“Saat Pak Harto berkuasa, masih bisa menurunkan angka kemiskinan sampai 1 persen. Zaman Presiden SBY 0,7 persen. Era Presiden Gus Dur turun sampai 2,5 persen. Sekarang ini hanya mampu menurunkan 0,3 persen pertahun.”

Oleh Mukhlas Syarkun*

DALAM teori Ushul fiqh ada tiga rumusan, atau tiga hirarki yaitu dharuri (keperluan yang sangat mendesak), al-hajat (keperluan) dan tahsini (pelengkap). Semua urusan di dunia, termasuk apakah perlu pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara (IKN),  bisa kita timbang dengan tiga rumus tersebut.

Hari ini, publik  ribut soal keinginan keras pemerintah untuk memindahkan IKN dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Lokasi yang pemerintah pilih, sudah debatable.

Mengapa? Karena telah telah mengakui, memahami, menyadari, bahwa, Kalimantan adalah paru paru dunia yang mensuplay oksigen untuk kehidupan umat manusia sejagad. Oleh karena itu, ia harus kita jaga dan kita rawat sebagai bagian dari merawat kehidupan (hifdun nafs).

Dalam tinjuan fiqih siyasah juga ada kaidah tasarruf imam ‘ala ra’iyyatihi manutu lilmaslahatil ‘ammah, artinya kebijakan pemerintah harus orientasi pada upaya menciptakan kesejahteraan yang merata. Bukan membangun singgahsana, begitu juga dalam teori fiqih aulawiyah, maka mengatasi kemiskinan harus menjadi prioritas.

Nah, kalau kita timbang dari tiga rumus ushul fiqh, keberadaan ibu kota, itu bukanlah hal yang dharuri. Bahkan bukan pula haji, juga bukan masuk kategori tahsini. Apalagi seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi digitalisasi, IKN dengan desain yang sudah beredar ke publik, ini justru masuk kategori tabdziri (pemborosan), dan pemborosan itu merupakan prilaku setan.

Dari tinjuan konstitusi, apalagi merujuk sumpah presiden di hadapan rakyat, tugas paling penting adalah menyejahterakan kehidupan bangsa sebagaimana amanah konstitusi. Artinya, pindah Ibu Kota Negara tidak termasuk dalam sumpah untuk menyejahterakan rakyat.

Padahal, faktanya, kini, asumsi publik menilai soal kesejahteraan masyarakat, pemerintah  dan DPR RI tidak begitu memperhatikan. Problem ini tidak teratasi dengan sungguh sungguh. Hal itu terlihat dari adanya pertumbuhan ekonomi yang anjlok ke bawah. Bahkan, kini, kemampuan mengatasi kemiskinan, terbilang paling buruk dalam sejarah.

Harus Dihentikan

Kita bisa melihat lihat angka penurunan kemiskinan zaman Orde Baru. Saat Pak Harto berkuasa, masih bisa menurunkan angka kemiskinan sampai 1 persen. Zaman Presiden SBY, 0,7 persen. Era Presiden Gus Dur turun sampai 2,5 persen. Semantara, sekarang ini hanya mampu menurunkan 0,3 persen pertahun.

Nah, maka, jika kita ikuti amanah konstitusi,  sebaiknya Presiden Jokowi nenghentikan ambisi pinda Ibu Kota Negara, lebih memilih konsentrasi pertumbuhan ekonomi. Setidaknya menurunkan angka kemiskinan yang masih mengerikan.

Dengan begitu, semua  potensi bangsa dan anggaran belanja negara, yang sudah teralokasi untuk pemindahan Ibu Kota  Negara baru, bisa mereka alihkan untuk mengatasi kemiskinan, menciptakan kemakmuran sebagai amanah konstitusi. Ini sekaligus merealisasikan sumpah yang telah presiden ucapkan sendiri.

Jadi? Baik tinjuan fiqih maupun konstitusi, kebijakan pemindahan ibu kota negara baru itu, sudah seharusnya pemerintah hentikan. Bukankah begitu? (*)

Jakarta, 22 januari 2022

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry