“Sebagai Ketua  BPIP, Prof  Yudian Wahyudi harus mengerti sejarah serta kesepakatan para pendiri bangsa ini. Dengan begitu, setiap statemennya ada dasar. Jangan sampai Ketua BPIP, pernyataannya selalu membenturkan agama dan Pancasila.”

Oleh : Prihandoyo Kuswanto*

KEPALA Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mengimbau semua umat beragama untuk menempatkan konstitusi di atas kitab suci dalam berbangsa dan bernegara. Ada pun untuk urusan beragama, kembali ke masing-masing pribadi masyarakat.

“Saya mengimbau kepada orang Islam, mulai bergeser dari kitab suci ke konstitusi kalau dalam berbangsa dan bernegara. Sama, semua agama. Jadi kalau bahasa hari ini, konstitusi di atas kitab suci. Itu fakta sosial politik,” kata Yudian ditemui Tempo di Kantor BPIP, Jakarta, Kamis, 13 Februari 2020.

Dua kali, sudah, Ketua BPIP Yudian Wahyudi, membuat pernyataan blunder. Pertama, soal agama  musuh Pancasila, kedua, meninggalkan kitab suci beralih ke konstitusi.

Statemen itu, sepintas, kelihatan wisdom, bijak dan benar. Tetapi, ini, menunjukkan betapa rapuh pemahaman kita dalam berbangsa dan bernegara. Artinya, kita gagal memahami kitab suci, sekaligus gagal memahami konstitusi.

Kitab suci mana yang berlawanan dengan semangat berbangsa dan bernegara? Konstitusi mana yang harus dijunjung  tinggi dalam berbangsa dan bernegara? Kalau bicara UUD 1945, yang mana? Yang asli atau UUD 1945 palsu hasil amandemen yang individualis, liberalis, kapitalis?

Nah, menurut hemat kami, pernyataan ini berbahaya. Pusat Studi Rumah Pancasila berusaha meluruskannya. Karena pada hakekatnya: TIDAK MASALAH, di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, syariat Islam dijalankan sepenuhnya.

Ingat! Sejak negara ini lahir, Pancasila adalah hasil kompromi antara kaum kebangsaan (nasionalis) dan kaum Islam (agamis). Kata Bung Karno mematri keduanya menjadi gentlement agreement, kesepakatan berbangsa dan bernegara. Maka di negara Indonesia, syariat bisa dijalankan. Ada syariah tentang pendidikan mulai dari TPQ sampai perguruan tinggi. Ada syariah yang mengatur kehidupan umat Islam, kawin, cerai, waris, zakat mal, bahkan untuk itu negara merasa perlu mendirikan pengadilan agama.

Apalagi soal ibadah, fakta politik, pemerintah ikut ngurusi hilal, awal puasa, hari raya, ibadah haji, ibadah umrah. Semua diurusi, bahkan, ada Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat). Pemerintah juga membangun asrama haji, ngurusi perjalanan haji dll. Bahkan uang jamaah haji pun, dikelola pemerintah. Kurang apa?

Soal ekonomi, tak kalah gencar.  Tumbuh bak ‘jamur di musim hujan’. Dipuji-puji yang namanya Bank Syariah, Lembaga Keuangan Syariah yang, semua itu juga diatur dalam kitab suci, dan tidak bertentangan dalam berbangsa dan benegara, bahkan menguntungkan negara.

Jadi? Sejak awal berdirinya negeri ini, sudah ada kesepakatan dari para pendiri. Dan harus disadari bersama, bahwa, agama berikut kitab sucinya, justru menjadi penggerak kemerdekaan Republik Indonesia. Kita mengenal Sarekat Dagang Islam yang di komandani Haji Samanhudi, lalu dikomandani HOS Tjokroaminoto kemudian berubah menjadi Sarekat Islam. Ialah yang pertama kali menyatakan Indonesia Merdeka dengan dasar Syariah Islam pada Kongres SI di Bandung, tahun 1916.

Ingat pula, ketika proklamasi negeri ini masih seumur jagung dan terancam hilang karena akan diduduki kembali oleh sekutu, maka, umat Islam melakukan jihad yang kemudian terkenal dengan Resolusi Jihadnya kiai-kiai NU. Mereka bertaruh nyawa untuk negeri, dan semua itu berdasar pada kitab suci, tidak cukup konstitusi. Di sini jatuh ribuan syuhada. Pekikan takbir ‘Allahu Akbar…! terus menggema, menyemangati perang melawan penjajah, juga didasarkan pada kitab suci.

Ingat lagi! Cuplikan Pidato Bung Karno pada 1 JUNI 1945. “………Kemudian, apakah dasar (negara) yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walau pun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”,” demikian Bung Karno.

Dari sini jelas, syarat mutlak kuatnya negara (Indonesia) adalah permusyawaratan dan perwakilan. Bagi umat Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Sebagai seorang muslim — maaf beribu-ribu maaf, karena keislaman saya jauh dari sempurna — tetapi kalau saudara membuka hati, atau saya punya dada, dan melihatnya, maka, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan, adalah hati Islam.

Pun dalam hati (Islam) Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, termasuk keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sini pul diusulkan kepada pemimpin dan perwakilan rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu perbaikan.

Jikalau kita umat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar sebagian yang terbesar dari kursi-kursi badan perwakilan rakyat diduduki utusan Islam. Jikalau Indonesia yang rakyatnya terbesar memeluk Islam, maka, menjadi wajar mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan. Ini juga demi bangsa dan negara, fastabiqul khairat.

Ada lagi yang berpikir sederhana. Begini: Ibarat anggota Badan Perwakilan Rakyat itu berjumlah 100 orang, maka, kita boleh bekerja sekeras-kerasnya, agar 60, 70, 80, 90 atau sesuai dengan prosentase yang ada, utusan yang duduk dalam perwakilan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Sah sah saja. Dengan sendirinya, hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat, adalah hukum yang selaras dengan Islam.

Saya pun yakin, jika hal demikian itu terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Dan semua itu dijamin tidak berlawanan, sekali lagi, tidak berlawanan dengan etika berbangsa dan bernegara.

Kalau kita memahami pidato Bung Karno, maka, tidak boleh presiden atau menteri dalam negeri memberangus Perda Syariah di daerah. Mengapa? Karena lahirnya Perda adalah hasil dari musyawarah di DPRD. Jika terjadi penghapusan, itu sama saja dengan melanggar Pancasila.

Jadi? Sebagai Ketua  BPIP, Prof  Yudian Wahyudi harus mengerti sejarah serta kesepakatan para pendiri bangsa ini. Dengan begitu, setiap statemen-nya ada dasar. Jangan sampai sebagai Ketua BPIP, pernyataannya selalu membenturkan agama dan Pancasila.

Tak kalah pentingnya, jika kita mengerti sejarah bangsa ini dan mau belajar dari ajaran Soekarno, maka tidak akan suka melakukan stigma radikal, membahayakan khilafah, menuduh intoleran pada umat Islam. BPIP justru harus berani menghentikan stigma tersebut, sebab, kalau tidak, akan terjadi dis-harmoni terhadap bangsa dan ideologi Pancasila. Justru inilah membahayakan kelangsungan berbangsa dan bernegara.

BPIP harus berani menegakkan Ideologi Pancasila dengan benar. Hentikan stigma yang bisa memecah belah bangsa. BPIP harus berani menegakkan persatuan dan melarang persekusi terhadap ulama. Negara ini berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga beribadah pun dijamin oleh UUD 1945.

Harus segera disadari, bahwa, umat Islam sekarang mulai terganggu dengan stigma miring. Belum lagi masifnya persekusi pada ulama, persekusi ustad. Ini adalah tindakan pecah belah dan bertentangan dengan Pancasila. Anggota BPIP, yang dibayar mahal dengan uang rakyat, sampai detik ini belum nampak sebagai penjaga ideologi Pancasila selain hanya melahirkan kontroversi kebangsaan.

Kalau BPIP tidak kunjung paham:  Apa itu negara berdasarkan Pancasila? Apa itu agama? Apa itu kitab suci? Apa itu konstitusi? Apa itu berbangsa? Apa itu bernegara? Maka, lebih baik lembaga ini dibubarkan saja. Jangan buang sia-sia uang rakyat hanya untuk agenda tersembunyi, mensekulerkan Pancasila. Waallahu’alam.

*Prihandoyo Kuswanto adalah Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry