Dr Hermina, SpPD saat mengikuti ujian terbuka doktoral melalui aplikasi zoom, Kamis (21/1/2021). DUTA/ist

SURABAYA | duta.co  – Siapapun tidak akan pernah menduga, akan menjadi salah satu yang terkena virus corona atau tidak. Namun, pekerjaan sebagai dokter membuat dr Hermina Novida, SpPD KEMD sangat rentan terpapar virus ini.

Dan itu ternyata terjadi. Tugasnya sebagai dokter penyakit dalam di RSU dr Soetomo membuatnya harus melayani pasien baik itu Covid-19 dan non Covid-19. Segala antisipasi dilakukan agar tidak terpapar. Namun, nampaknya Tuhan berkehendak lain, dr Hermina harus terpapar di saat dia harus melakukan sidang terbuka untuk program S3 (Doktoral).

Tidak ada sesuatu yang kebetulan. Semua kata dr Hermina sudah ditakdirkan terjadi. Saat sidang yang digelar Kamis (21/1/2021), manajemen Universitas Airlangga masih menutup seluruh kegiatan kampus. Semua sivitas akademika harus bekerja dan belajar dari rumah.

“Sehingga ujian terbuka pun dilakukan secara online. Alhamdulillah bisa online apalagi saya lagi isoman. Kalau offline bisa-bisa jadwal ujian saya mundur dan mundur pula dapat gelar doktor. Padahal sebelumnya, walau pandemi, ujian tetap digelar offline dengan protokol kesehatan yang ketat,” ujar dr Hermina melalui aplikasi zoom.

Terpapar Covid-19 dengan status orang tanpa gejala (OTG) disandang dr Hermina sejak melakukan tes swab PCR dinyatakan positif pada Senin (18/1/2021) lalu. Ibu dua anak ini langsung melakukan isolasi mandiri di rumahnya. Sementara anak dan suaminya pindah ke rumah lainnya.

Sebelumnya, keluarga dr Hermina yang rumahnya berdekatan banyak yang terkonfirmasi positif. Jumlahnya delapan dari 12 orang keluarga termasuk suaminya Dr dr Muhammad Atoillah, dua anaknya serta kedua orang tuanya. “Saat itu saya termasuk empat orang yang negatif dari hasil swab PCR. Sehingga saya masih bisa merawat ibu bapak saya dan mengerjakan disertasi,” tuturnya.

Sampai akhirnya, sang ibu tidak tertolong walau dari hasil swab PCR virus corona sudah menghilang dari tubuhnya tapi paru-parunya sudah telanjur tidak berfungsi. “Bapak saya sudah sembuh, suami dan anak juga sudah negatif dan saudara-saudara juga negatif. Sekarang, sayalah yang positif,” ungkapnya.

Beruntung, sebelum meninggal, sang ibu masih sempat mendampingi dr Hermina untuk mengikuti ujian tertutup doktornya. “Sehingga ibu saya juga menyaksikan saya berjuang untuk mendapatkan gelar S3 saya,” tandasnya.

Hermina menjadi dokter pertama di FK Unair yang melakukan ujian terbuka program doktoral secara online dan sedang terpapar Covid-19. Dekan FK Unair, Prof Dr dr Budi Santoso, SpOG(K) mengapresiasi kegigihan dr Hermina yang masih bisa menyelesaikan program doktoralnya dengan baik dan lancar.

“Kami salut. Tidak mudah di tengah kondisi seperti itu bisa menyelesaikan studi dengan baik. Kami salut,” tukas Prof Bus panggilan akrab Prof Budi Santoso.

Prof Bus menyadari bahwa para dokter FK Unair dan juga PPDS (dokter yang menempuh pendidikan dokter spesialis) rentan terpapar Covid-19. Selama hampir setahun terakhir ini, FK Unair selalu mendukung para dokter dan PPDS serta staf yang terpapar baik yang isolasi mandiri di rumah atau yang isolasi di tempat lain.

“Bahkan kita siapkan tempat isolasi di Guest House-nya FK. Ada juga tempat di kampus C dengan 80 tempat tidur untuk para staf dan karyawan FK. Kalau butuh ke rumah sakit kita bantu mempermudah akses ke RSU dr Soetomo atau ke RSUA,” tuturnya.

Prof Bus berharap, pandemi memang tidak menghalangi seluruh sivitas akademika FK Unair untuk berkarya dan berprestasi. “Karena kami mendukung penuh untuk bisa menghasilkan sesuatu,” tandasnya.

Seperti halnya dr Hermina yang berhasil menyelesaikan disertasi dari hasil penelitiannya yang dilakukan selama dua tahun terakhir dan intensif dikerjakan selama dua bulan di akhir 2020 lalu.
Penelitian yang dilakukan perempuan kelahiran Madiun 12 November 1977 itu tentang transplantasi sel progenitor pada pankreas penderita diabetes mellitus.

Bagi penderita diabetes mellitus, beta pankreas yang biasa menghasilkan insulin berhenti berproduksi. Selama ini penderita diabetes mellitus harus disuntik insulin agar kadar gula dalam darahnya bisa stabil. Namun, agar tidak terus menerus disuntik insulin dibutuhkan alternatif pengganti itu. “Karenannya kita mencari pengganti beta pankreas agar insulin kembali bisa diproduksi,” jelas dr Hermina.

Karena itu, dr Hermina mengambil stemcell dari sel lemak untuk diubah menjadi sel progenitor. Setelah berubah lalu dicangkokkan ke beta pankreas penderita. Untuk sementara, dr Hermina mengaplikasikannya pada hewan uji yakni tikus. Tikus yang dibuat memiliki kadar gula dalam darah sebesar 400 ditransplantasi sel progenitor. “Dan ternyata kadar gulanya bisa turun hingga 200 di minggu keempat. Dari hewan uji yang kami lakukan 70 persennya bisa menurun. Berarti tingkat efektivitasnya cukup tinggi,” jelasnya.

Ke depan, dr Hermina berharap penelitiannya ini bisa dikembangkan lebih lanjut sehingga nantinya bisa diterapkan pada manusia. Memang membutuhkan proses yang lama namun dr Hermina optimis suatu saat pasti akan bisa diwujudkan.  end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry