Keterangan foto repro www.portal-islam.id

SURABAYA | duta.co – Dua hari sudah, acara Tahlil dan Dzikir rutin di Kantor PKS (Partai Keadilan dan Sejahtera) menjadi perbincangan warganet, khususnya nahdliyin. Kali ini, Jumat (14/8/2020) perbincangan beralih ke postingan Gus Ulil Abshar Abdalla di laman facebooknya berjudul ‘PKS Nusantara’.  Tulisan sebanyak 1.773 characters  itu, sudah mendapat 660 komentar.

Gus Ulil mengawali postingannya dengan kalimat tanya. “Bagaimana jika teman-teman PKS ikut mengamalkan tradisi NU, seperti tahlil, maulid Nabi, ngaji kitab kuning, dll?,” tulisnya.

Sebagian orang, lanjutnya, mencurigai ini sebagai “move politik” yang dikalkulasi secara cerdik oleh PKS untuk menarik suara dari kalangan nahdliyyin.

“Saya punya pandangan yang berbeda. Saya justru melihat hal ini sebagai gejala yang positif. Saya melihat, tidak semua hal bisa ditafsirkan secara “politik”. Kenyataan sosial biasanya tidak sederhana, dan karena itu mereduksi kenyataan sosial hanya sebagai cerminan dari “motif-motif politik” yang tersembunyi, jelas kurang tepat,” jelasnya.

Masih menurut Gus Ulil, “Meskipun mungkin ada “niat politik” di balik tindakan PKS untuk mengadopsi simbol-simbol kultural NU, tetapi saya tak menafikan bahwa mungkin saja ada kesadaran di banyak kalangan pimipinan PKS bahwa pada akhirnya tradisi-tradisi keagamaan NU seperti tahlilan, berjanjen, ngaji kitab kuning adalah tradisi keagamaan yang amat penting, dan tidak bisa diabaikan,” urainya.

Di akhir kalimat, ia menekankan perlunya berpikir positif. “Dan ini, bagi saya, adalah perkembangan yang positif. Tak usah dibaca dengan kaca-mata yang “curigatif”,” pungkasnya.

Tanggapan pun berdatangan. Yang terlihat duta.co ada 660 komentar.  Budi Jaya, misalnya, menyebut apa yang disampaikan Gus Ulil ini, merupakan hal penting untuk memperkuat kebersamaan.

“Pikiran positif seperti Kyai Ulil Abshar Abdalla ini, yg bisa membangun kebersamaan pada diri anak bangsa termasuk warga PKS. Sikap ini bisa membangun saling percaya dan kerjasama untuk membangun bangsa,” tulisnya.

Hamzah Sahal lebih menukik lagi. Ia (tampaknya) menyaksikan jalannya tahlil dan dzikir di PKS. “Yang menarik titel pemandu acaranya, ST dan MM….S.Ag lewaatt,” jelasnya.

Muhammad Akrom Silihin menyuguhkan komentar lucu. “Apakah gelaran Tahlilan PKS jg menyediakan kopi dan bbrp batang rokok di gelas? Ini penting,” tulisnya.

Sementara, Atunk Oman menyampaikan, bahwa, dirinya pernah dapat informasi soal ini (PKS ngaji kitab Mbah Hasyim). Dia juga pernah mengadu ke Gus Zakki, almarhum. “Kata beliau kurang lebihnya: Loh ya bagus Mbah Hasyim kita makin dibutuhkan banyak orang, ora mung (tidak hanya red) PKB, PPP, tok,” katanya.

Yang menarik, Gus Ulil juga menjawab keluhan Rifqi Hasya, karena yang ia tahu, tahlil di PKS itu menggunakan pedoman versi mereka, yang mereka anggap tahlil sesuai syar’ie.

Atas keluhan ini, Gus Ulil menjawab: “Yang namanya kelompok punya tradisi sendiri itu kan biasa toh, Mas. Tetapi mereka mau tahlil itu yang harus kita apresiasi,” jawab Gus Ulil.

Berikut catatan Gus Ulil Abshar Abdalla di FB-nya secara utuh:

PKS Nusantara

Bagaimana jika teman-teman PKS ikut mengamalkan tradisi NU, seperti tahlil, maulid Nabi, ngaji kitab kuning, dll? Sebagian orang mencurigai ini sebagai “move politik” yang dikalkulasi secara cerdik oleh PKS untuk menarik suara dari kalangan nahdliyyin.

Saya punya pandangan yang berbeda. Saya justru melihat hal ini sebagai gejala yang positif. Saya melihat, tidak semua hal bisa ditafsirkan secara “politik”. Kenyataan sosial biasanya tidak sederhana, dan karena itu mereduksi kenyataan sosial hanya sebagai cerminan dari “motif-motif politik” yang tersembunyi, jelas kurang tepat.

Meskipun mungin ada “niat politik” di balik tindakan PKS untuk mengadopsi simbol-simbol kultural NU, tetapi saya tak menafikan bahwa mungkin saja ada kesadaran di banyak kalangan pimipinan PKS bahwa pada akhirnya tradisi-tradisi keagamaan NU seperti tahlilan, berjanjen, ngaji kitab kuning adalah tradisi keagamaan yang amat penting, dan tidak bisa diabaikan.

Dulu, pada awal-awal sejarah pendirian PKS, memang pengaruh “sektor salafi/wahabi” lumayan kuat di dalam partai ini. Tetapi, pengaruh ini pelan-pelan mulai memudar dalam perkembangan belakangan. Dinamika politik dalam demokrasi yang terbuka dan kompetitif, telah memaksa sebagian elit PKS yang semua hendak mempertahakan “puritanisme” ideologis untuk kompromi.

Saya menyebut gejala ini segabagi proses PKS menjadi lebih “membumi”, menjadi lebih nusantara. Gerak mendekat ke kultur nusantara ini, pelan-pelan, nanti juga akan diikuti oleh kelompok salafi. Jika mau bertahan di Indonesia, tidak bisa lain kelompok salafi kecuali harus “berdamai” dengan bumi nusantara, dengan kenyataan kultural yang ada di negeri ini.

Dan ini, bagi saya, adalah perkembangan yang positif. Tak usah dibaca dengan kaca-mata yang “curigatif”.(*)