Oleh Ahmad Ubaidillah

 

SEBAGAI bentuk respons atas perkembangan ekonomi Syariah di Indonesia, baru-baru ini DPD LDII Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan mengadakan “Kajian Ilmu Ekonomi Syariah” yang diikuti 310 peserta terdiri pelaku usaha, unsur pendidik dan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi. Antara lain PKN-STAN, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Universitas MH. Thamrin dan lainnya. Kajian tersebut menampilkan dua tokoh cendekiawan muslim, KH. Kasmudi Assidiqie S.E., M.Ak selaku ketua Majelis Taujih Wal Irsyad juga selaku Pemimpin Pondok Pesantren Minhajurrosyidin Gresik-Jawa Timur, dan Dr. H. Ardhito Binadi S.E., M.Si selaku Wakil Sekretaris Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kedua narasumber memberikan pemaparan ilmiah mengenai bagaimana menjalankan ekonomi syariah sesuai petunjuk Al Quran dan Al Hadist berikut dan kesesuaiannya dengan ekonomi moderen. KH Kasmudi Assidiqie S.E., M.Ak menerangkan beberapa hal seperti model transaksi yang dianjurkan dan yang tidak dianjurkan (halal & haram), akad simpanan (bank deposit) dan akad pembiayaan ( financing ). Sementara Dr. H. Ardito Bhinadi. M.Si menyatakan, “Islam punya solusi sesuai aturan agama, jual beli dengan akad Murabahah, bagi hasil dengan Mudharobah. Tinggal kita saja bagaimana mau usaha tidak mencari yang benar. ” (Duta Masyarakat, 18-4-2017)

Tetapi sayang sekali, menurut pengamatan saya, para pegiat ekonomi syariah, terutama di Indonesia, hampir tidak menaruh perhatian pada persoalan ekonomi bangsa. Mereka seakan-akan tidak menyadari bahwa tanah air yang mereka tempati, pelan tapi pasti, sedang dikuasai oleh bangsa-bangsa asing. Pembicaraan para eksponen ekonomi Syariah masih berkutat pada akad-akad yang ada di lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah.

Barangkali sudah seharusnya para pegiat ekonomi Syariah melihat dan merespons sebagaimana yang dikabarkan media massa akhir-akhir ini bahwa Pusat Kajian Maritim Untuk Kemanusiaan mencatat sebanyak 11 pulau kecil di sejumlah kepulauan di Tanah Air telah dikelola swasta asing. Nilai investasi yang ditanamkan tidak sedikit, yaitu mencapai Rp 11,046 triliun. Direktur Pusat Kajian Maritim Untuk Kemanusiaan Abdul Halim menjelaskan, sebelas pulau kecil itu tersebar di Kepulauan Riau (Riau), Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat), dan Kabupaten Pandeglang (Banten).

Masih menurut Halim, kebijakan ini berjalan lantaran terdapat dasar hukum yang memayungi. Bentuknya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di dalam UU ini, Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki otoritas penuh mendelegasikan kewenangannya kepada investor asing.

Di sini kita melihat bahwa kewajiban pemerintah melakukan model pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal secara swadaya dengan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat tidak ditunaikan. Padahal, masyarakat, khususnya masyarakat perikanan tradisional, menyadari bahwa kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan adil. Terlebih mereka mendapati betapa besarnya manfaat sumber daya laut bagi kehidupannya.

Pertanyaa-pertanyaan yang bisa kita ajukan adalah: Apakah pihak-pihak yang menggembar-gemborkan ekonomi Syariah di Indonesia mempertahankan sumber daya ekonomi yang kini sedang dijajah oleh orang-orang asing tersebut? Jawabannnya adalah tidak. Apakah para eksponen ekonomi Syariah di negeri ini malah asyik mengembangkan teori-teori akad untuk lembaga keuangan syariah? Jawabannya adalah iya. Di sinilah kita menyaksikkan senjakala ekonomi Syariah terjadi. Ekonomi Syariah tidak punya daya dobrak dan daya lawan atas ketidakadilan ekonomi di nusantara ini.

Senjakala ekonomi Syariah semakin terlihat ketika ekonom-ekonom Islam mempertahankan pemahaman ahistoris, bukan historis. Selama ini pemahaman kita mengenai kisah-kisah yang ditulis dalam Al-Quran cenderung sangat bersifat ahistoris, padahal maksud Al-Quran menceritakan kisah-kisah itu adalah justru menyuruh kita berpikir historis. Kita ambil contoh misalnya tentang bangsa Israel yang tertindas pada zaman Firaun yang sering kita pahami pada konteks zaman itu. Kita tidak pernah berpikir bahwa apa yang disebut kaum tertindas itu sebenarnya ada di sepanjang zaman dan ada pada setiap sistem sosial.

Pada zaman feodalisme, kapitalisme, dan sosialisme, selalu terdapat apa yang disebut kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Oleh karena itu, sesunggunya kita harus menjelaskan siapakah golongan-golongan yang berapa pada posisi tertindas itu dalam sejarah, termasuk pada saat sekarang, yaitu pada sistem sosial ekonomi yang memungkinkan terjadinya penguasaan sumber-sumber ekonomi di tangan segelintir elite. Tamsil lainnya misalnya adalah bahwa di dalam sebuah ayat kita diperintahkan untuk “membebaskan mereka yang terbelunggu”. Dengan cara berpikir historis, kita akan dapat mengindetifikasi siapakah yang dimaksud sebagai golongan “yang terbelenggu” itu di dalam sistem ekonomi sekarang ini.

 

Ekonomi Islam yang Membebaskan

Dalam hal ini, saya sangat setuju dengan pandangan Asghar Ali Engineer, intelektual asal India dalam tulisannya berjudul Islamic Economics: Progressive Perspective dalam Jomo K.S (ed) “Islamic Economics Alternatives: Critical Perspectives and New Directions”, yang memahami konsep riba dengan tepat sekali sebagaimana yang dilarang oleh Al-Quram. Menurut Engineer, konsep riba sangatlah penting, tetapi kurang dipahami secara baik. Riba bukan sekadar tidak menerapkan bunga dalam perbankan yang kemudian menggantinya denga sistem profit and loss sharing. Pelarangan riba yang merupakan ruh ekonomi Islam harus dipahami sebagai tindakan ekspolitatif, dan bukan semata-mata tingkat bunga tetap. Tujuan hakiki pelarangan riba dalam ekonomi Islam tidak bisa diwujudkan tanpa menghapus eksploitasi dalam segala bentuknya.

Yang saya tekankan dalam tulisan ini sebenarnya adalah ekonomi Syariah itu ekonomi pembebasan. Segala bentuk tindakan ekonomi, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, harus menjadi target pembebasan para pendukung ekonomi Syariah. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Pemerintah yang tidak menguntungkan rakyat harus menjadi perhatian utama para eksponen ekonomi Syariah. Kalau ini tidak mampu kita jalankan, saya lonceng kematian ekonomi Syariah benar-benar terjadi.

 

Penulis adalah dosen Ekonomi Syariah pada Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Lamongan (UNISLA), Jawa Timur.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry