SURABAYA | duta.co – Upaya pengajuan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selalu menemui jalan buntu. Beberapa kali pemerinah mengajukan ke pengadilan selalu gagal. Tercatat, sampai sekarang pengadilan sudah membebaskan 35 orang dalam kasus pasca Jajak Pendapat di Timtim dan kasus Paniai. Problemnya adalah perbedaan standar hukum acara antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Hal ini diungkapkan oleh Menko Polhukam RI Prof Dr Mahfud MD, SH SU MIP dalam acara audiensi tim penyelesaian non yudisial pelenggaran HAM (PPHAM) berat masa lalu bersama PBNU dan ulama NU Jawa Timur di Pondok Pesantren Miftachussunnah asuhan Rois ‘Am PBNU KH Miftachul Akhyar di Jalan Kedung Tarukan Surabaya Jawa Timur, Selasa (27/12/2022). Selain itu, pemerintah melakukan upaya melalui jalan KKR, tetapi nasibnya berakhir sama.

“Upaya penyelesaian melalui KKR juga buntu karena UU KKR (UU 27/2004) dibatalkan MK (Put.No.06/PPUIV/2006), dan setiap ada upaya untuk membuatnya kembali selalu ada yang menggembosi, maka sekarang dibuatlah tim PPHAM,” ujarnya.

Prof Mahfud menjelaskan, dari aspek hukum pidana pelanggaran HAM ada dua. Pertama, pelanggaran HAM berat merupakan pelanggaran yang terjadi dan melibatkan aparat pemerintah dengan terstruktut, sistematis, dan massif. Kedua, pelanggaran HAM biasa yang bisa terjadi karena pelakunya adalah orang biasa.

“Pelanggaran HAM biasa itu kejatahan, misalnya membunuh orang, membakar toko, bom, kalau yang melakukan preman hanya kejahatan berat, bukan pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat adalah melibatkan pejabat negara walaupun korbannya hanya 10 orang. Kasus Kanjuruhan (Malang) itu bukan pelanggaran HAM berat, hanya kejahatan berat walu pun korbannya berat,” jelasnya.

Dia menjelaskan, penyelesaian pelanggaran HAM biasa seperti kriminal dan kejahatan melalui peradilan umum. Sedangkan pelanggaran HAM berat melalui peradilan khusus HAM, dan melalui KKR yang bertujuan untuk rehabilitasi sosial, politik, sosiologis, dan psikologis. Hanya Komnas HAM-lah sebagai lembaga yang berwenang menentukan suatu kasus menjadi pelanggaran HAM berat berdasarkan penyelidikan resmi.

Pembentukan PPHAM menindaklanjuti perintah Tap MPR dan UU untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui proses non-yudisial (KKR) tanpa menghentikan proses yudisial. Artinya, proses yudisial tetap akan bisa dikenakan meskipun proses non-yudisial sudah dilakukan, karena kasus pelanggaran HAM tidak akan pernah kadaluarsa.

Mahfud MD menepis tudingan pembentukan PPHAM sebagai upaya KKR bertujuan untuk menghidupkan kembali PKI. Dia juga menolak anggapan KKR bermaksud agar korban pelanggaran HAM berat meminta maaf kepada keturunan PKI. Tidak benar juga, PPHAM dimaksudkan untuk mengkambinghitamkan umat Islam sebagai pelaku pembantaian.

“Justru yang diberi perhatian dalam 13 pelaggaran hAm berat yang diputuskan oleh Komnas HAM ada 4 kasus yang diasosiasikan sebagai pelanggaran HAM terhadap umat Islam, misalnya kasus dukun santet Banyuwangi, peristiwa simpang KKA, kasus Jambu Keupak 2003, dan peristiwa rumoh gedong 89-98,” jelasnya.

Menurutnya, PPHAM yang dibentuk melalui Kepres nomor 17 tahun 2022 bertugas mencari penyelesaian non-yudisial secara arif. Artinya, pendekatan kearifan lokal dan kesantunan menjadi dasar kerjam dari tim PPHAM yang terdiri dari 12 orang tersebut. Tim ini terdiri dari akademisi dari berbagai universitas ternama Indonesia, pensiunan TNI, dan profesional dari latar belakang ormas keagamaan.

Tugas dari Tim PPHAM ini nantinya memberikan masukan kepada pemerintah untuk melakukan penyelesaian non-yudisial dengan memperhatikan korban, tidak memutuskan pelaku karena masalah pelaku menjadi urusuan pengadilan atas keputusan Komnas HAM tentang terjadinya pelanggaran HAM berat.

“PPHAM tidak meniadakan proses yudisial, karena proses yudisial merupakan jalur sendiri yang tidak ada kadaluarsanya,” tegasnya.

Sekedar informasi, ada 13 kasus pelanggaran HAM berat yang sedang dikaji oleh tim PPHAM. Kasus-kasus itu diantaranya adalah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1984, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, peristiwa Semanggi 1 Demo Tolak Dwi Fungsi pada 13 november 1998 dan Semanggi II demo tolak RUU PKB pada 29 September 1999, peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Selain itu, peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya yang diusut oleh TIM PPHAM adalah penghilangan orang, pembantaian dukun Santet, rumoh gedong, Simpang KKA 1999 di Aceh Utara, Jambu Keupuk 2003, dan Paniai 2014.

Sementara itu, Ketua Tim PPHAM Prof. Dr. Makarim Wibisono menambahkan, anggota tim akan berbagi tugas mempelajari 13 peristiwa pelanggaran HAM berat yang sudah ditetapkan oleh Komnas HAM. “Saya sendiri akan mempelajari peristiwa Talangsari di Lampung,” ujarnya.

Tugas tim PPHAM, kata Prof. Makarim Wibisono, adalah melakukan pemetaan dan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Selain itu, tim juga akan memberikan rekomendasi untuk pemulihan korban dan keluarganya.

“Juga merekomendasikan Langkah mencegah pelanggaran HAM yang berat supaya tidak terulang kembali, tim PPHAM juga akan merekomendasikan pemulihan korban,” ungkapnya.

Tim PPHAM akan mencari data melalui focus group discussion (FGD) dengan korban dan keluarga dan pihak-pihak lain. Selain itu, juga mengadakan pertemuan formal dan informal seperti sowan PWNU Jawa Timur, dan mendatangi unsur kelengkapan negara.

“Pertemuan ini untuk memperoleh pandangan-pandangan dari kyai dna ulama, serta warga nahdlatul ulama yang bertalian dengan pelanggaran HAM,” terangnya.

Prof. Makarim Wibisono mengungkapkan, hasil kerja dari Tim PPHAM akan disampaikan kepada presiden RI melalui Menko Polhukam. “Nantinya berupa rekomendasi konkrit dan realistis dan bisa diimplementasikan di lapangan,” jelasnya.

Ketua PBNU KH. Yahya Cholil Staquf yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menambahkan, pandangan dan kesaksian atau riwayat dari kiai akan menjadi sumber data penting bagi tim PPHAM. Masukan dari para kiai akan berguna untuk kepentingan bangsa dan negara.

“Apa yang dilakukan pemerintah ini harus diapresiasi, baik NU secara organisasi dan kiai akan bersungguh-sungguh memberikan masukan konstrkutif,” ucapnya.

Gus Yahya memandang, pembentukan PPHAM sebagai tim yang independen, bukan lahir karena tekanan politik dan intervensi dari pihak manapun. Anggota tim juga imparsial dan cukup memiliki kredibilitas serta merepresentasikan dari semua pihak.

“Dari sudut NU tidak ada kekhawatiran apa-apa, apalagi dikaitkan dengan tahun politik, ini sudah masa lalu, yang terlibat sudah tiada. Ini murni keinginan untuk maslahat,” tegasnya. (azi)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry