Nur Ainiyah, SKep.Ns, MKeS – Dosen S1 Keperawatan, Fakultas Keperawatan dan Kebidanan

PANDEMI Covid-19 memberikan dampak dalam berbagai aspek, salah satunya adalah aspek pendidikan. Pembelajaran semua level pendidikan harus tetap berjalan meskipun terjadi pandemi.

Karena itu proses pembelajaran dilakukan secara online/daring/virtual sebagai salah satu langkah untuk mencegah meningkatnya kasus Covid-19. Hal ini membuat mahasisiwa mempunyai keterbatasan dalam melakukan sesuatu, mahasiswa harus di depan laptop dan hp untuk mengikuti pembelajaran mulai dari pagi sampai dengan larut malam, bukan hanya itu, tapi juga adanya tugas yang diberikan oleh dosen yang harus diselesaikan dengan cepat (biasanya dibatasi jam nya selama 24 jam).

Berbagai tugas yang diberikan oleh dosen menuntut mahasiswa untuk bertahan dalam berbagai kondisi, tugas, tekanan fisik dan psikis selama belajar online sehingga mahasiswa merasa tertekan.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa

Hal ini sesuai dengan penelitian (Livana, Mubin,, & Basthomi, 2020) pada 1.129 peserta didik dari beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan hasil bahwa sumber stress utama peserta didik selama pandemi Covid-19 adalah tugas pembelajaran yang banyak, cara mengajar dosen yang membosankan, tuntutan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang cepat dan banyak dengan waktu yang dibatasi.

Dengan demikian pembelajaran daring dapat mengakibatkan mahasiswa menjadi stress, akan tetapi stress ini tidak hanya terjadi pada mahaisswa saja demikian pula pada anak di sekolah dasar, sekolah menengah pertama ataupun menengah atas. Karena pembelajaran daring juga harus mereka laksanakan.

Karena itu anak anak kita membutuhkan sesuatu yang disebut dengan tahan banting atau resiliensi akademik. Resiliensi akademik merupakan kemampuan individu untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan diri dengan kondisi sulit serta penuh tekanan ataupun mampu kuat lagi dalam bidang akademik.

Menurut Martin dan Marsh menyatakan bahwa resiliensi akademik adalah kemampuan individu secara efektif dalam menghadapi empat keadaan, yaitu kejatuhan (setback), tantangan (challenge), kesulitan (adversity’) dan stress atau tekanan (pressure) dalam konteks akademik.

Setiap individu memiliki resilensi akademik yang berbeda beda, ada yang tinggi, rendah ataupun sedang. Hal ini disebabkan karena pertama faktor individual (seperti kemampuan kognitif, harga diri, intelligensi baik spiritual maupun emosional intellegensi dan kompetensi social, kedua: faktor keluarga yaitu orang terdekat yang mengerti masalah dan kebutuhan kita), ketiga adalah faktor komunitas atau masyarakat.

Karena itu penting bagi anak kita untuk meningkatkan resiliensi akademik, yaitu mengatur emosi agar selalu stabil, dengan memperbanyak relasi hubungan baik dengan orang lain, menerima perubahan meskipun belum bisa berdapatasi secara maksimal.

Juga tidak memandang perubahan sebagai masalah atau memandangnya sebagai sesuatu yang kecil sehingga kita akan selalu bersyukur, mencari tujuan hidup kita, berpikir positif, berani mengambil tindakan serta optimis, percaya diri dan yang terakhir adalah menerima perubahan ini, karena segala sesuatu yang terjadi saat ini pastilah ada hikmahnya.

Kemampuan resiliensi akademik ini dapat kita tanamkan pada anak anak kita, dengan 3 “SAYA” yaitu I am, I have dan I can. I am yang dimaksudkan adalah saya bangga dengan diri sendiri, sehingga anak belajar menerima dirinya, serta selalu bertanggung jawab, I have artinya saya mempunyai orang yang terdekat yang bisa membantu ketika mempunyai masalah, sedangkan I can artinya saya bisa, saya bisa menyelesaikan tugas dengan baik, saya bisa mengatur perasaan, saya bisa berkomunikasi kepada orang lain.

Resiliensi bukanlah sesuatu yang tetap artinya resiliensi masih bisa berubah, karena jika resiliensi meningkat maka prestasi belajar akan meningkat serta bersemangat dalam melakukan kegiatan akademik demi tujuan yang ingin diraih di masa depan. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry