Saksi ahli dari Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya, Dr Krisnadi saat melihat akta notaris YKP dan mempertanyakan kepengurusan YKP yang baru. (FT/MKY)

SURABAYA | duta.co – Kasus perebutan ASTRANAWA oleh DPW PKB Jatim memasuki tahap akhir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. Jumat (3/4/2020), majelis hakim PTUN akan melakukan sidang lokasi, pemeriksaan setempat (PS), di Tanah ASTRANAWA, Jl Gayungsari Timur 33, Surabaya.

Andi Mulya, kuasa hukum Drs Chairul Anam, pemilik ASTRANAWA, yakin, bahwa Sidang PS akan memperjelas betapa hakim PN Surabaya yang mengadili perkara No 86/Pdt/2016/PN Surabaya, telah keliru, khilaf  dalam putusannya.

 “Pertama, akan terbukti secara gamblang, bahwa putusan hakim PN Surabaya itu, khilaf. Karena Surat Persetujuan (SP) Dewan Pengurus YKP, notabene Walikota Surabaya (Sunarto) nomor 024 itu, lokasinya di Kecamatan Rungkut. Sementara obyek yang ‘dicaplok’ ada di Gayungan,” jelas Andi yang juga Direktur LBH ASTRANAWA kepada duta.co.

Kedua, lanjut Andi, SP 024 YKP itu, jelas tidak bisa menjadi landasan hukum kepemilikan. Tidak bisa menjadi ALAS HAK atas tanah. “Majelis hakim PN Surabaya telah keliru menjadikan SP-024 sebagai alas hak atas tanah, apalagi sebagai dasar eksekusi. Di samping lokasi obyeknya salah, seluruh ALAS HAK atas tanah, itu sudah diatur oleh undang-undang,” tegasnya.

Ketiga, lanjutnya, PN Surabaya juga khilaf dalam perkara No 86/Pdt/2016/PN Surabaya, sehingga berani membatalkan akta notaris tanpa mengembalikan hak-hak dari para pihak yang terikat dalam akta tersebut. Padahal dalam akta yang dibuat antara Cak Anam dan YKP, di depan Notaris Tantien itu, jelas, bahwa, tanah itu bukan milik YKP, maka digunakan bahasa pengoperan.

“Cak Anam menyerahkan STHM (miliknya) kepada YKP, dan kemudian YKP memberikan buku angsuran lunas. Ini hanya untuk memenuhi syarat pengurusan sertipikat. Karena seluruh area (tanah) di lokasi itu izin pengeringannya di bawah YKP. Jadi bukan milik YKP,” tegasnya.

Keempat, ujar Andi, adalah posisi kedudukan hukum (legal standing). DPW PKB Jatim jelas tidak memiliki hak berperkara dalam masalah ini. Yang memiliki kedudukan hukum (seluruh partai politik di Indonesia red.) adalah DPP.

“Karena itu, konstruksi hukum gugatan di PTUN sekarang ini adalah Cak Anam mengugat YKP. Lalu datang (intervensi) DPP PKB. Bukan DPW PKB. Mengapa? Karena Majelis Hakim TUN menolak DPW PKB yang berperkara, semua paham bahwa domain partai politik di Indonesia, itu di DPP Jakarta. Kecuali partai lokal, Aceh. Jadi proses hukum di PN Surabaya adalah salah,” tambah Andi.

PN Tak Bisa Intervensi PTUN

Tak kalah menarik adalah tampilnya saksi ahli dari Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya, Dr Krisnadi Nasution, SH, MH dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Emanuel Sujatmoko SH, MS. Keduanya menjelaskan, bahwa, kewenangan hakim PTUN tidak bisa diberangus oleh putusan hakim PN.

Termasuk ketika bukti-bukti putusan PN itu, harus diuji (dijadikan bukti) di PTUN. “Bisa! Adalah kewenangan majelis hakim PTUN untuk menilai, karena setiap meteri (bukti) itu memilik proses. Meski sudah disahkan atau dibatalkan oleh hakim Pengadilan Negeri, tetap saja Hakim TUN memiliki kewenangannya. Serahkan saja ke majelis hakim TUN,” demikian disampaikan saksi ahli, Dr Krisnadi Nasution, SH, MH (saksi ahli yang dihadirkan Cak Anam) dalam keterangannya di sidang PTUN, Kamis (26/3/2020).

Hal yang sama disampaikan Dr Emanuel Sujatmoko (saksi ahli YKP). Ia menegaskan, bahwa, bukti-bukti yang sudah diuji di PN, bukan berarti tidak boleh dihadirkan dalam persidangan PTUN. “Boleh saja, dan itu menjadi kewenangan hakim PTUN untuk menilai,” tegas Emanuel.

Dr Krisnadi sempat dicecar kuasa hukum DPP PKB dan YKP perihal batas waktu alias kedaluwarsa obyek sengketa. Apakah obyek sengketa yang sudah diterbitkan tahun 2000 dan sudah menjadi bukti di Pengadilan Negeri, di mana pihak penggugat sudah tahu, itu masih boleh dijadikan sengketa di PTUN?

Dr Krisnadi kemudian memberikan makna ‘tahu’ menurut undang-undang. Pertama harus dibedakan antara pihak yang dituju dan pihak yang tidak dituju. Kedua, menurut UU, makna ‘tahu’ secara yuridis itu berbeda dengan sekedar tahu, melihat lembaran kertas. Karena itu, UU mencantumkan alasan ‘merugikan’. Kapan dia merasa dirugikan oleh keputusan tersebut.

“Seperti yang kuasa hukum sebutkan, yang katanya terbaru, tetapi saya sendiri belum membacanya (SEMA No 3 tahun 2015 red.) tetap ada kata ‘merugikan’. Dihitung dari kapan dia dirugikan. Saya kira sama dengan SEMA sebelumnya, tahun 1991,” jelas Dr Krisnadi.

Hal yang sama disampaikan Dr Emanuel. Menurut Emanuel SEMA No 3 tahun 2015 itu justru mempertegas SEMA sebelumnya, tahun 1991. “Itu mempertegas sebelumnya,” jelasnya.

Yang mengejutkan dalam sidang kemarin, justru Dr Krisnadi mempertanyakan posisi perubahan terbaru YKP. Sebab, menurutnya, selama ini tidak pernah ada perubahan. Rujukan YKP tetap pada putusan DPRD (Sementara) Juni 1954, di mana Direktur YKP itu, pasti seorang walikota. Begitu juga keputusan Juni 1978.

“Sampai sekarang, ini rujukannya. Jadi, mau tidak mau, seorang walikota itu, harus menjadi direktur YKP. Karena itu saya heran kalau sekarang direkturnya (Ketua Pengurus YKP) Bu Yayuk (Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya, Maria Theresia Ekawati Rahayu red.). Ini bisa dikutip dari saya, kalau mau mempertanyakan soal itu,” jelas Pak Kris, panggilan akrabnya.

Jadi? “Sidang ASTRANAWA di PTUN, ini ibarat ‘pedang bermata dua’. Satu sisi menyingkap dugaan praktek industri hukum — sebagaimana yang sering disebut Menko Polhukam RI, Prof Mahfud MD  —  kedua bisa meluruskan ‘permainan’ asset Pemkot yang dikuasai YKP, yang sekarang berhasil direbut kembali Walikota Surabaya. Cuma yang terakhir ini, bagaimana konstruksinya?” terang Andi.  (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry