Banser yang tak pernah mengutamakan publikasi. (FT/IST)

Oleh: Mokhammad Kaiyis*

Judul ‘Ser Banser’ itu telah dipakai KH Ubaidillah — Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah — ketika menjelaskan betapa aksi Banser sering disalahpahami. Kalimat berikutnya, ‘Selain Warga NU Dimohon untuk Tidak Membaca’ harapannya sama, bagaimana aksi Banser itu tidak disalahpahami.

Sama dengan Kiai Ubaid, saya juga sering bersentuhan dengan Banser. Bedanya kalau Kiai Ubaid dikawal dan dijaga, sementara saya justru harus ‘disingkirkan’ oleh Banser. Tidak terhitung sudah berapa kali ‘awak’ ini disikut Banser, terutama ketika berusaha mendekati tokoh-tokoh penting seperti Gus Dur, Kiai Sahal, dll.

Dalam benak saya, andai saja Mbah Hasyim masih ‘gesang’, tidak mungkin lepas dari penjagaan Banser, saya tidak yakin bisa ‘nyegat’ wawancara beliau.

Itulah Banser! Pengabdiannya kepada kiai tanpa reserve, dia tidak terima kalau kiai terganggu. Sampai-sampai orang mau cium tangan saja, dilarang. Meski akhirnya — dalam guyonan Habib Umar — dia sendiri yang berebut jabat tangan.

Guyonan KH Hasyim Muzadi lain lagi, Banser yang berada di ring satu, nasibnya tak pernah nomor satu. Mereka hanya mampu membeli rokok eceran, sudah begitu dalam acara-acara pengajian sering jatah konsomsinya paling akhir. Kalau snack dan makanan sudah cukup dibagi untuk para tamu dan jamaah, baru konsumsi itu ‘menyentuh’ Banser. Kalau tidak, ya harus ikhlas makan seadanya.

Pengorbanannya kepada negara, jangan ditanya. Semangat jihadnya mengikuti semangat kiai. NKRI harga mati. Ketika kiai mengumandangkan Resolusi Jihad, Banser berada di barisan terdepan melawan penjajah. Ketika kiai melawan PKI, lagi-lagi Banser berada di depan.

Jasanya begitu besar, meski setelah lahir Orde Baru, nasibnya makin memprihatinkan, karena terus tergencet sekuat-kuatnya oleh kekuasaan. Kendati begitu,  Banser tak melawan dan mengeluh, mereka tetap berkhidmah pada negara. Karenanya, wajar, ketika ada orang menuduh NU mendukung Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), kepala Banser mendidih duluan.

Mengapa Menjaga Gereja?

KH Ubaidillah membuat diskripsi menarik. Bayangkan, malam mengamankan acara, pagi harus bekerja cari nafkah. Mereka juga tukang panggul, kerjanya buruh tani, buruh pabrik, guru (kebanyakan) swasta, kuli batu. Demi khidmah pada guru dan kiai mereka rela berpayah-payahan. Mungkin di rumah hanya tersedia beberapa liter beras saja, tetapi itu tak menghalangi dia untuk mengabdi kepada kiai.

Ketika NKRI terancam, mereka tak mau bertumpang dagu, pura-pura dungu. Nahi munkar dilakukan, meski harus mencegah provokator kerukunan umat yang berkoar-koar di masjid. Mereka tidak tega ulamanya diperolok dan dijelek-jelekkan sebagai ahli bidah. Mereka tidak rela Pancasila hasil konsensus nasional dilecehkan. Kalau sudah begini, bukan hanya rokok dua gelintir sebagai taruhan, tapi nyawa yang mereka pertaruhkan.

Ironisnya, belakangan viral meme yang melecehkan Banser. Kalimatnya sangat provokatif. Mereka tidak mau tahu, mengapa Banser harus hadir di gereja? Mengapa pula Banser harus membubarkan provokator di dalam masjid meski berkedok pengajian?

Aksi Banser mengawal kegiatan natalan di Gereja ini merupakan aksi toleransi, untuk menunjukkan mata dunia bahwa Islam adalah agama yang ramah dan menghargai perbedaan. Bukan agama radikal sebagaimana yang sering dilontarkan tokoh-tokoh dunia seperti Donald Trump.

Aksi tersebut digelar beberapa tahun belakangan, untuk menyikapi maraknya teror bom yang hampir setiap tahun terjadi di Gereja-gereja saat natalan. Ironisnya, hampir semua pelakunya mengatasnamakan Islam, menjadikan kata jihad sebagai tameng. Dengan demikian, teror yang mereka lakukan atas nama Islam, sama halnya dengan merusak Islam itu sendiri. Demi nama baik Islam, Banser harus turun untuk melawan.

Demi Islam yang ramah seorang Banser bernama Riyanto harus gugur. Ia mati syahid saat mengamankan bom di Gereja Eben Haezer, Mojokerto. Bom itu meledak dipelukannya ketika ia sedang melarikan bom ke tempat jauh dari gereja yang saat itu sedang ramai orang. Sampai detik ini baju kebesaran Banser yang dipakai Riyanto masih tersimpan baik di Museum NU, Surabaya. Kisah Riyanto sendiri diangkat ke layar lebar dan diperankan oleh aktor ternama, Reza Rahardian.

Kini, Banser NU sering dituduh oleh saudara-saudara kita yang awam, sebagai penjaga gereja dan penjual aqidah. Bahkan tidak jarang kita temui statement atau meme yang begitu sinis terhadap Banser. Ada meme yang diunggah Yan Budiman isinya miris sekali, ‘FPI Perangi Miras, Narkoba, Judi, Seks Bebas, Bantu Bencana, Banser tolong jelaskan apa tugasnya?

Banser tidak perlu menjawab meme ini. Masyarakat telah menjadi saksi, bagaimana pengabdianmu kepada umat. Barangkali masyarakat Aceh tak pernah bisa melupakan bagaimana Banser berjibaku membangun kembali rumah-rumah penduduk yang hancur lebur disapu tsunami. Korban longsor di berbagai daerah, tak mungkin bisa melupakan tetesan air matamu,  saat engkau sibuk mengevakuasi korban bencana.

Memang, kelemahanmu, tidak biasa pamer. Tidak biasa menyebar foto ke media, apalagi sibuk menyiapkan dokumentasi untuk dibagi-bagi agar ditonton publik. Kalau pun ada foto, biasanya cukup masuk album yang setiap saat dilihat sebagai kenangan. Target pengabdian Banser adalah ridho Allah swt. Karena tanpa ridhoNya apa yang dikerjakan sia-sia. Banser tak boleh berharap pujian manusia, tetapi juga tidak ciut nyali ketika dicaci maki. Banser harus mengikuti jejak orangtua, Nahdlatul Ulama (NU) yang tak pernah pamrih dalam menjaga dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Geregetan Sama NU

Karena tak suka pamer, maka, kegiatan Banser maupun NU tidak butuh dramatisasi. Ini kadang membuat nahdliyin ‘geregetan’. Apalagi kalau dibandingkan dengan aksi-aksi bela Islam yang gegap gempita. Berikut catatan menarik Mbah Raden Zastrouw ketika gregetan sama NU.

Saya kok lama-lama gregetan sama NU, masak bikin event sebesar itu (Istighotsah dihadiri massa ratusan ribu atau bahkan jutaan jamaah) kok ya adem-adem saja, tanpa ada kontroversi, perdebatan atau hiruk pikuk yang memenuhi media. Kok ya tidak cari tempat di jalan raya supaya bisa memancing kegaduhan yang heroik.

Mbok ya sebelum menggelar acara sebesar itu tokoh-tokoh NU woro-woro dulu di depan media massa atau bikin status atau meme yang garang dan heroik kemudian disebar di medsos dengan bumbu-bumbu agitasi dan sedikit fitnah agar masyarakat heboh.

Kemudian aparat keamanan sibuk mempersiapkan diri untuk antisipasi keadaan dengan koordinasi serius siang dan malam hingga perlu mengeluarkan anggaran pengamanan milayaran rupiah yang mestinya bisa untuk kebutuhan yang lebih maslahah bagi rakyat. Lebih hebat lagi kalau pelayanan publik bisa terganggu karena sibuk negosiasi dan persiapan pengamanan aksi.

Atau para tokoh-tokoh NU itu bikin agitasi yang provokatif agar semua orang resah, takut dan khawatir terjadi ini itu. Dengan demikian maka para tokoh-tokoh ini akan diajak negosiasi dan kompromi oleh berbagai kelompok kepentingan. Bisa tidur di hotel bintang lima dengan para kolega. Setelah itu mereka akan jadi tokoh hebat di depan publik, jadi pahlawan yang dianggap bisa mengendalikan massa, karena mampu memberikan jaminan dengan menyatakan aksi super duper damai,  kemudian jadi tokoh figur hebat di media massa.

Saya geregetan pada NU, kenapa mereka tidak menggunakan momentum sedahsyat itu untuk mencaci maki orang-orang yang selama ini menghina dan mencibir NU, melecehkan kiai NU dan memfitnah orang-orang yang jadi panutan massa NU. Mengapa para tokoh NU itu tidak menghasut ummatnya agar membenci orang-orang yang tidak sepaham dengan NU atau menghujat pemerintah yang dianggap merugikan ummat Islam dengan mengutip ayat-ayat  suci, padahal beliau-beliau kan faham ayat-ayat dan kitab suci, kenapa  tidak digunakan biar terkesan heroik dan islamik?

Kenapa elit-elit NU itu tidak mau mendramatisir dan mengeksploitir semangat warga NU yang militan itu dengan membuat cerita-cerita  tentang perjuangan mereka mendatangi acara seperti kisah seorang janda yang menjual ayamnya yang mau ngendog untuk sangu berangkat ke istighotsah, kenapa?

Atau cerita tentang seorang bocah yang harus dipaksa berpisah dengan radio kesayangannya karena harus digadaikan untuk ongkos berangkat istighotsah. Atau cerita dramatik lain yang mengharu biru dan bisa menyedot emosi kemudian diupload di medsos.

Kemudian membuat mistifikasi angka-angka keramat seperti 007, 999 atau 909 dsb. Saya yakin banyak kader NU yang punya kemampuan mendramatisir cerita seperti itu. Tapi kenapa itu tidak dilakukan padahal cerita seperti sangat efektif mempengaruhi opini publik di medsos, bahkan bisa jadi bahan komodoti.

Aku makin gregetan ketika di tempat itu tidak terdengar pekik takbir yang bisa membakar semangat  perlawanan dan kibaran bendera asing yang bisa mengancam kedaulatan NKRI, malah di sana ummat diajak menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan gegap gempita dan semangat yang menyala…. wahh jiiiaaannn malah bikin hati makin cinta Indonesia.

Kini aku jadi berpikir, siapa sebenarnya yang benar-benar ikhlas membela NKRI? Menjaga keberagaman dan merajut perbedaan? Siapa yang benar-benar menerapkan dan mengamalkan ajaran dan ayat-ayat suci secara tepat dan istiqamah di negeri ini? Mereka yang tidak banyak berteriak sambil mengutip ayat dan mengobral simbol agama tapi kelakuannya mencerminkan akhlak agama? Atau mereka yang teriak-teriak  pakai ayat dan bertaburan simbol agama tapi ucapan dan kelakuannya jauh dari akhlak agama?

Meski gregetan tapi hati merasa tentram karena jangkar dan benteng NKRI itu ternyata masih tegak dan kokoh berdiri meski terus digerogoti. Semoga keikhlasan seperti ini tidak dimanfaatkan para pecundang dan petualang. Amin. (Dari Berbagai Sumber)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry