Rektor Unisma Prof Dr H Maskuri Bakri MSi, saat membuka seminar nasional. (DUTA.CO/IST)

MALANG | duta.co – Universitas Islam Malang (Unisma) memiliki kebijakan unik dalam melejitkan diri. Kampus Hijau ini, selain sisi mutu akademik juga spiritualitas yang digenjot. Unsur rasionalitas dan intelektualitas berbareng spiritualitas.

Seperti yang disampaikan Rektor Unisma, Prof Dr H Maskuri Bakri MSi, saat membuka seminar nasional dengan tema Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Fleksibilitas Merdeka Belajar pada Era Digital.

Menurutnya, guna memenangi di tengah era kompetitif, kampus kebanggaan NU ini selain sisi mutu akademik juga spiritualitas yang digenjot. Rasionalitas dan Intelektualitas berbareng spiritualitas.

“Ikhtiar untuk melejitkan dalam dunia pendidikan, tanpa ada nilai spiritualitas maka akan hampa. Ukhrowiyah akan tercerabut dalam diri,” ungkap Prof Maskuri.

Dipaparkannya, mengenai program ‘Merdeka Belajar’, sesungguhnya sejak lahir manusia sudah merdeka belajar. Ketidakmerdekaan dalam belajar yakni lantaran faktor lingkungan. Sayangnya, imbuh dia, saat diberikan kemerdekaan, justru tidak digunakan optimal.

Masih menurut Maskuri, merdeka belajar dari tingkat SLTA hingga sarjana, di antaranya USBN, SPP, PPDB merupakan peluang dari Pemerintah untuk momentum memerdekaan diri. Namun, sebetulnya semua lembaga pendidikan tersebut telah merdeka, termasuk Pondok Pesantren merdeka sejak dulu. Termasuk lembaga pendidikan swasta yang memiliki kemerdekaan.

“Sebuah lembaga merdeka karena mereka selalu berpikir out of the box. Berani keluar dari zona nyaman. Dan lembaga yang berani keluar dari zona nyaman rata-rata maju dibanding dengan lembaga yang selalu dalam kondisi kemapanan,” tutur Rektor yang dikenal inovatif ini.

Lebih lanjut, Maskuri membeberkan, demikian pula lembaga Perguruan Tinggi yang diberi kemerdekaan dalam sisi program studi, Akreditasi, PTNBH. Semuanya telah diberikan oleh Kementrian Pendidikan, namun dalam implementasinya belum tentu lancar sesuai harapan. Lantaran masih terkait dengan stake holder yang lain, tidak benar-benar merdeka, seakan kepala dilepas, ekor ditarik.

Para rektor getol membicarakan persoalan tersebut, imbuhnya, di mana tidak menutup kemungkinan hal itu akan masuk di tingkat sekolah. Jika terjadi, maka lembaga pendidikan akan kolap satu per satu. Hingga akhirnya lembaga ‘gajah’ saja yang muncul di masyarakat. Partisipan dalam dunia pendidikan akan semakin kurang.

“Pemikiran kritiser selalu dikembangkan di Unisma. Tugas berikutnya yang terkait pembelajaran apa pun, termasuk pembelajaran Bahasa dan Sastra yang akan tergantung dari sumber daya manusia para guru. Tidak lagi pada fasilitas,” imbuhnya.

Masih kata Maskuri, sumber daya yang memadai ialah tenaga yang memiliki inspirasi tinggi dan besar, berbareng mimpi besar pula membawa peserta didik memiliki kompetensi plus-plus. Dan ini semua tergantung pada guru yang membuat rekayasa pedagogis.

“Pedagogis sendiri tidak akan muncul jika tidak disertai inovasi dan kreatifitas baru. Semua itu akan mincul jika ada sikap disiplin dan tanggungjawab yang tinggi dari para guru,” tambahnya.

Dijelaskannya, sebelum kebijakan ‘Kampus Merdeka’ digulirkan, 20 rektor PTN dan 20 Rektor PTS diundang secara khusus. Di antara undangan spesial tersebut Unisma masuk. Tiap Rektor diinstruksikan memberikan tiga contoh masalah beserta solusinya.

“Perlu ditelaah lagi dari kebijakan Merdeka Belajar adalah lebih mengedepankan skill. Sayangnya karakter bangsa terutama generasi muda seakan diabaikan. Termasuk mengkritisi UU No 19 tahun 2019 yang mengatur pendirian Pondok Pesantren. Di mana perlu diluruskan mengenai syarat pendirian yang dirasa begitu ketat. Intervensi Pemerintah terlalu dalam mengatur hal tersebut,” papat dia.

Semestinya, lanjut Maskuri, sistem pendidikan menyeimbangkan antara Hard Skill dan Soft Skill, bukan hanya berorientasi pada keduniawian semata.

“Kekhawatiran saya, dengan diterapkannya kebijakan ini, maka 30 tahun kedepan tidak ada lagi anak muda yang kuat aqidahnya. Maka Atheisme ditakutkan akan hadir di negeri cinta ini,” tekannya.

Di akhir ia menjelaskan, sepatutnya perlu ada penyeimbangan antara dzikir dan pikir. Demikian pula pada pendidikan Bahasa dan Sastra yang merupakan senjata komunikasi antar manusia. “Bagaimana orang Indonesia menjadi benar-benar Indonesia, bukan menjadi orang asing,” tutupnya. (dah)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry