Achmad Murtafi Haris

“Suluh Hudaybiyyah mengajarkan bahwa redaksi traktat haruslah disepakati bersama tanpa memaksakan kehendak. Ia menggunakan diksi dan diktum yang bisa diterima oleh semua pihak.”

Oleh Achmad Murtafi Haris

DALAM studi lintas agama, budaya dan multikulturalisme, muncul istilah ‘the Common Word’ atau Platform Bersama yang mampu mempersatukan perbedaan latar belakang dalam satu wadah sosial.

Perbedaan suku, ras, bahasa, agama, faham, status dan latar belakang lainnya, terkadang menimbulkan ego kelompok yang mendorong munculnya persaingan  dalam memimpin dan menentukan warna lembaga bersama.

Common Word atau yang lebih tepat diterjemahkan dengan ‘Platform Bersama’ daripada terjamah literal ‘Kata Umum’, muncul demi menjembatani aneka perbedaan itu. Yaitu lewat pilihan diksi dan diktum yang mampu mengakomodir semua aspirasi dengan  bahasa yang netral yang disepakati bersama.

Hal serupa muncul dalam sejarah Nabi Muhammad di mana beliau mengalah untuk tidak memaksakan redaksi yang beliau inginkan demi menampung aspirasi pihak lain.

Dalam Suluh (rekonsiliasi)  Hudaybiyyah  antara Quraish Makkah dan umat Islam pada tahun keenam  Hijriyyah, Rasulullah mengalah dan mengikuti aspirasi utusan Quraish Suhayl b. Amru.

Dalam merancang perjanjian gencatan senjata yang disepakati untuk tidak saling menyerang satu sama lain selama 10 tahun itu, Suhayl menolak traktat itu diawali dengan kalimat ‘Bismillahirrahmanirrahim’.

Apa maksud ‘al-Rahman’? Kata Suhayl dan dia lantas meminta agar diganti: ‘Bismika Allhumma’ (dengan namamu ya Allah) yang kemudian disetujui Rasulullah.

Suhayl juga menolak pencantuman nama Muhammad Rasulullah. Kata Suhayl: “Kami tidak percaya kamu (Muhammad) adalah rasulullah (utusan Allah). Kalau bukan karenanya untuk apa kami menghalangi kamu ke Ka’bah.

Suhayl meminta agar kata ‘Rasulullah’ dihilangkan dan diganti ‘Muhammad b. Abdillah’ (Muhammad anak Abdullah) dan Rasulullah akhirnya menerima dan memerintahkan Ali b. Abi Talib untuk menulis traktat sesuai keinginan Suhayl.

Suluh Hudaybiyyah mengajarkan bahwa redaksi traktat haruslah disepakati bersama tanpa memaksakan kehendak. Ia menggunakan diksi dan diktum yang bisa diterima oleh semua pihak.

Identitas dan kepentingan kelompok tidak boleh dipaksakan jika berakibat pada gagalnya kesepakatan bersama.

Jika ditelaah lebih lanjut isi traktat Hudaybiyyah, didapat butir yang merugikan pihak muslim. Di mana disebutkan jika ada orang Mekkah yang datang dan ikut kelompok Muhammad di Madinah tanpa seizin walinya, maka hendaknya dikembalikan ke Mekkah. Tapi sebaliknya jika ada orang Islam yang datang ke Mekkah untuk ikut kelompok Quraish Mekkah, maka dia tidak dikembalikan ke Madinah.

Butir ini merugikan umat Islam sehingga sahabat Rasul bersikeras menolaknya kalau bukan karena perintah Rasulullah untuk menerimanya.

Demi perdamaian terkadang satu kelompok dirugikan untuk sementara waktu tapi tidak untuk jangka panjang. Rasulullah memiliki prediksi yang tidak diketahui para sahabat. Dalam konflik politik satu kelompok kadang mengalah demi tujuan yang lebih tinggi.

Dalam hubungan lintas kelompok, kepemimpinan Rasulullah banyak mengedepankan kepentingan bersama. Seperti yang nampak dalam peristiwa pengembalian Hajar Aswad ke tempat semula setelah Ka’bah diterjang banjir dan hancur hingga Hajar Aswad lepas dari tempatnya.

Dalam al-Rahiq al-Makhtum, al-Mubarakfury menyebutkan bahwa Rasulullah yang terpilih mengembalikan  Hajar Aswad pada tempatnya, setelah mereka berebut untuknya, sang nabi tidak begitu saja melakukannya. Untuk itu dia meletakkan surban di tanah dan meletakkan Hajar Aswad di tengah. Lalu mengajak beberapa pimpinan suku untuk memegang ujung surban dan bersama-sama mengangkatnya dan baru Rasulullah mengembalikan sang batu hitam dari surga itu ke tempat asal. Dengan cara itu semua kelompok menjadi terpuaskan.

Apa yang dicontohkan Rasulullah tersebut, yang terjadi sebelum beliau menjadi nabi, menunjukan bahwa pelibatan semua unsur masyarakat (asas representasi) adalah utama dalam kehidupan bersama. Pelibatan itu akan memberikan legitimasi bagi keputusan bersama dan memperkuat eksistensi lembaga sebagai wadah milik bersama.

Apa yang dilakukan Rasulullah juga menunjukkan bahwa seremoni atau ritualitas adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan bermasyarakat. Ia adalah simbol kebersamaan  yang mampu menyatukan semua anggota.

Dua keputusan tadi adalah hasil dari olah fikir atau ijtihad Rasulullah yang didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan bersama.  Pertimbangan kondisional, pengetahuan yang mendalam dan  wawasan yang luas adalah modal dasar dalam lahirnya ide yang berkualitas atau ijtihad sosial-politik.

Pemimpin Indonesia, terutama para Founding Fathers, telah menerapkan apa yang disebut dengan the Common Word itu. Kecerdasan mereka dan wawasan luas yang mereka miliki menjadikan mereka mampu sampai pada konsensus-konsensus meski itu tidak mudah dan berliku.

Ridwan Saidi dalam posting Macan Idealis, mengatakan bahwa konsensus tidak mudah dicapai justru karena kapasitas intelektual yang tinggi (dibandingkan politisi zaman sekarang). Kapasitas itu membuat mereka tidak mudah mengalah karena kuatnya argumen yang masing-masing kelompok miliki.

Kepemimpinan yang kuat saat itu dan kemampuan menemukan diksi yang bisa diterima oleh semua seperti yang tercantum dalam Pancasila adalah kunci sukses dalam mencapai konsensus lintas  elemen yang berbeda. Sebuah prestasi yang luar biasa yang mampu dicapai dalam mendirikan negara dengan populasi  terbesar keempat di dunia yang bertahan hingga kini. Semangat persatuan dan kemampuan  menciptakan the Common Word adalah modal utama yang mengantarkan ke sana.

*Achmad Murtafi Haris adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry