Keterangan foto nu.or.id

SURABAYA | duta.co – Webinar ‘Peran Ulama dan Santri dalam Menjaga Eksistensi NKRI dan Membangun Peradaban Bangsa’ yang digelar Badan Pembinaan Umat (BPU) DPW PKS DKI Jakarta, Ahad, (18/10/2020) malam, menyingkap banyak hal penting – sinergitas antara pendiri NU (KH Hasyim Asy’ari) dan pendiri Muhammadiyah (KH Ahmad Dahlan) –  dalam beragama, berbangsa dan bernegara.

Banyak hal penting yang terlupakan oleh umat Islam Indonesia, termasuk kader NU dan Muhammadiyah. KH Agus Fahmi Amrullah Hadzik (Gus Fahmi), Pengasuh Pesantren Al-Masruriyyah,Tebuireng Jombang yang juga dikenal sebagai Cucu Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, salah satu pembicara Webinar, mengapresiasi acara yang dibesut PKS DKI Jakarta ini.

“Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan adalah Bapak Bangsa, harus menjadi teladan bersama dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Kalau kurang jelas bisa melihat Film ‘Jejak Langkah 2 Ulama’ yang, secara garis besar menceritakan perjalanan hidup 2 ulama besar tersebut, Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan Kiai Haji Ahmad Dahlan,” demikian Gus Fahmi.

Menurut Gus Fahmi, ketokohan Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan telah mendunia. Mbah Hasyim dalam buku seorang sahafi (jusnalis) Libanon bernama Muhammad Asad Syahab bertajuk Al-Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Wadli’u Labnatis Tiqlali Indonesia, disebutnya sebagai Peletak Dasar Kemerdekaan Indonesia.

Bicara Hari Santri, katanya, adalah bicara Resolusi Jihad. Sebuah pertempuran dahsyat yang ‘digawangi’ Mbah Hasyim Asy’ari untuk melawan kembalinya penjajah. Mbah Hasyim sudah terasa, punya firasat, bahwa, begitu Indonesia dinyatakan merdeka, maka, tidak lama lagi penjajah akan kembali merebutnya.

“Dan benar, penjajah kembali lagi. Indonesia kewalahan. Bung Karno lalu minta fatwa kepada beliau. Bagaimana hukumnya membela tanah air, di mana negara Indonesia ini bukan negara agama? Permintaan ini tidak serta merta dijawab,” ujarnya.

“Mbah Hasyim kumpulkan seluruh ulama. Pada tanggal 21 Oktober 1945, terjadilah perdebatan sengit, lalu terbit keputusan fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober. Wajib bagi setiap umat Islam dengan radius kurang lebih 90 km angkat senjata, melawan penjajah. Maka, Bung Tomo pun bersemangat lagi, takbir berkumandang di mana-mana,” tegasnya.

Begitu juga tokoh-tokoh Muhammadiyah. Prof Agus Suradika, MPd. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Provinsi DKI Jakarta menguraikan dengan baik sinergitas perjuangan NU-Muhammadiyah yang diawali dari Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan. Meski masa hidupnya selesih lumayan panjang, tetapi, keduanya memiliki guru yang sama.

Menurut Prof Agus, Kiai Ahmad Dahlan lahir tahun 1868, meninggal 1923, dalam umur 54 tahun. Sedangkan Mbah Hasyim lahir 1871, wafat di Jombang 1947 dalam usia 76 tahun. Karena itu, Mbah Hasyim masih mengikuti masa kemerdekaan, bahkan menjadi penggerak ‘Resolusi Jihad’ yang sangat menentukan keberlangsungan kemerdekaan republik ini. Tanpa ada Resolusi Jihad, tidak ada pertempuran dahsyat 10 November.

Prof Agus mengingatkan publik detik-detik kemerdekaan RI. “Mbah Hasyim sangat disegani. Beliau mengutus putranya yang sangat cerdas, KH Wahid Hasyim. Muhammadiyah mengirim Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo. Mereka termasuk yang membahas Sila Pertama, Ketuhanan. Rumusan Piagam Jakarta. Sampai kemudian ada aspirasi dari kawasan timur, untuk diubah menjadi Ktuhanan Yang Maha Esa. Ini semua tidak bisa lepas dari peran NU-Muhammadiyah,” tegasnya.

Menurut Prof Agus, tujuan NU-Muhammadiyah itu, sama. Hanya methode yang berbeda. Menegakkan Islam di bumi Nusantra. Kalau Muhammadiyah bergerak dalam tindakan, Mbah Hasyim memberikan kajian ayat yang begitu dahsyat. NU memang lahir 1926, tetapi, jauh sebelum itu, secara kultural Mbah Hasyim sangat menentukan arah perjuangan kemerdekaan.

Yang menarik, Prof Agus menyingkap dasar-dasar perjuangan Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan yang merujuk pada Alquran. Kalau NU lebih berdasar pada Surat Ali Imron ayat 103, maka, Muhammadiyah (melanjutkan) Surat Ali Imron Ayat 104.

Ayat 103 artinya:  Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.

Sedangkan ayat 104 artinya: Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.   

Ini sinergitas yang dahsyat. Bagaimana NU begitu kokoh membangun persatuan dan kesatuan bangsa, menjaga NKRI, sementara Muhammadiyah lebih pada tindakan pendidikan, sosial ekonomi, dakwah. “Sampai-sampai Kiai Ahmad Dahlan sempat dijuluki kiai kafir, ini karena beliau membuat sekolah modern, berbasis umum, bahkan sekolah seni musik. Ini keluar dari mainstream,” jelasnya.

Selain tujuan, tantangan NU dan Muhammadiyah juga sama. Baik internal mau pun eksternal. Bahkan cara menghadapinya musuh, antara Mbah Hasyim dan Kiai Dahlan, juga sama. Tidak mau membungkuk kepada penjajah, tetapi juga tidak berkacak pinggang kepadanya.

Tidak heran, kalau kemudian dalam perjalanannya, Muhammadiyah memiliki unit pendidikan yang banyak. Tingkat TK PTQ saja ada 4623, SD/MI ada 2.604. SMP atau MTs ada 1772, SMA, SMK dan MA ada 1143 unit.  Pondok pesantrennya  67 unit. Perguruan Tinggi ada 162. Universitasnya 57 dan 82 Sekolah Tinggi.

“Ini peran penting NU dan Muhammadiyah. Karenanya, kalau ada yang bilang, teroris ada di Pesanten, itu pembelokan sejarah,” tegas Prof Agus.

Tak kalah menarik adalah kajian Dr KH Miftahurrahim Syarkun. Wakil Rektor Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng yang notabene  Penasehat Pusat Kajian KH M Hasyim Asy’ari ini. Ia menyebut hubungan pendiri NU dan Muhammadiyah, itu tidak hanya dalam wilayah keilmuan, tetapi juga genetik nasabiyah.

“Hebatnya lagi, dalam konsep beragama, berbangsa dan bernegara, keduanya sama. Sama-sama merujuk empat madzab. Mbah Hasyim dengan keilmuannya, baik ilmu ushul fikh dan hadits, memiliki wawasan kebangsaan yang jauh ke depan. Sehingga lahir semangat hubbul wathon minal iman, cinta kepada tanah air itu bagian dari iman,” tegas Dr Mif.

Fatwa Resolusi Jihad, tegasnya, lahir karena keilmuan Mbah Hasyim. Beliau tidak segan-segan berfatwa, bahwa, siapa saja lelaki yang berada di radius 86 km wajib perang. Yang gugur dihukumi sahid. “Dan yang membelot, didor. Boleh dibunuh. Ini luar biasa. Tanpa ada Resolusi Jihad, tidak ada yang namanya pertemuan 10 November. Ironisnya, ini tidak tertulis dalam buku sejarah,” terang Dr Mif.

Begitu juga soal ideologi (agama) dalam bernegara, beliau tidak mutlak menerapkan sistem khilafah, walau itu ada ayatnya. Tidak menggunakan sistem imamah, meski juga ada ayatnya. Tidak memakai sistem mulk mesti juga ada ayatnya. Beliau lebih menggunakan pendekatan istimbatul hukmi, bersifat ijtihadi. Kesepakatan dalam bernegara.

“Ini harus dipahami dan diikuti oleh seluruh anak bangsa. Terima kasih, PKS telah menyelenggaran kajian ini. Kalau tidak salah, ini sudah ke sekian kalinya. Semoga webinar seperti ini menguatkan kita dalam berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.

Hadir dalam webinar yang dipandu Gunadi, ST, M, Sekbid BPU DPW PKS DKI Jakarta ini selain Gus Fahmi, Prof Agus, Dr Mif adalah Dr Hidayat Nur Wahid (HNW). (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry