Oleh :  Junaedi SE,MM

SALAH satu media online di Surabaya pada pemberitaannya  (1/12/22) mengungkapkan bahwa Presiden mengkritik para kepala daerah yang belum optimal membelanjakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjelang akhir tahun. 

Berdasarkan data yang dipegang Kepala Negara, APBD yang terparkir di bank masih sangat banyak, mencapai Rp278 triliun. Kalau dibandingkan dengan periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, jumlah APBD yang tersimpan di bank sekitar Rp220 triliun.

Pertanyaannya mengapa terdapat dana yang sangat besar parkir di bank sebesar Rp278 triliun atau mencapai 10,24%  dari total belanja APBN secara nasional.  Untuk Case di Propinsi Jawa Timur Penulis akan mengulas hal tersebut berdasarkan Laporan Asset-Liability Committee (ALCO) Regional Jawa Timur untuk realisasi APBN sampai dengan 31 Oktober 2022 yang di rilis oleh Perwakilan Kemenkeu Regional Jawa Timur tanggal 29 November 2022.

Fakta Realisasi APBN dan APBD Regional Jatim

Realisasi Pendapatan Negara mencapai Rp204,88 trilyun  atau 85,41%   dari target sebesar Rp239,89 trilyun atau tumbuh 20,98%   dibandingkan periode yg sama TAYL (y-o-y) sedangkan Realisasi Belanja Negara mencapai Rp101,32 trilyun   atau sebesar 83,16%, lebih tinggi Rp371,44 miliar atau tumbuh sebesar 0,37 % (y-o-y). 

Dengan demikian terdapat Surplus Anggaran Regional Jatim mencapai  Rp103,56 triliun   tumbuh sebesar 51,40% (y-o-y), hal ini menunjukkan signifikansi kontribusi perekonomian Jatim terhadap perekonomian Nasional dan akselerasi pemulihan perekonomian Jawa Timur. 

Salah satu realisasi belanja negara tersebut berupa  Realisasi belanja Transfer Ke Daerah (TKD) mencapai  Rp68,07 trilyun   atau sebesar 90,13%  atau tumbuh sebesar 3,18% (y-o-y).

Komponen Realisasi Belanja TKD sebesar Rp68,07 triliun tersebut sebagai realisasi APBN Regional akan dimasukkan dalam APBD Konsolidasian seluruh Pemda se-Jatim (39 Pemda termasuk Pemprov) sebagai salah satu sumber Pendapatan Daerah sebagai Pos Pendapatan Transfer (dana TKD), di samping itu juga terdapat juga Pos Pendapatan Asli daerah (PAD) yang berhasil di himpun sebesar Rp32,20 trilyun dan Pos Pendapatan Lainnya sebesar Rp1,15 triliun. 

Dengan demikian total Pendapatan Daerah Konsolidasian sampai dengan 31 Oktober yang berhasil dihimpun sebesar Rp101,42 triliun 87,03% dari target pendapatan daerah sebesar Rp116,53 triliun dan secara nominal tumbuh 2,04% (y-o-y).  

Pendapatan Daerah tersebut digunakan untuk mendanai Belanja Daerah,  yang sampai dengan 31 Oktober penyerapannya  mencapai Rp77,25 triyun atau 60,18% dari Pagu Belanja sebesar Rp128,37 triliun dan tumbuh 0,15% (y-o-y).  Total Pendapatan daerah di kurangi Belanja Daerah mencapai Rp24,17 triliun atau terjadi surplus anggaran daerah. 

Dalam postur APBD terdapat pos  Pembiayaan Daerah yang realisasinya mencapai Rp8,03 triliun. Dengan demikian sampai dengan 31 Oktober 2022 pada APBD Konsolidasian se Jawa Timur terdapat SILPA sebesar Rp32,19 triliun (penjumlahan surplus anggaran dengan Pembiayaan daerah). SILPA sebesar Rp32,19 triliun inilah yang diindikasikan oleh Presiden RI sebagai  APBD yang terparkir di bank.

Mengapa SILPA Menumpuk di Akhir Tahun.

APBD meliputi tiga komponen utama yaitu pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Komponen Pendapatan Daerah terdiri dari pos Pendapatan Asli Daerah (PAD), pos Dana Perimbangan atau yang sekarang dikenal sebagai Dana Transfer Ke Daerah (Dana TKD), dan pos Lain Lain Pendapatan Daerah yang Sah.  

Komponen Belanja Daerah merupakan perwujudan pemerintah daerah dalam mengeluarkan uangnya untuk pelayanan publik. Terdapat empat pos utama di dalam belanja daerah yaitu pos Belanja Pegawai, pos Belanja Barang dan Jasa, pos Belanja Modal, dan pos Belanja lainnya dan terakhir Komponen Pembiayaan Daerah, meliputi semua penerimaan pembiayaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran pembiayaan yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang berjalan maupun pada tahun anggaran berikutnya. 

Selisih antara Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah bisa berupa Surplus/Defisit anggaran. Surplus jika Pendapatan Daerah lebih besar dari Belanja Daerah, sebaliknya Defisit  jika Pendapatan daerah lebih kecil dari Belanja Daerah. 

Defisit APBD akan dibiayai dengan Pembiayaan Daerah berupa Pembiayaan netto yang berasal dari penerimaan pembiayaan dikurangi dengan pengeluaran pembiayaan atau SILPA (dengan huruf I besar/capital) adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan, yaitu selisih antara surplus/defisit anggaran dengan pembiayaan netto. Dalam penyusunan APBD angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol. Artinya bahwa penerimaan pembiayaan harus dapat menutup defisit anggaran yang terjadi. 

Penerimaan Pembiayaan berasal dari pertama, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya atau SiLPA (dengan huruf i kecil). Kedua, Pencairan Dana Cadangan. Ketuga, Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Keempat, Penerimaan Pinjaman Daerah. Kelima, Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman Daerah, dan  keenam, Penerimaan Pembiayaan Lainnya Sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. 

Sedangkan Pengeluaran Pembiayaan berupa, pertama, Pembentukan Dana Cadangan. Kedua, Penyertaan Modal Daerah. Ketiga, Pembayaran Cicilan Pokok Utang yang Jatuh Tempo. Keempat, Pemberian Pinjaman Daerah,  dan kelima, Pengeluaran Pembiayaan Lainnya Sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Khusus untuk di Jawa Timur, diawal tahun Postur APBD 2022 dari 39 Pemda didesain dengan defisit anggaran dengan jumlah agregat sebesar Rp11,84 triliun yang ditutup  Pembiayaan Daerah yang berasal dari Penerimaan Pembiayaan sebesar Rp12,44 trilyun dan pengeluaran pembiayaan (-) sebesar Rp0,59 triliun.  Ternyata sumber penerimaan pembiayaan terbesar berasal dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya atau SiLPA (i huruf kecil) yaitu sebesar Rp11,14 triliun atau 89,05%. 

Realisasi sampai dengan APBD akhir Oktober 2022 hampir semua pemda APBD-nya mengalami surplus,  kecuali 4 Kab/kota yang mengalami defisit yaitu Kab.Jember, Kab. Ponorogo, Kota Malang dan Kota Mojokerto. 

Hal ini mengindikasikan  uang yang telah disalurkan oleh Pemerintah ke rekening Kas Daerah sebesar Rp68,07 triliun   atau sebesar 90,13%  dari pagu dana TKD belum secara optimal dimanfaatkan untuk memenuhi kewajiban daerah dalam memberikan pelayanan public ataupun melaksanakan program pembangunan di daerah, karena penyerapan belanja daerah sampai dengan oktober masih rendah baru mencapai 60,18% (lebih rendah dari penyaluran dana TKD, 90,13%).

Sementara dari sisi pendapatan daerah, tingkat ketergantungan pemda kepada Pusat dalam menghimpun pendapatannya masih cukup tinggi, karena realisasi pendapatan daerahnya sebagian berasal dari penyaluran  dana TKD sebesar Rp68,07 triliun atau kontribusi Pusat cukup tinggi sebesar 67,12% dari total pendapatan daerah. Percepatan pemerintah dalam menyalurkan dana TKD ke rekening Kas Daerah seharusnya diikuti oleh percepatan penyerapan belanja APBD agar program-program pembangunan di daerah dapat segera dinikmati oleh masyarakat Jawa Timur.  

Sebagai contoh, salah satu dana TKD yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik yang pagunya sebesar Rp4,08 triliun, sampai dengan Oktober telah di transfer ke rekening Kas Daerah sebesar 62,61% atau senilai Rp2,55 triliun. Namun pencairan dana DAK Fisik  dari rekening Kas Daerah (RKUD)  ke rekening penerima manfaat (rekanan) baru mencapai Rp1.29 triliun atau 50,39%. 

Hal ini berpotensi  berdampak menumpuknya tagihan kegiatan masyarakat ke Pemerintah Daerah yang harus dicairkan di akhir tahun dan  berpotensi akan menjadi  SiLPA (i kecil) yang pada akhirnya menumpuk menjadi SILPA tahun berjalan dan dijadikan sebagai salah satu  sumber penerimaan pembiayaan pada Rancangan APBD tahun berikutnya yaitu SiLPA (i kecil).

Satu hal lagi terkait Pembiayaan Daerah, minimnya inovasi Pembiayaan Daerah (94,02% bersumber dari SILPA) karena komponen penerimaan pembiayaan yang di anggarkan pada APBD  awal tahun masih mengandalkan pada penerimaan SiLPA tahun lalu, belum menggali potensi penerimaan dari Penerimaan Pembiayaan Lainnya dan belum adanya inovasi pengeluaran Pembiayaan Lainnya Sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.  

Kondisi di atas mengakibatkan Pemda di Jatim menumpuk SILPA dengan alasan penyediaan kas untuk kebutuhan Belanja Daerah (rata-rata Pemda Jatim mempunyai SILPA setara dengan 3 bulan Belanja Daerah).

Pada akhirnya kritik yang disampaikan oleh Presiden kepada  para kepala daerah tentang belum optimal membelanjakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjelang akhir tahun menjadi hal yang nyata jika melihat kasus yang terjadi di Jawa Timur. 

Untuk itu disarankan agar pemerintah daerah, pertama, Mendorong optimalisasi potensi PAD guna meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Kedua, Mempercepat penyerapan Belanja Daerah agar segera dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Dan ketiga, Optimalisasi penggunaan SILPA dengan menciptakan inovasi instrument pembiayaan dengan memanfaatkan pos-pos penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dengan menciptakan regulasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misal pembiayaan pembangunan infrastruktur melalui pengeluaran pembiayaan yang tidak mengakibatkan dampak inflatoir.

*Penulis adalah Kepala Bagian Umum, Kanwil DJPb Provinsi Jawa Timur

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry