Ir Prihandoyo Kuswanto (kiri) dan Rektor Universitas Dr. Soetomo Surabaya, Dr Siti Marwiyah, SH (kanan/ft/portalpapua)

SURABAYA | duta.co — Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila, Ir Prihandoyo Kuswanto mengaku kaget, mencermati sambutan Rektor Universitas Dr. Soetomo Surabaya, Dr Siti Marwiyah, SH, MH saat membuka diskusi soal ambang batas 20 persen, perolehan suara Pemilu Legislatif 2019 sebagai dasar syarat pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilu 2024.

“Ambang batas 20% atau parliamentary threshold (PT 20%) itu jelas melanggar konstitusi. Kalau itu dibutuhkan, maka, angka PT 20% harus masuk dalam UUD 1945 hasil amandeman. Lagi pula, kalau sistem itu dipakai, seharusnya pemilihan legislatif (Pileg) terlebih dulu. Bukan Pileg lima tahun lalu yang jadi dasar. Ini jelas catat hukum, karena Pileg 5 tahun lalu sudah domisioner,” jelas Pak Pri, panggilan akrabnya kepada duta.co, Sabtu (16/7/22).

Seperti diberitakan fikomunitomo.com, bahwa, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo Surabaya bekerja sama dengan Nusakom Pratama Institute menggelar diskusi dengan tajuk ‘Kriteria Capres, Siapa Sosok yang Dianggap Cerdas dan Visioner?” yang diselenggarakan di RM Soemantri, Gedung Rektorat Unitomo.

Rektor Universitas Dr Soetomo Surabaya, Dr Siti Marwiyah, SH, MH dalam sambutan pembuka diskusi menyoroti ambang batas 20 persen perolehan suara Pemilu Legislatif 2019 sebagai dasar syarat pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden.

Menurut Siti, sebagai eksekutif presiden membutuhkan ‘kerjasama’ dengan legislatif sehingga pemerintahan bisa berjalan dengan baik hingga masa jabatan berakhir. “Syarat 20 persen itu perlu! Presiden yang tidak didukung oleh legislatif sangat berpotensi lengser di tengah jalan seperti yang menimpa Gus Dur. MPR bisa menurunkan presiden jika dianggap kinerjanya tidak baik,” papar pakar hukum tata negara itu.

Pun Drs Machmud Suhermono, MIKom, MIP. selaku narasumber pertama membeber fakta regulasi terkait pemilu serentak 2024. Termasuk syarat-syarat dan ketentuan pencalonan presiden dan wakil presiden.

Ketua Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu) PWI Jawa Timur itu menyebut hanya PDI Perjuangan yang bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden tanpa berkoalisi dengan partai politik lain karena mengumpulkan lebih dari 22 persen suara pada Pemilu 2019 lalu.

“Selain PDI Perjuangan, parpol-parpol harus berkoalisi untuk mengusung Capres-Cawapres 2024. Tidak ada yang mendapat suara di atas 20 persen selain PDI Perjuangan,” terangnya.

Inilah, yang menurut Ir Prihandoyo Kuswanto, pemahaman sesat serta keliru. Bagaimana PT 20% bisa dikaitkan dengan kebutuhan presiden terhadap dukungan legislatif? “Persepsi, bahwa dengan PT 20%, maka, presiden akan mendapat dukungan (kerjasama) dengan DPR RI, itu keliru besar. Kalau demi dukungan DPR RI mengapa tidak sekalian 50% plus 1. Lebih keliru lagi, PT 20% itu diambil dari hasil Pileg 5 tahun lalu, di mana mereka sudah domisioner,” tegasnya.

Masih menurut Pak Pri, asdalah aneh jika ada insan kampus yang tidak merasakan adanya pembelokan arah demokrasi. “Demokrasi di negeri ini sudah belok ke demokrasi liberal, bukan demokrasi yang benar. Sebab demokrasi dioplos dengan amplop, sembako, intimidasi, serangan fajar, kaos, dll,” tegasnya.

Insan kampus, tambahnya, harus cermat, bahwa, sekarang ini terjadi (secara massif) blantik-blantik demokrasi liberal. Mereka terus melakukan rekayasa, mulai dari mendatangkan konsultan politik diramu dengan jajak pendapat.

“Yang lebih canggih menggunakan media darling, kecurangan sudah menjadi bagian dari strategi merampok kedaulatan rakyat. Lalu ada buzzer yang siap mengadu domba, fitnah. Walhasil dibuat segala kebencian untuk memecah belah rakyat. Ini yang ditebar buzzer terhadap rakyat. Ini fakta, insan kampus harus membaca fakta tersebut,” terangnya.

Lalu, tegasnya, untuk melanggengkan kejahatan (mencengkeram kedaulatan rakyat), maka —  dalam ranah aturan — dibuatlah semacam regulasi, calon presiden harus memenuhi syarat ambang batas. Padahal, tidak ada yang mengatur tentang ambang batas, apalagi sampai membatasi parliamentary threshold 20 persen.

“Undang-Undang Dasar 1945 pasal 6 A ayat 2, hanya mengatakan presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Di sini sudah sangat jelas tidak perlu tafsir lagi, pasal itu sudah sangat jelas tidak ada perintah ambang batas 20%,” tambahnya.

Ironisnya, tambah Pak Pri, pemasungan kedaulatan rakyat ini sudah berada di meja Mahkamah Konstitusi (MK). “Sudah 30 lebih gugatan terhadap parliamentary threshold 20% diajukan ke MK, tetapi, semua dipatahkan oleh MK. Artinya pemberangusan kedalutaan rakyat itu, sudah terstruktur, massif dan sistemik. Sampai-sampai insan kampus saja tidak mampu membaca adanya pelanggaran konstitusi itu,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry