“Jangan kotori NU kami dengan intrik-intrik politik, serta arogansi perebutan jabatan di pemerintahan dengan menjual kebesaran nama NU, sungguh nista siapa saja yang telah melakukannya”

Oleh: Luthfi Bashori*

SUATU saat, penulis bertemu seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) di salah satu instansi pemerintah Kodya Malang. Ia bersama beberapa kawan, yang kebetulan ada keperluan sama. Tiba-tiba orang ini spontan mengucapkan salam, mengajak berjabat-tangan, berangkulan layaknya sahabat karib.

Terkaget saya, karena merasa kurang begitu kenal. Belum sempat bertanya, siapa dia, justru lelaki ini spontan memperkenalkan penulis kepada kawan-kawannya.

“Ini namanya Gus Luthfi Bashori. Saya sering membaca tulisan-tulisannya. Saya senang sekali dengan pemikiran Gus Luthfi ini. Karena Gus Luthfi selalu mengajak kita, agar lebih mengenal wajah NU zaman dulu,” katanya.

Selesai? Belum! Katanya, NU zaman dulu itu dipegang para ulama sepuh, pemahaman dan pendapatnya mengikuti ulama salaf Ahlussunnah wal jamaah. “Gus Luthfi ini selalu mengajak kita untuk meneladani perilaku sesepuh NU zaman dulu. Itu yang menjadikan hati ini senang, tenteram dan sangat merindukan kembalinya Ormas NU zaman dulu, asli dan murni…!” tambahnya.

Baik! Penulis dan semua orang yang ada di situ, hanya tersenyum manggut-manggut. Pertanda setuju dengan apa yang ia terangkan. Ini menandakan betapa semakin banyak kalangan nahdliyyin, akar rumput NU yang menyadari, bahwa, apa yang mereka temukan dalam tubuh NU dewasa ini, sudah banyak menyimpang, berubah dari kondisi asli organisasi NU saat didirikan oleh Hadlratus Syeikh KH Hasyim Asyari bersama para ulama sepuh lainnya. Betapa mereka Rindu NU Tempo Doeloe.

Dulu, NU adalah organisasi yang jauh dari intrik-intrik politik. Bukan organisasi yang kental dengan aroma kepartaian sekuler. Organisasi yang jauh dari upaya mencari kucuran dana-dana syubhat yang, tidak jelas halal-haramnya. Bukan organisasi yang haus kucuran dana Syiah-Iran, atau dana Wahhabi Saudi maupun dana yang berasal dari kalangan liberal Barat.

Dulu, NU adalah organisasi yang lebih banyak mengurusi orang yang mengkaji ayat-ayat Alquran, hadits Nabi Muhammad SAW dan ilmu para ulama salaf yang tertera dalam kitab kuning. Bukan organisasi yang konsentrasi mengurusi ayat-ayat konstitusional.

Dulu, NU adalah organisasi yang lebih mengedepankan wawasan keislaman dalam bingkai ketasawwufan dengan penguatan aqidah Ahlussunnah wal jamaah sebagai pijakan beragama bagi seluruh warganya. Bukan organisasi yang sekedar mengutamakan wawasan kebangsaan dan menomerduakan wawasan keislaman itu sendiri.

Dulu, NU adalah organisasi yang menolak kehadiran aliran sesat. Sebagaimana yang diajarkan oleh Almaghfurlah Hadlratus Syeikh KH Hasyim Asyari. Bukan organisasi yang melegalkan sikap toleransi terhadap keberadaan aliran sesat, seperti Wahhabisme, Syiahisme dan Liberalisme dengan mengatasnamakan wawasan kebangsaan atau HAM secara berlebihan.

Dulu, NU adalah organisasi yang aktif melawan upaya kristenisasi bangsa Indonesia yang dilakukan penjajah Belanda dan berani menyatakan perang melawan mereka. Bukan organisasi yang ikut aktif menjaga gereja di saat malam Natal, serta gemar berbasa-basi sibuk mencari dalil untuk mengucapkan selamat Natal kepada kaum kafir itu.

Dulu, NU adalah organisasi yang melanjutkan dakwah Walisongo secara bertahap melakukan islamisasi bangsa Indonesia, yang semula mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut Animisme, Dinamisme, Hindu dan Budha, hingga bisa berubah total menjadi umat Islam yang jumlahnya mayoritas. Bahkan sebagai penghuni wilayah Indonesia yang mengamalkan ajaran Alquran, Hadits serta isi kitab Kuning dengan parameter bahasa Arab, sekalipun dalam memahaminya tetap menggunakan terjemahan bahasa daerah. Bukan organisasi yang sengaja berupaya mengindonesiakan ajaran Islam yang asli, dengan cara semisal publikasi jawaisasi lagu pembacaan Alquran (Alquran langgam ngremo Jawa), akhirnya secara bertahap warga NU menjadi alergi terhadap segala sesuatu yang berbau Arab.

Dulu, NU adalah organisasi yang didirikan Hadlratus Syeikh KH Hasyim Asyari, penulis beberapa kitab agama, semua isinya menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Bukan organisasi yang mengingkari pentingnya arabisasi umat Islam dunia, karena Alquran itu sendiri adalah kitab suci yang diturunkan Allah SWT dengan menggunakan Bahasa Arab.

Bahkan Nabi Muhammad SAW menerangkan, cinta kepada Arab merupakan tanda keimanan dan membencinya merupakan tanda kekufuran. Siapa yang mencintai Arab berarti mencintai Nabi Muhammad SAW, dan barangsiapa yang membenci Arab berarti membenci beliau SAW.

Nabi Muhammad SAW bersabda: Cintailah Arab karena tiga hal (dalam riwayat lain, Jagalah hak-hakku melalui Arab karena tiga hal): Pertama, karena aku orang Arab. Kedua, Alquran berbahasa Arab dan ketiga, pembicaraan ahli surga dengan bahasa Arab.

Mencintai bangsa Arab dan menjaga kelestariannya adalah termasuk cahaya dalam Islam. Kekuatan bangsa Arab adalah kekuatan Islam, dan kelemahan bangsa Arab, adalah kelemahan Islam.

Nabi Muhammad SAW bersabda, `Pertama -tama orang yang mendapat syafaat dari umatku adalah Ahlulbait-ku, kemudian yang paling dekat dari keluargaku, orang yang paling dekat dari kaum Quraisy kemudian kaum Anshar, kemudian orang yang beriman kepadaku dan mengikutiku dari orang-orang Yaman, kemudian seluruh bangsa Arab, kemudian seluruh bangsa Ajam (non Arab), barangsiapa yang mendapatkan syafaatku pertama kali adalah yang paling afdlal`. (HR. Atthabarani).

Arab bukan berarti identik dengan Saudi Arabia. Arab juga bukan berarti identik gerakan Wahhabisme. Menggeneralisir tuduhan dakwah arabisasi di tengah umat Islam dunia sebagai gerakan Wahhabisme, adalah sebuah keserampangan dan kesemberonoan tingkat tinggi yang, tidak mudah dimaafkan. Karena Hadlratus Syeikh KH Hasyim Asyari adalah alumni Makkah Almukarramah Al-Arabiah yang justru menjadi garda terdepan dalam melawan gerakan Wahhabisme di Indonesia.

Dulu, NU adalah organisasi yang mencintai Arab karena Alquran diturunkah di wilayah Arab dengan menggunakan bahasa Arab, kepada Nabi Muhammad SAW yang berbangsa dan yang berbudaya Arab.

Dulu, NU adalah organisasi yang tidak melarang setiap warganya untuk melakukan segala aktifitas yang berbau kedaerahan masing-masing, selagi tidak berseberangan dengan ajaran syariat Islam yang datang dari seorang Nabi yang berbangsa Arab. Sehingga tidak pernah terjadi perdebatan antara tradisi tanah air dengan tradisi Arab, bahkan saling melengkapi. Bukan organisasi yang semakin liberal mengikuti kaum orientalis Barat, yang apriori terhadap produk Arab dan segala macam yang terkait dengannya.

Dulu, NU adalah organisasi yang sangat menghormati otoritas para ulama Salaf, dan menghormati para penuntut ilmu agama yang diajarkan oleh para ulama Salaf lewat kitab-kitab kuning, serta menghormati para penyimak ilmu agama yang baik, dan menghormati orang yang mencintai Ahli Ilmu.

Bukan organisasi yang mengajarkan sikap curiga terhadap mereka yang bersusah payah melestarikan penerapan dan pengamalan syariat di tengah kehidupan umat Islam secara riil, dengan memberi stigma negatif sebagai kelompok purifikasi agama, kaum yang kolot, kaum terbelakang, serta istilah-istilah lainnya yang harus ditentang.

Jangan Kotori dengan Intrik Politik

Salah seorang ulama Salaf mengatakan: “Maha suci Allah, Dia telah memberi jalan keluar bagi kaum muslimin. Yakni: Tidak akan keluar dari ke empat golongan manusia yang dipuji tadi, melainkan golongan yang kelima, alias golongan yang binasa, yaitu seorang yang bukan alim, bukan penuntut ilmu, bukan penyimak yang baik dan bukan pula orang yang mencintai Ahli Ilmu, maka ialah orang yang binasa.”

Sebab, barangsiapa membenci Ahli Ilmu, berarti ia pasti mengharapkan kebinasaan mereka. Barangsiapa yang mengharapkan kebinasaan Ahli Ilmu, berarti ia menyukai padamnya cahaya Allah di atas muka bumi. Sehingga kemaksiatan dan kerusakan merajalela. Kalau sudah begitu keadaannya, dikhawatirkan tidak akan ada amal yang terangkat (diterima). Demikianlah yang dikatakan oleh Imam Sufyan Ats-Tsauri.

Dulu, NU adalah organisasi yang membangun mindset warganya agar sangat menghormati para ulama, dengan keyakinan bahwa menghormati ahi ilmu agama itu termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Musa Al Asy`ari RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala, yaitu memuliakan orang tua yang muslim, orang yang hafal Alquran (ahli ilmu agama) tanpa berlebih-lebihan, atau berlonggar-longgar (menghamba) di dalamnya dan memuliakan penguasa yang adil.”

Nah! Kembalikan NU kami kepada kondisi yang dulu, di mana dengan susah payah dibangun oleh para pendirinya, dengan peneguhan aqidah Ahlussunnah wal jamaah, yang mengikuti fiqih madzhab Syafii, tanpa menafikan tiga madzhab lainnya. Bertauhid sesuai ajaran Imam Asyari- Maturidi, dan bertasawwuf ala Imam Junaid Albaghdadi, Imam Ghazali dan Habib Abdullah Alhaddad, sebagai tasawwuf yang berstandar syariat, bukan bertasawwuf wali-walian (mengaku jadi wali lantas beranggapan dirinya boleh melanggar syariat, seperti meninggalkan shalat).

Jangan kotori NU kami dengan intrik-intrik politik, serta arogansi perebutan jabatan di pemerintahan dengan menjual kebesaran nama NU, sungguh nista siapa saja yang telah melakukannya. Peribahasa menyatakan: Kullu khairin fittibaai man salaf, wa kullu syarrin fibtidaai man khalaf (mayoritas kebaikan itu saat meneladani ajaran para ulama Salaf, dan mayoritas kerusakan itu saat terbawa arus kesesatan orang-orang sekarang). Waallahu’alam. (*)

*KH Luthfi Bashori adalah Pengasuh Pesantren Ribath Al-Murtadla Al-Islami Singosari, Malang.

“Saya tak ingin membenci NU hanya gara-gara ‘nila setitik, rusuk susu sebelanga’. Kalau Anda yang bertanya, Ustad, NU ini siapa yang bisa kita ikuti? Ikuti tiga. Kiai Haji Luthfi Bashori, Kiai Haji Idrus Romli dan Buya Yahya. NU Garis Lurus. Dalam ritual dia ikut madzhab Syafi’i, dalam fikih tetap Syafi’i, dalam akidah al-Asyari, dalam tasawuf Imam Junaid alBaghdad. Tidak terkena virus sekuler dan liberal.”

Ustad Abdul Somad (UAS)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry