“Inilah yang bisa menjelaskan mengapa jutaan umat manusia tidak henti-hentinya menziarai maqbaronya, tidak lain karena selama memimpin beliau menempuh jalan kemulian.”

Oleh Mukhlas Syarkun

ALMAGHFURLAH KH Ahmad Saerozi, Lamongan, Jawa Timur, bertaushiyah, bahwa, hidup ini adalah cerita. Membuat cerita. Bung Karno dikenal lewat ceritanya, begitu juga Pak Harto. Bahkan menempelnya stiker di bak-bak truk, juga mengisahkan tentang cerita. “Yok Opo Le, Enak Jamanku Toh?” Gambar Pak Harto.

Isi Alquran itu, juga sejarah. Ada sejarah penguasa, seperti Nabi Sulaiman, Nabi Daud, Raja Fir’aun, Namrud, Abraha. Kisah dalam Alquran itu  menggambarkan sosok penguasa yang menempuh jalan yang berbeda. Ada yang menempuh dengan kemuliaan, sebaliknya ada yang menempuh jalan kehinaan.

Para mufassir menjelaskan bahwa sejarah dalam Alquran adalah untuk pengajaran, karena sejarah itu akan terulang sepanjang (sejarah) kehidupan manusia.

Jika kita amati, memang demikian. Ada pemimpin yang menempuh jalan kehinaan (seperti yang ditempuh Fir’aun, Namrud dan Abraha). Mereka merasa kekuasaan adalah segala galanya, cirinya tidak berlaku adil dan selalunya rakyat kecil yang tidak berdaya, jadi mangsanya.

Hal itu dapat kita lihat dengan nyata, yaitu jika ada rakyatnya mengekspresikan kekecewaan akibat kebijakan yang buruk pemimpinnya, kemudian melakukan kritikan atau hinaan dengan kata kotor, maka, langsung ditangkap, konon katanya melanggar UU.

Sementara terlihat nyata banyak orang dekatnya melakukan hal yang sama, melanggar UU justru dilindungi. Ini salah satu ciri penguasa yang menempuh jalan kehinaan dan berada pada jalan kegelapan.

Namun ada pemimpin yang menempuh jalan kemuliaan, yaitu mengikuti jejak Nabi Sulaiman dan Nabi Daud. Cirinya pemimpin itu  menegakkan keadilan dengan nilai kemanusiaan, biasanya pemimpin seperti ini sabar menerima kritikan, bahkan celaan sekalipun.

Fenomena itu terlihat pada sosok kepemimpinan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Beliau dihina, dicaci maki, difitnah semua diterimanya dengan lapang dada, bahkan ada yang makar dibiarkannya,  dikudeta direlakannya, karena bagi Gus Dur jabatan tidak perlu dipertahankan mati matian, apalagi sampai menzalimi rakyat sendiri.

Hal itu, karena, bagi Gus Dur, jabatan adalah sebagian kecil dari bentuk pengabdian.

Dan ladang pengabdian itu ada diberbagai tempat, karena itu, untuk apa dipertahankan sampai menzalimi  rakyat sendiri..!!!

Inilah yang bisa menjelaskan mengapa jutaan umat manusia tidak henti-hentinya menziarai maqbaronya, tidak lain karena selama memimpin beliau menempuh jalan kemulian dan dijalur kebenaran, untuk Gus Dur al-fatihah..

Tidak Butuh TR Kapolri

Kalau Mau, sekali lagi, kalau mau, Gus Dur juga bisa memerintahkan Kapolri untuk membuat telegram (TR). Siapa yang menghina presiden, tangkap. Tetapi, itu tidak dilakukan oleh Gus Dur, karena tujuan menjadi presiden bukan untuk ‘menyusahkan’ rakyatnya.

Sudah menjadi konsekuensi, bahwa, pejabat publik atau penguasa, harus menerima kritik, apa pun bentuknya. Karena tingkat pemahaman, tingkat pendidikan, tingkat kepuasan rakyat atas kebijakannya, tidak sama. Tetapi, ingat! Semua memiliki keinginan yang sama, demi kebaikan negeri tercinta, Indonesia. Bukankah begitu? Waallahu’alam bishshawab.

Jakarta

8/4/2020

Mukhlas Syarkun.

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry