Ning Lisa (kiri) saat hadir dalam Seminar Nasional bertajuk ‘Membangun Moderasi Beragama dalam Bingkai NKRI Guna Menyongsong Tahun Toleransi 2022’. (FT/IST)

PONTIANAK | duta.co – Ada wejangan penting dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) soal keberadaan Indonesia. Pesan Presiden ke-4 RI itu, terdengar kembali dalam Seminar Nasional bertajuk ‘Membangun Moderasi Beragama dalam Bingkai NKRI Guna Menyongsong Tahun Toleransi 2022’.

“Keberagaman adalah raison d’etre (alasan keberadaan) Indonesia. Kalau tidak ada keberagaman, maka, tidak perlu ada Indonesia,” demikian Gus Dur sebagaimana disampaikan Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, dalam acara yang dibesut Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalimantan Barat bersama Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Senin, (7/2/22) di Hotel Mercure, Pontianak.

Menurut Ning Lisa, panggilan akrabnya, perkataan Gus Dur ini, memiliki makna mendalam. Artinya, tidak ada satu tanah, suku, atau ras apa pun yang dapat disebut sebagai Indonesia, karena Indonesia itu terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama. “Maka dari itu, tahun 1945 muncul semangat untuk menjadi negara Republik. Dengan kata lain, Indonesia merupakan sebuah gagasan yang mempersatukan semuanya,” tambah Kordinator Nasional Jaringan Gusdurian ini.

Ning Lisa juga menyampaikan, bahwa, kehidupan bernegara itu sangat dinamis dan bukanlah merupakan status quo. Maka, bisa bersatu, bisa pula terpecah. Seperti yang terjadi pada negara Jerman atas gabungan negara Jerman Barat dan Jerman Timur. Atau Uni Soviet yang berpecah ke dalam berbagai negara.

Mengutip pandangan Gus Dur, bahwa, Pancasila adalah pemersatu bangsa, karena Pancasila dapat mempertemukan nasionalisme dan agama. Selama masih menerima Pancasila, maka perpecahan bangsa ini, nyaris tidak akan terjadi.

Kunci Kerukunan

Diakui, beberapa masalah muncul dewasa ini. Antara lain, meningkatnya jumlah insiden kekerasan dan intoleransi dalam 20 tahun terakhir. Meningkatnya jumlah legislasi yang rentan-diskriminasi atas dasar mayoritas-minoritas. Menguatnya praktek intoleransi dalam masyarakat umum, ini berangkat dari sikap eksklusif dan ekstrimisme dalam beragama. Menguatnya kelompok pendukung kekerasan (violence-based groups, violent extremism), serta praktik politik yang berbasis kekuasaan dan capital.

“Secara umum, ada dua arus utama praktik keagamaan yang berkembang, yakni praktek beragama yang substantif-inklusif seperti trilogi ukhuwah serta praktek beragama yang eksklusif legal formalistic seperti Perda Injili dan Perda Syariah,” tambahnya.

Selain itu, lanjutnya, Indonesia juga menghadapi tantangan serius. Antara lain perkembangan paham keagamaan, dinamika otonomi daerah, penegakan hukum , serta demokrasi dan mayoritarianisme. “Oleh karenanya, salah satu upaya yang mesti pemerintah lakukan, melalui Kementrian Agama ialah melakukan penguatan moderasi beragama,” tegasnya.

Moderasi beragama, jelas Ning Lisa, sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. “Moderasi beragama setidaknya memiliki beberapa indicator, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi,” pungkasnya. (mjh)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry