SURABAYA | duta.co – Sejumlah tokoh anti komunisme Jawa Timur, Senin (3/5/21) bertemu untuk menyikapi terbitnya buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ oleh Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang menggegerkan jagat nusantara. Bukan hanya raibnya nama almaghfurlah KH Hasyim Asy’ari yang disoal, tetapi, masuknya tokoh-tokoh komunis dunia juga menjadi catatan serius mereka.

“Republik ini sudah darurat komunis. Sudah tidak ada waktu untuk berdiskusi. Kita mendesak tokoh-tokoh nasional secepatnya konsolidasi. Ini wajib, kalau kita masih cinta NKRI,” demikian disampaikan Drs Arukat Djaswadi, Ketua Gerakan Rakyat Anti Komunisme (GERAK), kepada duta.co, Selasa (4/5/21).

Selain Arukat, hadir dalam pertemuan di Museum NU Surabaya itu antara lain, KH Ibrahim Rais (Pembina Yayasan Kanigoro) , Ustad Mustain (Kediri), Dr Zainal Abidin, MS (Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan dan Aktivitas Instruksional Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jawa Timur.

Dari kanan, Drs Arukat Djaswadi, KH Ibrahim Rais (Pembina Yayasan Kanigoro) dan Dr Zainal Abidin, MS.

Prof Dr Aminuddin Kasdi sejarawan UNESA, mesti berhalangan hadir, tetapi, catatan kritisnya terhadap buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ menjadi perhatian peserta. Ada juga peserta dari Nganjuk,  Madiun dan Magetan. Tak kalah menarik, pertemuan ini juga dihadiri generasi muda, mahasiswa dari perguruan tinggi.

Hari ini, jelas Arukat, gerakan kiri ( eks PKI) semakin terstruktur, sistematis dan masif. Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh Islam yang terkecoh, kemudian larut mendukungnya. “Ini fakta. Bukan kebetulan. Dari pertemuan gembong-gembong PKI di Hotel Cempaka (Jakarta) sampai terbitnya UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), SKKPH  (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM) semua untuk kepentingan eks PKI,” jelasnya.

Mirisnya, lanjut Arukat, kini kader-kader PKI sudah berada di posisi strategis. Terbitnya buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ yang memasukkan tokoh-tokoh PKI, menghilangnya peran ulama seperti Kiai Hasyim Asy’ari, bukanlah kealpaan. “Ini masalah serius, tidak bisa ditolerir. Mereka ingin memutihkan PKI, membersihkan PKI dari darah jahatnya,” tegasnya.

Masih menurut Arukat, dirinya bersama tokoh-tokoh anti PKI, sudah puluhan tahun mengadang kebangkitan komunisme ini. Arukat paham, bagaimana modus mereka membelokkan sejarah.

“Kami pernah menghadap Menko Kesra RI, Pak Alwi Shibab saat itu. Kami sampaikan, kalau 1000 peluru ditembakkan, paling banyak 1000 korban mati. Tetapi, kalau sejarah diubah, bangsa ini bisa lenyap. Saat itu, ada dua menteri yang mendampingi dan menangis, ingat orangtuanya menjadi korban kekejian PKI,” tegasnya.

KH Ibrahim Rais sepakat dengan Arukat, bahwa, tidak ada waktu lagi untuk berdiskusi. Saatnya bergerak untuk menyelamatkan NKRI dari manuver ‘anak turun’ PKI. Lelaki yang mengalami sendiri betapa kejamnya PKI itu, mengingatkan kepada tokoh-tokoh bangsa yang masih cinta NKRI agar tidak main-main dengan terbitnya buku Kamus Sejarah Indonesia ini.

“Komunisme ini bukan seperti partai politik yang kita punya. Komunisme ini memiliki jaringan internasional atau sering disebut Komintern. Kader-kader PKI ini akan terus menghapus jejak kelamnya. Sementara anak-anak muda kita tidak banyak yang paham. Akhirnya banyak anak muslim terkecoh,” jelas Kiai Ibrahim.

Pembelokan sejarah dalam buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ jelas Kiai Ibrahim, ini bukan masalah lalai atau lupa. Apalagi yang bertanggungjawab dalam buku itu, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, Hilmar Farid yang dikenal sebagai pendiri Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER), kalau dulu dikenal dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berpaham PKI.

Seperti diberitakan pedomanbengkulu.com, Hilmar, pria yang lahir di Jerman Barat pada 8 Maret 1968 ini memang dikenal sebagai aktivis kebudayaan sejak lama. Bahkan ia sempat bersama-sama dengan Widji Thukul, Moelyono, Linda Christanti, Raharjo Waluyo Jati dan Semsar Siahaan pada tahun 1996 mendirikan sebuah organisasi kebudayaan bernama Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER).

Selain aktif menjadi aktivis, Hilmar yang akrab disapa Bung Fay ini juga dikenal sebagai sejarawan. Pengagum Pramoedya A Toer ini juga tercatat sebagai pengajar di Institut Kesenian Jakarta dan sering menjadi keynote spreaker masalah kebudayaan.

“Jadi, ini bukan masalah lupa kalau sampai dia tidak memasukkan nama Mbah Hasyim Asy’ari. Ini masalah serius. Lucunya, oleh anak-anak muda NU, dia diberi buku sejarah agar tidak salah menulis. Ini yang geblek (bodoh) siapa?,” celetuk yang lain dalam pertemuan itu.

Kiai Ibrahim pun memberikan warning kepada generasi muda, agar tidak mudah dibelokkan pemahamannya soal PKI. Ia kemudian menyebut istilah ‘NKRI Harga Mati’ yang digelorakan M Natsir melalui Mosi Integral 3 April 1950. “NKRI Harga Mati, itu Mosi Integral M Natsir. Resolusi Jihad itu fatwa Mbah Hasyim. Ini tidak boleh lepas dari sejarah bangsa Indonesia,” tegasnya.

Masih menurut Kiai Ibrahim, adalah naif kalau kita berteriak ‘NKRI Harga Mati’ tetapi tidak mengenal dahsyatnya perjuangan M Natsir. Keliru besar kalau membuat Kamus Sejarah Indonesia kemudian tidak memasukkan nama Mbah Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihadnya.

Hal yang sama ditulis oleh Prof Dr Aminuddin Kasdi, sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Menurut Prof Amin, penulisan sejarah Indonesia, tidak perlu menggunakan istilah “Kamus Sejarah Indonesia”.

Kalau pakai istilah Kamus, ini mengandung pengertian bahwa isi buku itu sudah pakem, tidak bisa berubah, sehingga jadi bahan indoktrinasi. Dan ini sangat berbahaya, apalagi dibuat dengan salah.

“Ini bertentangan dengan kaidah keilmuan yang terbuka terhadap perubahan, karena adanya penemuan fakta-fakta baru atau perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,” jelasnya.

Prof Dr Aminuddin Kasdi, mantan aktivis GP Ansor ini, juga menyoal isi buku Kamus Sejarah Indonesia yang dibuat Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid. Menurutnya, ini bukan kekhilafan, tetapi jelas ada upaya pembelokan sejarah.

Ini bukti bahwa kelompok kiri tidak pernah berhenti. “Saya mendengar sendiri lewat videonya, bahwa Dirjen Kebudayaan (Hilmar Farid) ini begitu getol membela PKI dalam peristiwa Lubang Buaya (G/30/S/PKI). Ini masalah serius,” tegasnya.

Untuk itu, pertemuan para tokoh anti komunisme Jawa Timur merekomendasi agar segera digelar konsolidasi nasional. “Kami mendesak kepada tokoh-tokoh agama, TNI-Polri, DPR RI bahkan dunia kampus untuk segera turun, menggelar konsolidasi nasional. Terbitnya buku Kamus Sejarah Indonesia tidak cukup sekedar direvisi, tetapi, tim penulis-nya harus bertanggung jawab sesuai perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Ini kalau kita masih cinta NKRI,” pungkas Arukat Djaswadi. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry