Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. FOTO/Humas Kemendikbud

Kondisi Nadiem hari ini sama persis dengan kondisi siswa Indonesia yang distempel dunia sebagai functional illiterrate. Diangkat jadi menteri pendidikan tapi tak paham kegiatan belajar mengajar.

Oleh Habe Arifin

DUTA | SEJAK diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,  saya menaruh harapan di pundak anak muda pencipta Gojek ini. Logikanya sederhana saja.  Dalam aplikasi Gojek,  kita mudah menentukan titik penjemputan dan titik tujuan.  Driver Gojek tinggal bilang, “Sesuai aplikasi ya.“

Presiden Jokowi mungkin punya anggapan yang sama.  Menteri Nadiem dianggap sangat memahami di titik mana pendidikan Indonesia saat ini dan akan dibawa ke mana.

Rupanya, kita semua salah berekspektasi.  Selama sepuluh bulan,  sebagai “driver” di dunia pendidikan,  kita dibawa muter-muter tak tentu arahnya.  Nadiem benar-benar bagai seorang driver yang tidak tahu jalan,  tak memahami lalu lintas bahkan tak mengerti rambu-rambu.

Kondisi Nadiem hari ini sama persis dengan kondisi siswa Indonesia yang distempel dunia sebagai functional illiterrate. Ibaratnya bisa bikin aplikasi Gojek tapi tak bisa mengendari motor.  Diangkat jadi menteri pendidikan tapi tak paham kegiatan belajar mengajar.

Makanya,  jangan heran jika sebagai menteri,  Nadiem diduga menjiplak saja program milik perusahaan bernama Merdeka Belajar.  Program Organisasi Penggerak (POP)  pun juga hasil daur ulang Pesta Pendidikan atau Komunitas Organisasi Pendidikan. Lagi-lagi, program itu masih ada relasi dengan perusahaan pemilik hak paten Merdeka Belajar.

Dampaknya sangat tragis.  Nadiem sampai hari ini tidak tahu mau dibawa ke mana pendidikan dan kebudayaan kita.  Ketika sistem persekolahan di era pandemi lumpuh total, Nadiem nyaris tak punya solusi.  Pendidikan jarak jauh yang jauh-jauh hari ditetapkan payung hukumnya oleh Menteri  M. Nuh cuma dilihat sebagai kertas.  Bukan produk beleid kekuasaan.

Inkompetensi di bidang pendidikan ternyata diperberat dengan tuna keteladanan.  Prof. Dr. Yudian Wahyudi mengkritik keras cara adab “selengekan” Nadiem ketika menghadiri perhelatan di UI.  Seabrek masalah keadaban dan keteladanan ini terus bermunculan sehingga menggerus simpati.

Keangkuhannya sudah ditunjukkan sejak awal dilantik.  Sebagai orang muda yang ahli IT,  Nadiem sesumbar  ke media sebagai menteri yang paling memahami masa depan.  Faktanya terbukti Nadiem loyo menghadapi lumpuhnya pendidikan dan cuma pengekor dalam menerapkan kebijakan. Inovasi yang dijanjikan cuma sekadar bualan di warung kopi.

Keangkuhan itu ibarat badai yang kini menuai skandal ratusan miliar. Kalimat Nadiem sumir ketika membela dana gajah untuk Tanoto dan Sampoerna Foundation.  Ibarat kata pepatah, esok dele sore tempe, ucapan Nadiem seperti kaleng biskuit isinya rangginang.

Segunung problematik pendidikan akhirnya menuai kesimpulan.  Sang “driver” inkompeten mengemudikan kapal besar pendidikan yang sedang bergerak melaju di samudera luas.  Saatnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membutuhkan nahkoda baru untuk menjaga kapal agar tidak karam.

Muhammadiyah, NU dan PGRI sudah berteriak dan mengambil sikap: mundur.  Menurut saya, tiga organisasi besar ini sudah mengirim  sinyal tegas agar Nadiem mengakhiri egoismenya sebagai “driver” di dunia pendidikan.

Atas nama penyelamatan dunia pendidikan dan kebudayaan nasional,  mundurlah Nadiem. Kapal besar pendidikan di Indonesia terlalu mahal untuk dikaramkan akibat sang pemilik masa depan ternyata cuma: pengekor.

Belva Devara sudah mundur dari Stafsus.  Ia kembali ke pekerjaan lamanya.  Ada baiknya Nadiem juga mengikuti jejaknya. *

Penulis adalah pegiat pendidikan.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry