Oleh :  Azalia Purbayanti Sabana, S.H., M.H

PERKEMBAMGAN arus teknologi sudah sepatutnya dimanfaatkan semaksimal  mungkin dalam segala lini kehidupan. Terbukti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki resultan yang sangat besar terhadap peradaban manusia, salah satunya di bidang komunikasi dan informasi. 

Masyarakat madani tidak lagi dapat memenuhi sebagian besar kebutuhannya tanpa campur tangan teknologi. Hal ini membuat masyarakat tidak memilki alternatif lain selain harus mngikuti dan menguasai teknologi yang terus berjalan dengan pesat guna membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. 

Dampak evolusi teknologi telah meresap ke lintas bidang termasuk dunia peradilan. Munculnya peradilan elektronik merupakan inovasi terbaru dalam rangka modernisasi peradilan. Peradilan elektronik ditandai dengan munculnya prosedur e-litigasi dan sistem e-court. 

E-litigasi adalah kelanjutan dari e- court yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018 mengenai Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik (Perma No, 3 Tahun 2018) yang kemudian disempurnakan kembali dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2019 mengenai Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (Perma No. 1 Tahun 2019).

Dewasa ini sistem e-court dan e-litigasi telah memberi banyak kemudahan dalam penyelesaian perkara, baik pidana maupun perdata. keduanya memfasilitasi  pendaftaran perkara secara elektronik (e-filling), penaksiran  panjar biaya secara elektronik, pembayaran panjar biaya secara elektronik (e-payment), pemanggilan secara elektronik (e-summons), pengiriman dokumen persidangan secara elektronik hingga proses persidangan secara elektronik. 

Dengan e-litigasi diharapkan proses peradilan dapat berlangsung lebih cepat dan efektif karena e-litigasi dilaksanakan dengan tujuan menyimplifikasi prosedur yang terkesan rumit, mengintegrasikan hukum acara yang bersifat parsial, dan mengotomatiskan administrasi peradilan yang dahulu bersifat manual. Penggunaan e-litigasi ini mencakup seluruh tahapan proses persidangan termasuk pula proses mediasi. 

Mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dibantu oleh Mediator sebagai pihak ketiga dalam mencapai kesepakatan antar pihak yang berperkara. Mediasi merupakan bagian dari hukum acara yang dapat memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa.

Menyoroti ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg, sebelum memeriksa suatu perkara hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak. Dalam Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan juga menegaskan bahwa mediasi wajib dilakukan oleh para pihak yang berperkara secara perdata di pengadilan yang dilakukan pada hari sidang pertama. 

Hakim pemeriksa perkara yang tidak memerintahkan para pihak untuk mediasi melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan jika sebuah sengketa langsung diperiksa dan diputus tanpa mediasi, maka konsekuensi putusan tersebut batal demi hukum. Segala jenis sengketa perdata wajib menempuh upaya mediasi kecuali terhadap perkara sengketa yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan komisi pengawas persaingan usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen, permohonan pembatalan putusan arbitrase, penyelesaian perselisihan parpol serta sengketa lain yang diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2016.

Dengan adanya perkembangan teknologi saat ini, proses mediasi tidak harus dilakukan secara langsung dengan tatap muka namun bisa dilakukan melalui komunikasi audio visual. Ketentuan Pasal 5 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 2016 menyebutkan bahwa pertemuan mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio visual jarak jauh atau teleconference yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan. 

Mediasi audio visual ini dapat mengadopsi skema sistem Online Dispute Resolution (ODR). Sistem ini meringkas cara kerja mediasi yang biasanya melalui tatap muka secara langsung bertransformasi menjadi pertemuan melalui sambungan video dengan beberapa fitur transfer dokumen secara online. 

Sistem ini dapat menjembatani berbagai kendala seperti kendala geografis jarak dan kendala lintas ruang waktu yang berpengaruh bagi kehadiran para pihak. Sistem ini juga dapat memberikan benefit bagi kedua belah pihak dalam segi penghematan waktu dan biaya. 

Sistem ini telah digunakan berbagai negara maju seperti Singapura dan Hongkong serta telah terbukti menyelesaikan hambatan multi sektoral dalam pelaksanaan mediasi. 

Peradilan Indonesia sebenarnya telah melaksanakan mediasi elektronik di berbagai Pengadilan beberapa tahun terakhir sejak adanya pandemi Covid-19, karena aturan yang mengharuskan untuk mematuhi protokol kesehatan serta jaga jarak, maka sistem pengadilan dilakukan secara e-litigasi termasuk sidang online dan mediasi online.

Mediasi yang awalnya menggunakan sistem tatap muka langsung dalam ruangan, sejak adanya pandemi banyak dilaksanakan menggunakan sistem online. Namun, secara yuridis belum ada landasan hukum yang mengatur secara khusus mengenai prosedur mediasi di pengadilan secara elektronik ini. Adapun Perma No. 1 Tahun 2016 belum menjelaskan secara rinci mengenai mediasi di pengadilan secara elektronik.

Untuk menjawab ketentuan tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan payung hukum mediasi elektronik melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik (Perma No. 3 Tahun 2022) guna mengatur pelaksanaan mediasi elektronik secara spesifik lagi mulai dari proses kesepakatan para pihak, pemilihan mediator, pengisian administrasi dokumen elektronik, pemilihan ruang virtual elektronik, tanda tangan elektronik sampai penyampaian hasil mediasi elektronik. 

Dalam Perma No. 3 Tahun 2022 ini, mediasi elektronik dilakukan dalam ruang virtual berbasis aplikasi secara daring seperti aplikasi zoom, skype, google meet, atau Microsoft team serta media center lainnya. 

Mediasi elektronik didasarkan pada prinsip sukarela, rahasia, efektif, aman, dan akses terjangkau. Prinsip sukarela berarti harus berdasarkan kehendak kedua belah pihak, Jika para pihak menghendaki, maka hakim pemeriksa akan menyerahkan formulir persetujuan mediasi untuk ditandatangani, jika kedua belah pihak atau salah satu pihak tidak menghendaki, maka mediasi akan tetap dilakukan secara manual, namun hakim pemeriksa perkara tetap memberikan penjelasan dan mendorong para pihak untuk melakukan mediasi secara elektronik. 

Prinsip rahasia mewajibkan mediator dan para pihak yang terlibat untuk merahasiakan proses dan hasil mediasi termasuk penyimpanan dokumen elektronik yang terkait dengan mediasi. Prinsip efektif mengutamakan optimalisasi teknologi yang mendukung mediasi. Prinsip aman menjamin keutuhan, ketersediaan, serta keaslian dokumen informasi yang mendukung mediasi. Sedangkan prinsip terjangkau berarti memudahkan para pihak yang berpekara dalam menghadapi kendala ruang, waktu serta biaya dalam pelaksanaan mediasi. 

Secara filosofis, digitalisasi mediasi ini selaras dengan asas yang tertuang dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan sehingga perlu dilakukan pembaruan administrasi dan persidangan guna mengatasi kendala dan hambatan dalam proses penyelenggaraan peradilan. Dengan diaturnya mediasi elektronik, maka para pihak pencari keadilan semakin dimudahkan dalam proses berperkara di pengadilan melalui pemanfaatan teknologi berbasis digital.

Akhirnya Perma No. 3 Tahun 2022 ini merupakan pengejawantahan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan yang harus dilaksanakan oleh setiap badan peradilan. Tentunya, pelaksanaan beleids ini sangat berimplikasi pada proses penanganan perkara di pengadilan jika dapat diimplementasikan secara maksimal oleh setiap badan peradilan yang bernaung di bawah Mahkamah Agung. 

Hadirnya peradilan elektronik termasuk sistem mediasi elektronik yang sudah terintegrasi ini merupakan upaya Mahkamah Agung untuk mewujudkan visinya yaitu menciptakan peradilan yang agung, modern dan unggul baik secara sumber daya manusia, sistem, maupun sarana dan prasarana dalam rangka memberikan pelayanan hukum terbaik bagi masyarakat pencari keadilan.

*Penulis adalah CPNS Analis Perkara Peradilan Pengadilan Agama Jember

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry