan. Ganja dengan kadar tertentu dan hanya di kafe tertentu diperbolehkan.

Keberadaan imigran Maroko, Aljazair, Tunisia, Libia, dan Mesir di Eropa tidaklah mengagetkan bagi warga Eropa. Mereka telah berinteraksi satu sama lain sejak masa silam. Maroko adalah bekas koloni Spanyol; Aljazair bekas koloni Perancis; Libia bekas koloni Itali dan Mesir bekas koloni Inggris. Mereka semua pada era 50 dan 60-an telah merdeka. Sebagai koloni tentu ada lalu lalang antar mereka dan ada warisan bahasa Eropa yang dikuasai yang memudahkan mereka hijrah ke Eropa. Itu semua menjadi pertimbangan diperbolehkannya kewarganegaraan ganda oleh pemerintah banyak negara di Afrika Utara.

Tidak hanya pada abad ke 18 dan 19 saat kolonialisme, Afrika utara dekat dengan Etopa, bahkan ia telah terjalin ratusan bahkan ribuan tahun (sekitar 4 millenium). Dalam perjalanan itu, beberapa kali kawasan Afrika Utara berada di bawah penguasa Eropa dan pada masa yang lain terbalik, beberapa wilayah Eropa jatuh di bawah kekuasaan Muslim Aftika utara.

Romawi-Yunani (Greco -Roman) pernah berkuasa di sana dan berpusat di Mesir. Karenanya di Mesir terdapat kota bernama Alexandria yang dinisbatkan kepada Alexander the Great yang pernah berkuasa di sana dan diteruskan Ptolemius. Dinasti dengan kebudayaan Hellenisme ini bertahan dari 305SM hingga berakhirnya kekuasaan Cleopatra VII (30SM).

Jika Romawi dan Byzantium dari Eropa pernah berkuasa atas wilayah Afrika Utara, sebaliknya kekuasaan Afrika Utara yang Muslim juga pernah menjangkau ke Eropa dan berlangsung berabad -abad. Kisah heroik Tarik b. Ziyad menaklukkan Spanyol pada 711M terus berdengung. Kehebatan Tariq saat menaklukkan dinasti Visigoth Spanyol diabadikan dengan penamaan selat antara Maroko dan Spanyol dengan Gibraltar atau Jabal Tariq yang berarti Gunung Tariq b. Ziyad. Meski pada akhirnya semenanjung Iberia atau Andalusia kembali ke tangan penguasa Eropa, sebutan Gibraltar tetap digunakan oleh warga Eropa suatu hal yang menunjukkan kuatnya akar sejarah Arab di kawasan. Beberapa nama kota di Eropa juga mempertahankan nama yang merupakan peninggalan Arab seperti kota Marseille di Perancis yang berasal dari kata Marsallah atau Pelabuhan Allah atau ada yang mengatakan berasal dari kata Marsa ‘Ali

yang berarti pelabuhan Ali. Juga kota Palermo yang berasal dari Balaram nama yang disematkan oleh penguasa Islam di Sicilia Italia pada 831-1091M (dinasti Aghlabit, Fatimid, dan Kalbit) dan nama itu bertahan hingga kini. (*)

*Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry