SURABAYA | duta.co  – Lambatnya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bersikap terkait terbitnya turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di mana dalam Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021 pada angka 31, 32, dan 33 ditetapkan bahwa bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua, diakui membuat nahdliyin bertanya-tanya.

Padahal, tahun 2013, PBNU melalui Ketua Umum PBNU Prof KH Said Aqil Siroj sudah menyampaikan sikap, bahwa, PBNU tidak setuju investasi minuman keras (Miras) dibebaskan. “Ya! Kita baca sikap PBNU tahun 2013 itu. Alhamdulillah, sekarang tidak diam. Kita berharap NU ikut mendesak pemerintah agar mencabut regulasi itu,“ demikian disampaikan Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN), H Tjetjep Muhammad Yasin (Gus Yasin) kepada duta.co, Senin (1/3/21).

Seperti diberitakan, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Marsudi Syuhud mengatakan sejak 2013 lalu Ketua Umum PBNU Prof KH Said Aqil Siroj telah menyampaikan bahwa tidak setuju investasi minuman keras (Miras) dibebaskan.

Menurut Kiai Marsudi, pada 2013 saat itu pemerintah baru merencanakan akan menjadikan industri minuman keras yang sebenarnya masuk daftar negatif investasi, menjadi keluar dari daftar tersebut. PBNU pun menolak rencana pemerintah tersebut.

Sekarang, menurut Kiai Kiai Marsudi, hal yang dulu sudah diberi masukan, ternyata terus berlanjut dan sekarang sudah menjadi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

“Lalu apakah ada perbedaan sikap terdahulu dengan sekarang? Jawab simple kata Ketua Umum PBNU, itu tetap tidak setuju baik karena qoliiluhu au katsiruhu (baik sedikit atau banyak) hukumnya tetap haram,” ujar Kiai Marsudi kepada Republika.co.id, Senin (1/3).

Betapapun hal tersebut ada manfaatnya untuk ekonomi, tambah dia, namun mudharotnya sangat besar. “Tidak sebanding dengan mudharotnya. Karena menyangkut mudharot yang langsung terhadap kehidupan manusia,” ucapnya.

Nilai-nilai Agama

Hal yang sama disamsapikan Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini. “Sikap kami tetap tidak berubah sejak 2013, saat pertama kali aturan ini digulirkan pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PBNU tetap menolak investasi minuman keras dibebaskan. Sebab Indonesia ini bukan negara sekuler,” tegasnya, Senin (1/3).

Lebih lanjut ia menegaskan, Indonesia adalah negara Pancasila yang berketuhanan. Karena itu, dalam berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah dan semua perilaku masyarakat harus berpedoman dengan nilai-nilai agama.

“Indonesia memang bukan negara agama, tetapi negara yang masyarakatnya beragama. Jadi soal investasi minuman keras ini perlu dipertimbangkan kemudaratannya,” tambah Kang Helmy, sapaan akrab pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 48 tahun lalu ini.

Jika yang menjadi pertimbangan adalah soal kearifan lokal, ia mengusulkan sebaiknya bisa dialihkan kepada produk-produk lain. Produk yang tidak mengandung alkohol. Sebab, mudaratnya lebih banyak daripada manfaatnya lantaran alkohol diharamkan dalam syariat Islam.

Dalam menolak investasi tentang minuman keras ini, Helmy menegaskan bahwa PBNU tetap berpegang pada dalil-dalil agama.  Salah satunya dengan berpegang pada kaidah fikih yang masyhur di kalangan warga NU. “Dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kebaikan). Investasi adalah hal baik. Namun jika investasi itu mengandung unsur mudarat yang lebih membahayakan, maka tentu hal ini dilarang syariat,” pungkas Kang Helmy. (net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry