Prof Dr Mokhamad Khoirul Huda, SH, MH

SURABAYA | duta.co – Indonesia saat ini menduduki  peringkat 16 ekonomi dunia dengan jumlah penduduk 261,1 juta jiwa. Jumlah penduduk yang begitu besar seharusnya bisa mendongkrak pertumbuhan industri  asuransi di Indonesia. Kenyataannya, tahun 2018 industri asuransi hanya tumbuh pada angka 9  persen, bahkan  berujung pada sengketa.

Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra dan Asuransi Jiwasraya saat ini menjadi perhatian utama pemerintah, karena mengalami kasus gagal bayar pada nasabah pemegang polis. Pemegang polis Bumiputra berjumlah 5,5 juta, sementara Jiwasraya 6 juta.

Kondisi Bumiputra terbelit masalah likuiditas dan kinerja keuangan negatif  sebesar Rp20 triliun sejak tahun 2018. Tidak hanya itu saja, hingga akhir bulan Januari 2018, total klaim jatuh tempo (outsanding) pada pemegang polis yang belum dibayar mencapai Rp2,7 triliun dari 19.000 orang.

“Hal ini diperparah dengan sistem informasi yang tidak memadai, sumber daya manusia dan tata kelola menajemen perusahaan yang belum modern,” beber Prof Dr Mokhamad Khoirul Huda, SH, MH, dalam orasi ilmiahnya ilmiah dengan judul: “Iktikad  Baik Kontrak Asuransi Jiwa  di Era Revolusi Industri 4.0”, pada Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya, besok, Rabu (15/1/2020).

Senada, lanjut Huda, sapaan akrabnya, juga dialami Jiwasraya yang merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bayangkan, dana yang terkumpul dari premi pemegang polis dipindahkan dari surat utang negara ke saham-saham lapis tiga sehingga hasil investasinya minus dan kesulitan likuiditas.

“Dan klaim polis asuransi dari pemegang polis yang telah jatuh tempo pada akhir 2019 mencapai Rp12,4 triliun. Nilai tersebut merupakan nilai klaim yang harus dibayar kepada 17.000 pemegang polis. Di samping masalah tata kelola tersebut, industri asuransi di Indonesia juga mengalami banyak sengketa klaim dengan pemegang polis (tertanggung),” ungkap pria kelahiran Mojokerto, 15 Januari 1972 ini.

Data Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) menunjukkan, sengketa klaim pemegang polis asuransi dari tahun 2006-2014 telah  mencapai 517 kasus dengan rincian sengketa klaim pemegang  polis  asuransi jiwa berjumlah 269 kasus, asuransi sosial berjumlah 4 kasus dan asuransi umum berjumlah 519 kasus. Tahun 2015-2017 berjumlah 132 dengan perincian, sengketa klaim pemegang polis asuransi jiwa berjumlah 58 kasus, dan  asuransi umum berjumlah  74 kasus.

“Sengketa klaim polis asuransi jiwa terjadi karena pada waktu mengisi surat pengajuan asuransi jiwa (SPAJ) dan surat keterangan kesehatan (SKK)  tertanggung dianggap tidak menjelaskan informasi  dengan benar (misrepresentation) atau tidak mengungkapkan fakta-fakta material (non disclosure) yang dibutuhkan penanggung,” tegas suami Noorzatil Hasanah, SH, MH, ini.

Sementara, lanjut ayah dari Arya Syahputra Khayru Huda, prinsip iktikad baik kontrak asuransi jiwa mewajibkan  tertanggung untuk memberitahukan secara teliti dan sejelas-jelasnya  mengenai segala fakta-fakta material berkaitan dengan data kesehatan calon tertanggung  yang diasuransikan sebelum berlakunya polis. “Karena inilah yang dapat mempengaruhi pertimbangan penanggung apakah dia bersedia menanggung asuransi itu atau tidak,” tegasnya.

Dan di sinilah masalahnya, penanggung dapat menggunakan alasan tertanggung tidak beriktikad baik pada waktu memberikan keterangan secara benar atau tidak mengungkapkan fakta-fakta material yang diketahui untuk membatalkan kontrak asuransi jiwa.

Padahal ungkap Huda, kontrak asuransi jiwa  tidak cukup hanya  dengan iktikad baik saja, tetapi dituntut yang terbaik dari iktikad baik tertanggung, sebagaimana The Principle of Utmost Good Faith dapat diterjemahkan bahwa kontrak asuransi merupakan kontrak yang tunduk pada keharusan adanya iktikad baik yang sebaik-baiknya pada para pihak. Principle utmost good faith menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi sebelum perjanjian asuransi jiwa disepakati kedua belah pihak.

Berbicara mengenai iktikad baik pelaksanaan kontrak sudah diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (3) Burgelijke wet Boek (BW) sedangkan iktikad baik pra kontrak asuransi jiwa diatur dalam Pasal 251 Wet Boek van Kophandel (WvK) yang  mengatur: “Setiap  keterangan yang keliru atau tidak benar,  ataupun setiap  tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun iktikad baik ada padanya,  yang demikian sifatnya, sehingga, seandainya si penanggung  telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan  batalnya pertanggungan

Rumusan Pasal 251 WvK sangat berpihak  pada penanggung, sehingga tidak memberikan pertimbangan pada tertanggung apakah memiliki iktikad baik atau tidak  pada waktu tahapan pembuatan kontrak. “Inilah yang sering disalahgunakan oleh penanggung untuk menolak klaim polis asuransi sehingga merugikan hak-hak tertanggung. Penyalahgunaan Pasal 251 WvK oleh penanggung,” urai Kaprodi Magister Hukum UHT.

Padahal untuk memahami teks ketentuan Pasal 251 WvK dalam asuransi jiwa, kiranya perlu untuk melakukan interprestasi dengan baik. Mengingat pasal tersebut masih memunculkan multitafsir bagi  penanggung maupun tertanggung. Benarkah kontrak asuransi jiwa yang dibuat antara penanggung dengan tertanggung adalah batal demi hukum (nietig). Pergramatikal ketentuan Pasal 251 WvK ini jelas, namun pemaknaanya  justru tidak jelas dan kontradiksi dengan kenyataan di lapangan, dimana kontrak  yang dibuat para pihak jika terjadi cacat kehendak berkaitan dengan kewajiban untuk menjelaskan dan mengungkapkan fakta-fakta material karena alasan kekhilafan dan penipuan yang dilakukan oleh pihak tertanggung harusnya dapat dibatalkan (vernietigbaar) bukan batal demi hukum (nietig)

“Hal ini sejalan dengan  pemikiran doktrin terhadap Pasal 1320 BW tentang syarat sahnya perjanjian, dimana tidak dipenuhinya syarat kesepakatan (toestemming) antara penanggung dan tertanggung sebagai unsur subjektif, tidak mengakibatkan batalnya kontrak,” jelasnya.

Melalui interprestasi sistematis dan  interprestasi historis pada akhirnya diperoleh kesimpulan, bahwa pada proses penyusunan  Pasal 251 WvK sebenarnya yang dimaksud pembentuk undang-undang pada waktu itu  bukan batal demi hukum (nietig) tetapi dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian, kata nietig dalam Pasal 251 WvK harus diinterprestasikan  “vernietigbaar.”

Sehingga kontrak asuransi jiwa dapat dibatalkan tentu harus ditujukan permohonan pembatalan  kepada hakim, apabila permohonan itu tidak dapat dilakukan atau pembatalan tidak diputuskan oleh hakim berarti kontrak asuransi jiwa masih tetap sah. “Masalah muncul ketika hakim belum memiliki pemahaman yang sama mengenai makna iktikad baik pra kontrak dalam kontrak asuransi jiwa, akibatnya penerapan iktikad baik pra kontrak sering kali tidak konsisten pada tingkatan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung,” urainya.

Untuk memberikan keadilan pada penanggung dan tertanggung, Huda pun berusaha memberi solusi, di antaranya, pertama, iktikad baik  dalam Pasal 251 WvK tidak memberikan rasa keadilan. Untuk itu perlu diatur adanya  kewajiban iktikad baik kedua belah pihak  antara tertanggung dan penanggung dalam satu bab dan pasal pada perubahan Undang-Undang Usaha Perasuransian yang akan datang,  sehingga akan tercipta rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.

Kedua, kontrak asuransi jiwa sebelum disepakati para pihak maka tertanggung diwajibkan  untuk melakukan medical check up yang hasilnya  menjadi pertimbangan bagi penanggung  untuk menentukan besarnya premi, risiko dan nilai manfaat pada tertanggung. Karena sumber utama sengketa kontrak asuransi  jiwa, ada  pada saat memberikan keterangan atau mengungkapkan  fakta-fakta material  dalam SPAJ dan SKK yang dianggap  tidak jelas dan lengkap oleh penanggung. Untuk itu perlu diatur kewajiban medical check up untuk semua kontrak asuransi jiwa dengan tidak melihat besarnya kecilnya nilai premi dalam Undang-Undang Perasuransian.

Ketiga, Undang-Undang Perasuransian  perlu mengatur  secara khusus asas incontestability period  yang membatasi jangka waktu bagi penanggung untuk menuntut pembatalan polis.,” ungkap Wakil Direktur Program  Jimly School Law and Government Surabaya.

Lalu, keempat, perlu adanya pengaturan standar polis asuransi jiwa dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)  yang mengatur tentang polis asuransi jiwa, berisi tentang hak dan kewajiban para pihak secara seimbang dengan mendasarkan pada asas proporsionalitas. Dalam Peraturan Jasa Keuangan tersebut memuat tentang standart operating procedure  polis asuransi jiwa.

Kelima, untuk memberikan kesamaan  dalam makna  dan standar iktikad baik pra kontrak dalam kontrak asuransi jiwa, maka sikap hakim pada semua tingkatan pengadilan  harus memiliki konsep yang sama berkaitan dengan iktikad baik pra kontrak asuransi jiwa. ”Untuk itu Mahkamah Agung harus  memberikan pedoman iktikad baik pra kontrak asuransi jiwa dalam bentuk Surat Edaran  Mahkamah  Agung (SEMA) yang mewajibkan para pihak harus cermat dalam membuat kontrak (contractuele zorgvuldigheid) dan  memiliki kemuliaan  dalam pembuatan kontrak (contractuele rechtwaardigh),” tutup Wakil Ketua Asosiasi Perancang Kontrak (APK). rum

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry