Oleh Fajar Kurnianto

 

Sejak tanggal 29 Maret 2017, umat Islam memasuki bulan Rajab 1438 H. Salah satu bulan dalam kalender hijriyah yang disebut Allah dalam Alquran dan Nabi dalam sejumlah hadis sebagai bulan haram. Dalam Alquran disebutkan, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS At-Taubah [9]: 36)

Ibnu Rajab dalam kitab Latha’iful Ma’arif menjelaskan, Allah mengatakan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga bulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam kalender Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.

Menurut sejumlah ulama, yang dimaksud “empat bulan haram” adalah bulan-bulan yang tergolong haram atau suci. Empat bulan tersebut yaitu Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab. Pandangan ini didasarkan pada hadis Nabi, beliau mengatakan, “Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut, yaitu Zulqa’dah, Zulhijjah dan Muharram. Satu bulan lagi adalah Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadil Akhir dan Sya’ban.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Rajab disebut bulan haram, menurut Al-Qadhi Abu Ya’la dalam kitab Zadul Masir, karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Arab jahiliyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amal ketaatan atau amal kebaikan.

Di antara bentuk amal ketaatan itu adalah berpuasa sunah. Nabi mengatakan, “Puasalah pada bulan-bulan haram.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Dalam hadis lain dikatakan, “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan haram.” (HR Muslim). Pada hadis lain lagi dikatakan, “Barang siapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun. Barang siapa berpuasa tujuh hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka Jahanam. Barang siapa berpuasa delapan hari dibukakan untuknya delapan pintu surga. Barang siapa berpuasa sepuluh hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya.” (HR Ath-Thabrani)

Imam An-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim mengatakan, sudah amat jelas dan sahih riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram itu. Karena itu, selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu pun argumentasi untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab.

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memaparkan bahwa sunahnya berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama. Hari-hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini, Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori bulan-bulan utama di samping Zulhijjah, Muharram dan Sya’ban. Rajab juga terkategori bulan haram di samping Zulqa’dah, Zulhijjah dan Muharram.

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” Bahkan, Ibnu Umar, Al-Hasan Al-Bashri dan Abu Ishaq As-Sya’bi melakukan puasa pada seluruh bulan haram, bukan hanya bulan Rajab atau salah satu dari bulan haram lainnya.

Sebagaimana amal ketaatan di bulan Rajab nilainya begitu besar, nilai dosa juga besar bagi orang yang melakukan maksiat atau perbuatan buruk. Ibnu Abbas mengatakan, Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amal saleh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.

Dengan demikian, pada bulan Rajab sejatinya umat Islam didorong untuk banyak melakukan kebaikan apa pun, tidak hanya dalam ibadah tetapi juga dalam bermuamalah atau berinteraksi sosial. Umat Islam dimotivasi untuk meningkatkan hubungan dengan Allah (dimensi spiritual) dan hubungan dengan sesama (dimensi sosial). Umat Islam, seperti dikatakan pada ayat Alquran di atas, dilarang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap pihak lain. Umat Islam harus banyak bersabar atau menahan diri dari hal-hal buruk. Karena itu, mereka dianjurkan untuk berpuasa karena hakikat puasa adalah menahan diri dari perbuatan buruk, baik pada ucapan maupun perbuatan.

Bulan Rajab menjadi penting, terutama bagi umat Islam, untuk mengintrospeksi diri sejauh mana tingkat kesalehan individual dan sosialnya. Karena rupanya masih banyak juga umat Islam yang begitu mudah marah dan terprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasan, baik verbal maupun nonverbal, di dunia maya maupun nyata. Dengan datangnya bulan Rajab, umat muslim ditekankan untuk lebih bijaksana menyikapi situasi yang mungkin tidak disukainya. Perbedaan akan selalu ada, dan di bulan Rajab ini perbedaan mesti lebih dipahami, dihargai, dan dihormati.

Terciptanya kehidupan yang rukun dengan sesama, jauh dari kebencian, kemarahan, kedengkian, kekerasan dan sejenisnya, adalah pesan sejati dari datangnya bulan haram seperti Rajab. Pada zaman jahiliyah, bahkan orang-orang Arab yang terbiasa berperang pun mengerti bahwa pada bulan Rajab segala peperangan, permusuhan, pertikaian, pertengkaran, gontok-gontokan, dan sejenisnya harus dihentikan dan semua pihak mesti berdamai. Ajaran Islam jauh lebih maju lagi, tidak hanya di bulan haram semua itu tidak dilakukan, tetapi juga pada bulan-bulan yang lainnya. Damai di mana pun dan kapan pun. Rajab adalah bulan damai, bulan segala kebaikan diterbitkan dan keburukan dibenamkan.

 

Penulis adalah Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tinggal di Depok

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry