Oleh Husain Latuconsina, S.Pi.,M.Si

SETIAP tanggal 2 Februari diperingati sebagai “Hari Lahan Basah Sedunia”, tanggal ini merupakan hari bersejarah untuk memperingati ditandatanganinya Konvensi Lahan Basah yang terkenal dengan “Konvensi Ramsar” tepatnya pada 2 Februari 1971 di Kota Ramsar, pantai Laut Kaspia – Iran. Peringatan Hari Lahan Basah Dedunia ini diharapkan menjadi momentum untuk menarik perhatian masyarakat dunia terkait pentingya peranana lahan basah sebagai salah satu penyangga kehidupan di muka bumi.

Lahan basah (wetland) merujuk kepada wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, yang dapat bersifat permanen ataupun sementara (musiman). Sebagian atau seluruh areal lahan basah kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Contohnya adalah hutan mangrove, lahan gambut, rawa-rawa, sungai, danau, delta, daerah dataran banjir, dan terumbu karang. Salah satu contoh lahan basah di Indonesia yang memiliki peranan penting sebagai penyangga kehidupan di kawasan pesisir, namun mengalami keterancaman akibat aktivitas antropogenik adalah hutan mangrove.

Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi beberapa spesies pohon mangrove, yang mampu hidup dan berkembang di daerah pasang surut dan pantai berlumpur. Berdasarkan cirinya, jenis hutan ini banyak ditemukan di perairan pantai, teluk dangkal, dan estuari yang secara umum disebut sebagai kawasan pesisir. Dikarenakan letaknya yang berada di kawasan pesisir, maka hutan mangrove merupakan penyangga ekosistem daratan dan lautan, sekaligus mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan ekologi di kawasan pesisir.

Beragam fungsi hutan mangrove yang sering terabaikan, karen minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat, meliputi: 1) Fungsi Fisik, yaitu: menjaga kestabilan garis pantai dari terjangan gelombang dan mencegah abrasi serta menahan tiupan angin kencang dari laut; merangkap sedimen secara periodik hingga terbentuk lahan baru, dan Kawasan penyangga proses intrusi air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi tawar, 2) Fungsi Kimia hutan mangrove, antara lain: Sebagai penyerap karbondioksida (CO2) dan penghasil oksigen (O2) sehingga berperan dalam mengurangi laju pemanasan global; sebagai pensiklus dan penyuplai nutrien yang diperlukan biota laut, dan sebagai pengelola bahan-bahan limbah hasil pencemaran yang berasal dari aktivitas antropgenik di kawasan pesisir, 3) Fungsi Biologi, di antaranya yaitu: penghasil bahan pelapukan (serasah) sebagai sumber pakan bagi hewan invertebrata, selanjutnya berperan sebagai sumber makanan hewan lainnya dan manusia melalui mekanisme rantai makanan yang kompleks; sebagai kawasan pemijahan, mencari makan, dan pembesaran biota laut, dan kawasan berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lainnya, 4) Fungsi Ekonomi, sebagai sumber mata pencaharian masyarakat yang memanfatkan mangrove secara langsung, maupun memanfatkan biota perairan dan fauna tersetrial yang berasoisi dengan mangrove.

Semua fungsi hutan mangrove inin akan berperan optimal jika kondisi hutan mangrove tetap terjaga dengan baik sehingga mendukung stabilitas ekosistem hutan mangrove, namun sayangnya degradasi hutan mangrove terus meningkat dari tahun ke tahun seiring meningktnya jumlah penduduk dan tingginya aktivitas antropogenik di kawasan pesisir yang merupakan habitat utama vegetasi mangrove.

Hutan mangrove diproyeksikan menjadi andalan program pengurangan emisi karbon di Indonesia. Kendati luasnya hanya 2,5% kawasan hutan tropis Indonesia, namun kerusakan hutan ini berdampak jauh lebih besar ketimbang kerusakan hutan konvensional. Berbagai hasil penelitian menyimpulkan bahwa menghancurkan 1 ha hutan mangrove, akan menghasilkan emisi setara dengan menebang 3–5 ha hutan tropis konvensional di daratan. Hutan mangrove sebagai hutan lahan basah mampu menyimpan 800–1.200 ton CO2/ha, di mana pelepasan emisi CO2 ke udara pada hutan mangrove lebih kecil daripada hutan konvensional di daratan. Selain itu, proses dekomposisi serasah pada hutan mangrove tidak melepaskan emisi karbon ke udara, sedangkan tanaman hutan konvensional di daratan yang mati akan melepaskan 50% karbon ke udara. Berdasarkan fakta ini, maka hutan mangrove di Indonesia dengan luas areal 2,9 juta hektar merupakan tempat serapan karbon tertinggi di dunia, yaitu sebesar 3,14 miliar ton karbon.

Secara alamiah hutan mangrove mampu bertahan (resistensi) dari tekanan akibat peningkatan paras laut akibat dampak pemanasan global. Meskipun demikian, resitensi yang tinggi tidak akan berfungsi dengan optimal jika resiliensinya (daya pulih) rendah akibat pengaruh berbagai tekanan antropogenik, seperti konversi hutan mangrove untuk pemukiman, industri dan untuk lahan budidaya berupa tambak untuk pengembangan komoditas perikanan pantai.

Konversi hutan mangrove untuk berbgai aktivitas di kawasan pesisir ini tentunya akan mengurangi kemampuan hutan mangrove secara signifikan untuk menyerap emisi CO2. Selain mengurangi kemampuan meyerap emsisi CO2, menyusutnya areal hutan mangrove di kawasan pesisir akan berdampak negatif terhadap hilangnya biota yang berasosiasi, dan pada akhirnya merugikan masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap keberadaan hutan mangrove, dan juga menurunkan fungsi fisik hutan mangrove sebagai pencegah abrasi, peredam gelomabng laut dan pencegah intrusi air laut.

Tingginya degradasi hutan mangrove di Indonesia menunjukkan masih minimnya pemahaman masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan mangrove sebagai penyangga kehidupan baik secara fisik, kimia, biologi dan soasial ekonomi. Selain itu, menunjukkan lemahnya peranan pemerintah dalam pengelolaan kawasan pesisir yang membutuhkan keterpaduan berbagai sektror dan stakeholder, serta minimnya penegakkan supremasi hukum bidang lingkungan hidup.

Untuk membantu meningkatkan stabilitas hutan mangrove dalam menghadapi dampak masifnya pembangunan pesisir dan perubahan iklim akibat pemanasan global, maka diperlukan komiten bersama antar stakeholder untuk memprioritaskan konservasi hutan mangrove. Adapun langkah strategis yang dapat diterapkan, yaitu: 1). Pengelolaan ekosistem hutan mangrove dengan pola mina hutan (silvofishery) untuk optimalisasi fungsi ekonomi masyarakat dan fungsi ekologi hutan mangrove, 2). Penentuan jalur hijau dan zona penyangga dengan mengembangkan kawasan lindung pada sempadan sungai dan sempadan pantai, termasuk muara sungai yang cocok bagi vegetasi mangrove untuk mengantisipasi peningkatan paras laut, 3). Restorasi habitat mangrove terdegradasi melalui penanaman mangrove yang sesuai habitatnya untuk mendukung kemampuan stabilitas (resisitensi dan resiliensi) hutan mangrove, 5). Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang manfaat ekologis dan sosial ekonomi hutan mangrove melalui berbagai bentuk pendidikan formal dan non formal yang terstruktur, sistematis dan masif, 6). Pengembangan pemberdayaan masyarakat yang tergantung pada hutan mangrove untuk mengurangi tekanan antropogenik, melalui pengembangan ekowisata berkelanjutan berbasis mangrove, untuk dapat mempertahankan areal hutan mangrove dari konversi lahan untuk peruntukkan lainnya.

Berbagai langkah strategis ini diharapkan mampu mempertahankan stabilitas ekosistem hutan mangrove ditengah masifnya pembangunan pesisir dengan berbagai dampak negatifnya, sekaligus mendukung stabilitas ekosistem hutan mangrove dalam menghadapi ancaman dampak perubahan iklim akibat pemanasan global.

*Penulis adalah Departemen Biologi, Fakultas MIPA Universitas Islam Malang, dan Anggota Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI), dan Masyarakat Biodiversitas Indonesia (MBI)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry