“Begitu indah realita kehidupan di atas bumi pertiwi penuh warna, pola pikir dan laku sosial kadang berjalan biasa datar sesuai ritmenya, dan kadang berlompatan.”
Oleh: Dr Rosichin Mansur, SFil, MPd

MENANGIS sedih ditinggal ayahnya, eneteskan air mata, iba berpisah dengan suami, berpisah dengan sang kekasih, atau berpisah dengan orang tercinta karena tak berdaya melawan dengan virus cina, corona.

Corona sendiri cuek, tak peduli akan keluhan, penderitaan dan tangis banyak orang di sudut-sudut negeri. Di sisi lain ada yang menagis sedih karena ide-idenya atau pemikiran-pemikirannya mengalami kekacauan ritme aktualisasi di panggung realita kehidupan.

Gapura kampung ‘peristirahatan terakhir’ terbuka lebar, keranda berkelambu hijau diusung menuju kampung itu. Wajah sedih, dan air mata menetes membasahi pipi menyertai kepulangan orang tercinta.

Orang yang selama ini menjadi tempat berbagi kasih sayang dengan canda tawa, dan cerita kehidupan yang terus bersambung kini telah tiada. Hatinya terasa remuk berkeping-keping, tapi tak lama berselang hatinya kembali utuh karena ada bisikan secercah harapan yang bersarang dalam kalbunya bahwa orang tercinta itu pergi dalam keadaan husnul khotimah, ditempatkan di sisi-Nya dalam damai, dan dilapangkan kuburnya.

Pikiran Manusia Mengalami Perkembangan

Tetes air mata mereka yang ditinggal pergi telah tiada, mengering terusap angin. Suara tangis dari kejauhan sayup terdengar, tangis sang filosof Comte dari dalam pusaranya.

Tangis filosof itu bukan takut corona yang akan merobek paru-parunya, bukan pula sakit TBC yang akan mengambil nyawanya, melainkan tesis filsafatya tentang perkembangan pemikiran manusia berjalan tidak beraturan di panggung kehidupan sosial.

Pandangannya, bahwa pemikiran manusia mengalami perkembangan baik sebagai perorangan maupun umat manusia keseluruhan melalui tiga zaman atau tahap, yakni: zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman positif.

Manusia dalam hidupnya mengarahkan rohnya kepada sebab pertama atau tujuan terakhir segala sesuatu. Demikian pun manusia menaruh kepercayaan atau keyakinan bahwa di belakang fenomena atau kejadian alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak fenomena tersebut, bukan berjalan liar tanpa sang pengatur. Kuasa-kuasa itu dianggapnya memiliki rasio dan kehendak sebagaimana manusia.

Manusia seperti itu sedang berada dalam lingkaran zaman teologis. Anismisme, politeisme dan monoteisme merupakan tahapan pemikiran manusia yang mendiami dalam lingkaran zaman teologis. Animisme menjadi tahap paling primitif, di mana benda-benda atau segala benda memiliki jiwa (roh). Sedang politeisme, manusia percaya tiap kawasan gejala-gejala atau lapangan-lapangan tertentu memiliki dewa-dewanya sendiri.

Sementara monoteisme menjadi tahap tertinggi dalam zaman teologis, tatkala manusia mengganti dewa yang bermacam-macam itu menjadi satu tokoh tertinggi sebagai penguasa segala sesuatu.

Sedangkan zaman yang kedua, zaman metafisis, sebuah zaman yang mewujudkan suatu perubahan dari zaman teologis, di mana kuasa-kuasa adikodrati atau dewa-dewa diganti dengan konsep-konsep abstrak, seperti “kodrat” dan “penyebab”.

Adapun zaman positif, ketika manusia tidak lagi berusaha mencari pengetahuan penyebab-penyebab di belakang fenomena-fenomena, tidak ada gunanya lagi untuk mencapai penetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis atau metafisis.

Zaman tertinggi ini manusia membatasi pada fakta-fakta atas dasar observasi dan rasionya, ia beruasaha menetapkan relasi-relasi persamaan atau urutan yang terdapat pada fakta-fakta.

Perjalanan zaman itu, zaman yang rendah akan hilang digeser oleh zaman yang lebih tinggi, zaman ‘teologis’ hilang digeser zaman ‘metafisis’, dan zaman ‘metafisis’ akan hilang digeser zaman ‘positif’.

Keris yang Terbukus Kain Putih

Tesis Comte di atas ketika dibumikan di panggung realita kehidupan sosial di negeri tercinta Indonesia terasa berbenturan dengan tembok tebal, tak ubahnya benturan pejabat dengan rakyat, benturan antara atasan dengan bawahan dalam pemikiran dan menyikapi corona yang terus menggejala. Tesis itu pun berjalan tanpa langkah beraturan antara tahap teologis, metifisis dan positif.

Hal itu terlihat dalam realita kehidupan meski pemikiran atau pengetahuan orang-orang di atas bumi katulistiwa telah mencapai tahap positif, di mana fakta-fakta dan ilmu penetahuan menjadi dasar rujukan dalam mengambil suatu keputusan atau pun kebijakan, tetapi rumah-rumah ibadah pun sesak dipenuhi para pencari yang Mutlak dengan caranya sendiri, ada yang bersujud dan ada pula cara lainnya.

Demikian pun kadang masih ada bertebaran kembang melati di perempatan jalan, kalau boleh dikata tebaran kembang itu sebuah bentuk toleransi manusia terhadap sesama makhluk, makhluk tak kasat-mata yang berdiam di tempat itu, dengan harapan dia riang gembira dan berada dalam damai dengan sesama makhluk.

Selain itu, ada keris bertuah terbungkus kain putih yang menempel di atas pintu kamar, yang dimandikan dengan kembang di Jumat kliwon sebagai media penolak bala. Rasio, fakta-fakta, dan ilmu pengetahuan menjadi rujukan dalam mengambil suatu keputusan, tetapi kepercayaan kepada Adikodrati pun tetap dipegangnya dan tidak dinafikannya.

Keanekaragam pemikiran dan prilaku sosial di panggung realita kehidupan cukup terasa di satu waktu berpikir logis dan merujuk pada fakta-fakta, ilmu pengetahuan dalam mengambil suatu keputusan atau kebijakan, tetapi di waktu yang lain melakukan sembahyang atau ritual yang kadang dibarengi wewangian dupa dan bunga.

Begitu indah realita kehidupan di atas bumi pertiwi penuh warna, pola pikir dan laku sosial kadang berjalan biasa datar sesuai ritmenya, dan kadang berlompatan. Inilah yang membuat Comte merasa gagal atas tesis perkembangan pemikiran manusia yang mengalami kekacauan ritme aktualisasinya.

Kemunculan zaman metafisis tidak bisa mengubur dalam-dalam zaman teologis, demikian pun zaman positif tidak mampu menghilangkan zaman metafisis. Ketiga zaman itu tetap eksis dan berjalan seiring bersama dalam putaran waktu di bumi Indonesia. Tesisnya mandeg terseok, tak teraktualisasi selaras ide-idenya dipanggung realita kehidupan sosial, inilah yang membuat sang filosof Comte menangis dalam kuburnya. Tangis itu mengingatkan, perjalanan kita di atas bumi mempunyai filsafat dan sejarahnya sendiri.

Dr Rosichin Mansur, SFil, MPd adalah dosen filsafat FAI Universitas Islam Malang.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry