Dr Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

PEKAN ini sangat gamang bagi Cak Mispon.  Dulur lanang ini selalu mengawal saya keliling wilayah barat Jawa Timur. Memasuki Gresik dan menyapa Lamongan, menuang rasa di Tuban dan memutarkan pandangan ke Bojonegoro maupun Cepu. Perbatasan Ngawi sekaligus menggiring seringai di Nganjuk dengan dialog alam di Jombang, Mojokerto. Hutan-hutan kawasan Perhutani terjambak pepohonannya, meranggas daun dan rantingnya, kering lahannya dan tampak gundul di mana-mana. Cak Mispon dan saya yang dikancani Cak Paijo semakin tersedak dalam gelisah atas lahan hutan seperti itu. Kawasannya semakin compang-camping ditambah dengan gerakan nasional yang terstruktur berupa perhutanan sosial yang terkesan sekadar bagi-bagi lahan. Fungsi kawasan hutan terabaikan dengan senyatanya. Begitu diskusi simplistik Cak Mispon.

Tetapi rasa gembira tetap ada dan senyum dapat mengembang karena bertemu juga para rimbawan yang istiqamah menjaga hutannya. Calon-calon rimbawan dan anak-anak yang rela bergumul dalam bumi Tuhan ini berkomitmen ngramut hutan sebagai pusaka kehidupan. Itu adalah titik balik bahwa harapan tetap harus ada. SMK Kehutanan hadir menyemaikan senyum oksigen yang menyehatkan. Semua membawa terawang akan realitas bahwa kita, ya kita, tetap memiliki generasi yang siap sedia merawat hutan dengan ketulusan sempurna.

SMK Kehutanan yang menggelayut di pondok-pondok pesantren di Jawa Timur tengah memancarkan gairah kehijauan untuk esok waktu. Mereka, anak-anak itu tidak sibuk dengan urusan tampil keren di perkotaan yang juga dipantau dengan sabar melalui media tentang hiruk pikuk percovidan. Mereka percaya pemerintah berkerja keras mengatasi pandemi Covid-19 dan mereka, anak-anak itu memenuhi pula tugasnya untuk tetap merawat hutan yang berada dalam binaan komunitasnya.

Dalam situasi demikian, ternyata sepanjang perjalanan tampak gambar-gambar calon kepala daerah (Kada) yang mengemis suara untuk dipilih. Dalam tarikan nafas sejatinya urusan hutan juga ada kaitannya dengan politik kehutanan dan itu termasuk dalam genggam sinergis yang harus dibangun antara Perhutani dan para calon Kada se-Jawa Timur. Maka Pilkada merupakan media politik untuk menyeleksi calon Kada yang berwawasan lingkungan. Ini adalah keniscayaan.

Maka nanti ajang pemaparan visi-misi kandidat yang dihelat KPU pastilah akan memasukkan isu lingkungan menjadi materi “panggung publik” itu. Dalam batas ini, jangan sampai  keriuhan permasalahan politik global menenggelamkan semangat ekologis  yang telah berkembang di masyarakat. Pelaksanaan penilaian Kota Adipura yang selama ini telah dilakukan merupakan bukti bahwa kepala daerah harus memiliki garis gerak go green secara praktis.  Komitmen untuk menjadi Cakada bervisi-misi ekologis  sejatinya sambung dengan pergerakan  lingkungan internasional yang telah disorongkan sejak 5 Juni 1972 dalam  United Nations Conference on The Human Environment, di Stockholm, Swedia.

Masyarakat  global memang selalu menggelorakan kesadaran kolektif mengenai kondisi lingkungan.  Untuk itulah para kontestan Pilkada 9 Desember 2020  harus ditempatkan dalam koridor pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menyodorkan tiga pilar keseimbangan: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pilkada   mutlak menjadi pintu gerbang meneguhkan green spirit untuk dirumuskan sebagai arus utama kebijakan menata wilayah. Banjir dan lonsor  yang mewarnai bumi Nusantara selama ini adalah realitas yang harus direspons serius, apalagi oleh petarung di Pilkada.

Fakta terhelatnya kerusakan ekosistem hutan, meluasnya lahan kritis, terjadinya konversi kawasan konservasi, meluasnya pencemaran sungai, meningkatnya permukaan air laut, dan semua tabiat menyimpangi tata ruang  dengan tampilan yang liar, vulgar, bahkan brutal, sesungguhnya sudah cukup untuk menyatakan bahwa dampak buruk krisis ekologis ini membutuhkan solusi tanpa henti.

Secara ekologis, tahapan Pilkada 2020 harus belajar pada Pilkada-Pilkada sebelumnya. Saksikanlah bagaimana pertandingan demokrasi dilangsungkan selama ini. Lorong-lorong publik dijejali dengan janji-janji yang terkesan angkuh dan egois dengan tanda gambar yang dicetak tidak prolingkungan.  Kita mesti paham bahwa gambar yang terbuat dari plastik sangat membahayakan keberlanjutan lingkungan. Plastik itu hanya dapat didaur oleh alam  dalam rentang waktu 100-120 tahun. Plastik tanda gambar Pilkada 2018  baru terurai sekitar tahun 2140.   Waktu seabad lebih tentu bukan saat yang singkat. Berapa miliar ton sampah plastik yang harus ditimbun di rahim Ibu Pertiwi akibat Pilkada yang abai terhadap kepentingan lingkungan?

Untuk itulah, momen hari ini harus digunakan  merakit penyelenggaraan Pilkada dalam semangat go-green. Episode Pilkada yang berbasis lingkungan merupakan episentrum kebijakan dalam setiap lini kehidupan politik. Pilkada mutlak menjadi ajang pengembangan   green policy penyelamatan sumber daya alam nasional, dari perompakan kekayaan alam yang dibungkus melalui tradisi “selingkuh penguasa-pengusaha”. Pengerukan kekayaan tambang di daerah bersentuhan dan melibatkan korporasi transnasional yang acapkali jauh dari makna Pasal 33 UUD 1945. Kita mesti memiliki pakta integritas ekologia dari yang paling sederhana secara personal bahwa peserta Pilkada memiliki kemauan untuk berbuat ramah lingkungan. Publik harus dapat mengukur secara simplistik tentang kecerdasaan ekologis calon pemimpinnya.

Terhadap pelaksanaan Pilkada ini ada sesuatu yang mengkhawatirkan secara ekologis berupa limbah alat peraga kampanye yang berjajar-jajar.  Kontestan yang tidak ramah lingkungan  dapat mengguncang tatanan ekologis Indonesia.  Menggelorakan ecological intelligence dalam Pilkada sesungguhnya didasari oleh suatu realitas historis bahwa sumber daya alam telah menjadi korban aksiomatik pembangunannya sendiri. Kemajuan yang dinisbatkan dalam terminologi “pembangunan” acapkali menggerus peradaban publik pada tingkat yang mencemaskan.

Itulah yang sebenar-benarnya tragedi berjamaah komunitas dunia yang sedang melanda kehidupan bernegara yang harus diberi penyelesaian melalui kebijakan pemimpin lokal. Kelestarian fungsi alam  tidak boleh terkoyak atas nama “kemajuan” dan “pesta demokrasi”  sebagai bagian derap langkah pembangunan yang abai pada kepentingan lingkungannya. Hal itu tidak akan terjadi di Jatim apabila kita terus bersama dalam gerakan  membangun kota dan desa yang ramah lingkungan.

*Dosen Hukum Lingkungan dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry