Oleh:  Suparto Wijoyo

TANGGAL 2 November 2021 tempo hari saya bersama jajaran Sekolah Pascasarjana UNAIR bersilaturahmi ke BPBD Provinsi Jawa Timur. Berdialog dan saling memahami kondisi kebencanaan yang ada di Jatim. Mereka sangat tanggap dan mempersiapkan berbagai program untuk menjalankan mandate hukum menanggulangi bencana. Salut. Semua wilayah di Jatim dideteksi dengan kesigapan prima. Begitu yang tampak dan sorot mata mereka sangat membuncahkan harapan bahwa BPBD dapat berkinerja menjaga rakyat dari bencana. Kini La Nina sedang “meraung” untuk disikapi dengan kewaspadaan penuh. Ancaman banjir, tanah longsor dan bencana hidrometeorologi lainnya biasanya merayap naik tangga kejadian. Rakyat dibekali pengetahuan dan BPBD berkomitmen mengawalnya. Sebuah langkah yang sinergis sesuai dengan agenda Jatim Harmoni, termasuk bersama alam.

Pengembangan Road Map Kebencanaan

Semua itu menambah “rasa aman” meski terjadi deret hitung terjadinya bencana yang terus meningkat.  Bencana yang beraspek ekologis-klimatologis ternyata sangat merugikan dan membutuhkan sikap bijak tanggap bencana yang harus dirumuskan negara.  Pemerintah wajib mengoptimalkan instrumen  yang diamankan UU Penanggulangan Bencana. Pemanfaatan teknologi “sistem peringatan dini” terkesan tidak dioptimalkan. Dalam literasi pengelolaan bencana ada pesan lokal-kultural “tanggap ing sasmito”. Terdapat amanat Pembukaan UUD 1945 kepada pemerintah “untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah”. Sebuah suluh konstitusional bahwa negara tidak diperkenankan mengabaikan rakyatnya dari bencana, sekecil apapun itu. Maka  peta bencana mutlak tersedia di setiap daerah dan pemda setempat mustilah menginisiasi warga dengan “pendidikan kebencanaan”. Negara dapat  membuat road map kebencanaan dan pembangunan wilayah  disesuaikan dengan kondisi alamnya.

Bangsa Indonesia terus belajar agar “terlatih” menghadapi dan menyikapi   bencana yang kerap  mengabarkan kuasa dirinya tanpa proposal permohonan. Jerit tangis, doa dan rintihan menggumpal menjadi lonceng yang gentanya juga mengetuk solidaritas kemanusiaan.  Bencana membuat negara banyak belajar dan warga mencoba mendengar suara alam lebih khidmat lagi. Bukankah setiap “bencana alam” dapat dijadikan sebagai madrasah  yang mengajarkan bagaimana membangun relasi ekologis antara manusia dan lingkungan secara tepat.

Negara Wajib Terjaga

Negara yang memberi amanat melalui Pembukaan UUD 1945 kepada pemerintah “untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah” harus tampil terdepan mengelola bencana.  Konstalasi bencana dalam manajemen negara dan dunia pendidikan  niscaya dapat menjadi resources penting berkembangnya ilmu kebencanaan dengan segala perangkatnya, termasuk aspek yuridisnya, sehingga bencana tidak semata-mata berarti disaster atau catastrophe. Perang Dunia di Eropa tahun 1914, bukankah suatu bencana kemanusiaan yang hebat, persis yang ditulis oleh Max Hastings dalam karya “eposnya”, Catastrophe, Europe Goes To War 1914 (2013).

Di Nusantara tercatat bahwa 157 juta jiwa rakyat Indonesia tinggal di daerah rawan bencana. Data informatif ini sungguh membuat tertegun, dan bukan decak kagum. Angka yang mendengungkan lolong kekhawatiran yang mengerikan apabila tidak segera diberi solusi. Ratusan juta jiwa yang terancam gempa merupakan tata nyawa yang harus diselamatkan negara, agar negara bermakna adanya. Sejak gempa yang diikuti tsunami di Aceh pada 2004, bencana ternyata berulang setiap saat di negeri ini. Niscaya hal ini akan membuat negara beranjak lebih sigap dan rakyat mudah bergerak mengevakuasi diri. Khalayak ramai tidak hendak menyaksikan 157 juta jiwa itu menjadi angka statistik yang diantrikan nyawanya dalam helatan bencana.  Seluruh sendi  negara ini sudah sedemikian  gamblang bertutur mengenai bencana, berikut anggaran dan dasar hukumnya.  Negara dengan segala alat kelengkapannya memiliki otoritas untuk menjaga warganya terhindar dari bencana.

Setelah mengetahui daerah rawan bencana,  negara wajib  meredesain kawasan permukiman  dan mengkonstruksi infrastruktur yang   sesuai  dengan kondisi alamnya. Warga yang berada dalam koridor rawan bencana akan mudah melakukan mitigasi karena mendengar suara alam lebih jernih, dan beradaptasi dengan realitas alam yang telah dipetakan. Belajar pada referensi tua sekaliber Desa Warnnana atau Nagara Krtagama karya Empu Prapanca (1365) maupun Kakawin Sutasoma kreasi Empu Tantular (1389) dapat diketahui bahwa untuk mengatasi bencana itu diawali dari tingkat wilayah negara terkecil, yaitu desa. Setiap kampong di Aceh, Desa di Jawa atau Nagari di Sumatera, sudah semestinya ada peta kebencanaan, sehingga setiap jengkal teritori negara terdapat papan informasi tata ruang sedasar dengan status alamnya. Selama langkah ini tidak dilakukan, saya khawatir ada yang sedang mengundi nasib  menjadi persembahan bencana.

Dalam lingkup inilah, pemimpin negara mutlak sadar bahwa rakyat akan berpaling kepadanya untuk memperoleh kekuatan dan tuntunan seperti ditulis Ram Charan. Thomas L. Friedman dalam buku The World Is Flat  (2006) juga  mengisahkan tulisan temannya, Jack Perkowski,   yang menuliskan pepatah Afrika pada lantai pabriknya: Setiap pagi di Afrika seekor gazelle (kijang) terjaga/Ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat dari singa tercepat atau ia akan mati/Setiap pagi seekor singa terjaga/Ia tahu bahwa ia harus bisa mengejar gazelle terlambat atau ia akan mati kelaparan/Tidak peduli apakah kamu seekor singa atau seekor gazelle/Ketika matahari terbit, kamu harus mulai berlari.

Dengan terus berulangnya bencana yang rajin “bersilaturahmi” di berbagai titik geografis bumi, semua negara harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindari, tetapi berlari guna memenuhi hak-hak rakyat agar  selamat dari gempa di hari-hari mendatang melalui road map kebencanaan.   Dalam batas ini, keterjagaan negara adalah opsi tunggalnya. Siapapun yang memanggul amanat negara, pastilah terpanggil  membangun wilayah yang berkeselamatan. Bencana memanglah madrasah jua bagi negara dan kita waspada atasnya.

*Akademisi Hukum Lingkungan dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Unair serta Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup MUI Jawa Timur

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry