Dari kiri ke kanan: Drs Arukat Djaswadi, KH Abdullah Muchit, Drs Choirul Anam.

SURABAYA | duta.co – Drs Arukat Djaswadi, salah satu pendiri GERAK (Gerakan Anti Komunis), notabene Ketua Center for Indonesian Community Studies (CICS) menyoal niat pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, tertanggal 26 Agustus 2022.

“Jangan-jangan ini kamuflase belaka. Mengapa baru sekarang membentuk Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Bukankah sama dengan membuka luka lama? Atau jangan-jangan ujungnya minta maaf kepada PKI?” tanya Drs Arukat Djaswadi dalam sebuah diskusi terbatas ‘Keppres 17 Tahun 2022’ di Astranawa, Kompleks Museum NU, Surabaya, Rabu (05/10/2022) malam.

Menurut Pak Arukat, demikian ia akrab dipanggil, terbitnya Keppres 17 Tahun 2022 itu patut kita waspadai. Jangan sampai ini menjadi pintu masuk kebangkitan PKI. “Karena selama ini, keluarga PKI sudah mendapat SKKPH (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM). Komnas HAM harus membuka dulu file SKKPH itu ke publik. Sementara, kita tahu, korban kebiadaban PKI tidak pernah mendapat apa-apa. Dengan Keppres 17 Tahun 2022, maka, SKKPH itu menjadi legal. Ini yang kita soal,” tegasnya.

Duit Rakyat

Nah, soal SKKPH yang, selama ini ‘tertutup’, belakangan mulai terang. Komnas HAM kabarnya akan meluaskan layanan SKKPH. Tujuannya, agar para korban pelanggaran HAM berat bisa mendapatkan layanan psikososial dan medis dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga negara lainnya.

Pernyataan ‘perluasan SKKPKH’ itu disampaikan Komisioner Komnas HAM terkait posisi lembaganya atas Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu. Dalam hal ini, Komnas HAM terus mendorong agar kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan secara yudisial.

“Komnas akan meluaskan surat keterangan korban pelanggaran HAM sehingga banyak korban mendapatkan layanan psikososial dan bantuan medis dari LPSK atau dari negara,” kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara dalam diskusi virtual, Kamis (22/9/2022) kemarin seperti warta suara.com.

Nah, data inilah yang ditunggu Pak Arukat. Sudah berapa duit negara keluar untuk keluarga PKI? Berapa orang yang mendapat SKKPH? “Yang saya dengar, SKKPH ini terbit melalui Komnas HAM (lembaga tinggi negara), yang mengajukan orang PKI secara pribadi-pribadi. Surat ini kemudian mereka bawa ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), akhirnya mereka mendapat perlindungan,” jelasnya.

Berapa orang PKI yang sudah mendapatkan SKKPH? “Saya pernah mendengar pengakuan Bedjo Untung (ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/YPKP 65), sudah 3.000-an,” tegasnya suatu ketika.

Untuk itu, lanjutnya, Gerakan Anti Komunis akan mengajukan data korban kebiadaban PKI. “Kita sekarang membentuk tim khusus untuk mendata korban kebiadaban PKI. Selain itu, kita minta Komnas HAM untuk membuka SKKPH yang sudah ia terbitkan. Untuk siapa dan berapa jumlahnya?,” pungkasnya.

Sementara, H Tjetjep Mohammad Yasien yang didaulat para sesepuh untuk memimpin tim kecil, menegaskan, bahwa Keppres 17 Tahun 2022 lebih layak untuk kita tolak. Mengapa? “Pertama, ada indikasi arahnnya menguntungkan PKI. Kedua, rekonsiliasi sudah berjalan secara alami. Apa mau kita buka kembali? Ketiga, buka dulu SKKPH terbitan Komnas HAM untuk keluarga PKI, berapa jumlahnya?. Keempat, kita semua tahu, pemerintah dalam kondisi sulit duit, untuk apa sibuk memberi santunan segala?,” tanya Gus Yasien, panggilan akrabnya.

Sementara, Sudjoko Sahid, Sekretaris Tim Kecil juga mendesak agar pemerintah, Komnas HAM transparan soal SKKPH. Dan kalau itu benar, maka, duit rakyat itu harus mereka kembalikan. “Terus terang, kami kaget. Kok ada SKKPH segala? Sementara kita umat Islam tidak pernah mendapat apa-apa, ini benar-benar kelewatan,” kata Sudjoko kepada duta.co. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry